webnovel

luka yang bertambah

Pukul 4.36

Luna terbangun dengan kepala yang agak terasa sakit dan dia sedikit ling lung karena saat matanya baru mulai terbuka samar-samar, tangannya sudah bergerak lebih dulu meraba-raba meja kecil di sisi kanan ranjang, disusul dengan tubuhnya yang beringsut bergerak. Dia ingin menjangkau laptop. Otaknya sedang membayangkan email tanpa nama pengirim yang dia terima semalam. Namun karena saat itu dia baru bangun dan kurang terkendali, maka dia pun jatuh dari ranjang sebelum meraih benda yang hendak dijangkaunya. Beruntungnya ranjang tempat tidur itu tidak terlalu tinggi. Dia mengaduh pelan sambil memegangi bagian pinggang walau tidak terlalu sakit. Justru yang terasa lebih sakit adalah kepalanya karena tadi malam dia cukup kesulitan untuk membuat matanya mengantuk, disebab pikirannya yang terus melayang pada masalah yang sedang dialami saat ini. Ditambah dengan email tanpa nama pengirim itu.

Dia segera bangun dan duduk di tepi tempat tidur. Lantas meneguk air putih dari dalam botol yang tersedia di atas meja kecil, setelah mengucek mata. Sangat salah dirinya jika bangun tidur langsung mencari barang elektronik. Itu kebiasaan yang sangat kurang bagus.

Setelah memastikan kesadarannya mulai terisi penuh, barulah Luna melangkah menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Dia memutuskan untuk tidak langsung membuka laptop untuk memeriksa email. Itu bisa ditunda. Lagipula saat dia melirik pada jam di dinding kamar sekilas, waktu masih sangat pagi. Meski dia juga tidak bisa terlalu santai karena banyak hal yang harus diurus sejak empat cabang usahanya gulung tikar satu persatu hingga hanya tersisa di satu tempat saja.

Dia sebenarnya sudah berusaha melupakan kenyataan pahit bahwa karyawan kepercayaannya telah berkhianat lalu mereka juga lepas tanggung jawab karena melarikan diri entah ke mana. Hingga petugas penyidik yang menangani kasusnya pun kehilangan jejak, tak tahu lagi harus mencari ke mana perginya tiga pelaku tersebut. Ini menjadi kebingungan tersendiri bagi Luna karena dia tak menyangka bahwa tiga karyawannya tersebut sungguh di luar dugaan. Memiliki kemampuan menghilang tanpa jejak. Rasanya sakit, namun Luna tidak begitu ingin memikirkannya. Dia lebih ingin fokus menemukan solusi bagaimana menyelamatkan bisnisnya yang tersisa, sebelum benar-benar gulung tikar secara keseluruhan.

Karena jika dia terus terlarut pada sesuatu yang telah hilang, itu sungguh tidak ada gunanya. Adalah lebih baik baginya untuk memulihkan apa yang masih bisa diperbaiki meski nyatanya itu sungguh terasa rumit bagi diri Luna. Menghadapi masalah besar, dia berusaha untuk hanya mengandalkan dirinya sendiri daripada orang lain. Karena sedari kemarin, tidak mudah baginya untuk mencari bantuan kepada orang-orang yang dia kenal sekalipun.

Lalu soal email tanpa nama si pengirim itu, Luna benar-benar tidak bisa mengabaikannya begitu saja. Dia bahkan sedang memikirkannya saat dirinya sedang menggosok tubuh dengan sabun ketika mandi. Saat itu juga, dia tetiba terpikirkan untuk bertanya pada seseorang mengenai email yang diterimanya. Dia butuh saran menyikapi surat "misterius" tersebut. Apakah aman untuk ditanggapi atau tidak. Sebab rasa ragunya sangat besar jika harus segera mengambil keputusan, apalagi secara sembarangan.

Luna lantas mempercepat aktivitas paginya. Hari ini dia akan pergi ke daerah Kebayoran Baru Jakarta Selatan, tempat di mana satu-satunya cabang restoran miliknya yang tersisa. Akhir-akhir ini semenjak kasus penggelapan dana restoran terbongkar, dia memang lebih banyak bolak-balik ke tempat itu. Mengontrol sambil memutar keras otaknya demi mendapat solusi yang tepat.

"Kau sudah sarapan Nak?"

Suara di ambang pintu kamar membuat Luna yang sedang menatapi layar laptop di atas ranjang tempat tidurnya seketika menoleh. Di sana berdiri sosok wanita berusia lewat dari enam puluh tahun dengan senyuman lembut serta tatapan hangat yang menghiasi wajahnya. Wangi harum nan lezat menguar dari tangannya yang memegangi sebuah nampan berisi menu sarapan yang biasa dia bawakan seperti kebanyakan pagi hari untuk puterinya. Ya, tetapi hanya ketika dia sedang sehat seperti sekarang. Terkadang jika darah tingginya sedang kambuh, dia tidak bisa melakukan sesuatu yang amat sangat difavoritkannya tersebut. Menyiapkan sarapan atau camilan kecil untuk putera puterinya adalah salah satu hal yang paling membahagiakan dalam sepanjang hidupnya.

Luna menjawab pelan, "Belum, Ma. Mama seharusnya tidak usah repot-repot membawakan makanan untukku setiap pagi. Masih ada asisten rumah, kasihan tugas mereka direbut Mama."

Ibunya semakin melebarkan senyuman yang sedari tadi terukir di sepasang bibirnya. Kakinya melangkah perlahan, mendekati ranjang tempat puterinya sedang sibuk memandangi layar alat elektronik di hari yang masih sangat pagi. Meski begitu, pemandangan tersebut bukanlah hal baru bagi ibunda Luna. Hal itu justru sangat wajar mengingat puterinya memiliki pekerjaan yang cukup membuat sibuk. Apalagi di saat-saat Luna sedang mendapat kesulitan besar seperti sekarang.

Namun siapa yang menyangka, bahwa hari ini Luna akan memiliki ujian hidup yang bertambah, setelah kemalangan dikhianati oleh orang-orang kepercayaannya.

Adalah tepat ketika wanita bernama Alinea itu hampir mencapai ranjang sang puteri sulung, tetiba kakinya yang memakai kaus kaki terpeleset dan menyebabkan tubuhnya terdorong ke depan. Kepalanya membentur tepian ranjang dengan suara yang cukup keras saat terdengar oleh Luna. Alat makan yang dipeganginya terjatuh bersamaan dengan Luna yang menjerit kencang karena terkejutnya.

Gadis itu melompat dari tempatnya duduk, menuju tubuh ibunya yang terbaring langsung tak sadarkan diri di dekat wadah makanan serta isinya yang terserak berantakan di atas lantai berwarna moka itu.

"Mama! Bi! Bibi toloooong!"

Dengan paniknya Luna meraih bagian kepala serta satu tangan sang ibu. Dia tidak bisa mengendalikan diri melihat mata ibunya yang terpejam. Tak berapa lama asisten rumah datang bersama adik pertamanya. Mereka segera membawa wanita itu ke rumah sakit saat itu juga. Dalam perjalanan, Luna tak kuasa menahan emosi serta air matanya yang menganak-sungai karena ketegangan yang dia rasakan, meski adiknya berusaha untuk menenangkan walau sedikit. Karena dia pun sebenarnya hampir sama paniknya dengan sang kakak.

.

Rumah Sakit Santo Borromeus

Suasana di depan ruang ICU (intensive care unit) itu memang tidak terlalu ramai. Namun sangat menegangkan bagi Luna dan adiknya, Fero. Kakak-beradik yang duduk di dekat seorang wanita paruh baya itu terlihat diam satu sama lain. Hanya sesekali saja Fero yang melirik kakaknya dengan raut yang amat tak tenang. Sementara wajah Luna sudah basah karena air mata sedari awal sang ibu jatuh di lantai kamarnya. Kini dia dan adiknya harus menunggu sambil merasakan ketegangan untuk kabar dari tim medis yang tengah sibuk menangani ibu mereka di dalam sana.

Ibu paruh baya yang duduk di dekat mereka pun sampai tak tega melihat dua anak itu. Dia pun tak lagi berani bertanya setelah sebelumnya menanyakan sedikit tentang ibu mereka yang baru dibawa masuk ruang ICU.

Lalu ketegangan Fero dan Luna semakin bertambah saat dokter dari tim medis yang menangani ibu mereka membuka pintu ruangan tersebut dan menghampiri sepasang kakak-beradik yang telah menunggunya.