webnovel

kenapa Mama tidak suka Jerman?

Luna dan Fero bangkit dari posisi duduk mereka, menghadapi sang dokter. Namun, raut wajah pria di depan mereka itu sama sekali tidak membuat keduanya tenang. Datar dan lebih pantas untuk disebut ... pasrah.

Menyadari akan terjadi hal yang lebih menyakitkan, Fero mendekati kakaknya. Satu tangannya dengan perlahan menggenggam satu telapak gadis itu. Bagaimana pun, mereka harus bersiap dengan apa jawaban yang keluar dari mulut dokter nantinya. Baik buruk, suka maupun duka.

Si dokter pun tanpa menunggu lama, menatap dua wajah anak-anak di depannya dan dengan pelan dia berkata, "Ibu Alinea mengalami benturan yang keras di bagian kepala dan itu membuat pembuluh darah di otaknya pecah. Kami tidak bisa menyelamatkannya. Beliau sudah meninggal. Karena itu, kami berharap agar kalian berdua bersabar dan ikhlas menerima semuanya."

Wanita paruh baya yang sebenarnya ikut mendengar pembicaraan tersebut meski dia pura-pura sibuk dengan ponsel pun, ikut melirik sekilas secara diam-diam. Dia ikut bersimpati atas apa yang menimpa kedua anak di dekatnya. Namun tentu saja dia tidak ikut berbicara atau bertanya apapun, mengingat dua anak itu yang pastilah mentalnya terguncang.

Dan kini, Fero yang sudah berlinangan air mata itu mengusap pundak kakaknya yang sekarang tengah terisak dengan kedua tangan menutupi mulut. Luna tidak dapat berkata-kata. Dia hanya menangis tanpa suara dan ucapan apapun kepada dokter di depan mereka. Ini situasi yang sangat berat, sulit dan kejam. Dia tidak sanggup menerima hatinya yang hancur seperti keramik tertimpa batu besar nan kokoh. Ini terlalu menyakitkan dan tidak adil.

Tubuh gadis itu akhirnya meluruh tak sadarkan diri di lantai yang dingin. Seperti dingin dan kelamnya suasana hati dia dan adiknya saat itu.

.

Mimpi buruk yang berulang

"Negara mana di dunia ini yang paling kau sukai Ma?"

Gadis berusia dua belas tahun dengan rambut panjang sebatas pinggang, lurus dan berponi itu menengadahkan wajah pada sang ibu yang tengah berdiri di sampingnya seraya memegang sekuntum bunga berwarna merah khas natal, kastuba poinsettia. Sang ibu kemudian tersenyum seraya melirik sekilas pada puterinya. Lalu dia memandang kembali pada permukaan danau Lough Conn yang jernih, sedikit bergelombang dan memantulkan tampilan langit biru di atasnya. Seekor ikan berukuran cukup besar dengan warna coklat kekuningan serta dipenuhi corak titik-titik hitam terlihat menyembulkan kepalanya sekilas ke atas permukaan danau.

Ibu si anak perempuan tersenyum semakin sumringah melihat hewan itu. Puterinya justru masih menatapnya, menunggu jawaban untuk pertanyaan yang tadi dia lontarkan.

"Mama belum menjawab pertanyaanku lho." Anak itu melebarkan mata dengan kedua alis terangkat.

"Ah, tentu Mama suka negara kita, Sayang. Kau tahu betapa indahnya Danau Toba, Raja Ampat dan Pantai Pangandaran bukan? Tapi, negara lain yang Mama favoritkan setelah negara kita, tentu saja adalah negara ini. Mama suka bunga merah ini dan kisah tentang Banshee, si wanita yang punya tangisan menyeramkan."

Sang ibu diam sejenak, menatap pada sang puteri. Dia bermaksud menggodanya. Si anak pun mengerutkan dahinya.

"Kenapa Mama bercerita tentang dogeng yang seperti itu?"

"Ah, itu karena Mama menyukainya Sayang." Si ibu tertawa renyah. Juga karena gemas melihat raut wajah anak perempuannya.

Sementara puterinya terdiam sejenak seraya menatap permukaan danau. Namun tetiba dia mengingat pada sesuatu yang serupa dengan dongeng yang dikatakan ibunya barusan.

"Kalau aku suka dengan cerita kakak-beradik Hansel dan Gretel, Ma! Cerita itu juga tidak kalah seram. Cerita dari negeri Jerman. Seram karena mereka tersesat di hutan dan bertemu dengan penyihir jahat. Apa Mama-"

Mendadak terdengar pekikan dari mulut si anak tatkala matanya menangkap hal yang menakutkan dan membuat kaget setengah mati.

Secara tak diduga sedikitpun, dia mendapati ibunya yang tampak kesakitan seraya kedua tangannya yang memegangi kepalanya. Sementara bunga merah yang tadi dipeganginya jatuh ke dekat kaki. Dan lebih anehnya, bunga tersebut mengeluarkan cairan berwarna merah yang lebih pekat dari warna bunga itu sendiri. Itu darah. Anak perempuan yang panik itu sangat ketakutan namun juga khawatir dengan ibunya yang terus berteriak kesakitan. Apalagi wanita itu sekarang berlari ke arah pinggiran danau dan ...

Tubuhnya tercebur.

"Mamaaaaaaaaaaaaaaaa!"

"Kakak bangun!"

Luna terkesiap dan membuka matanya dengan rasa terkejut yang amat sangat. Keringat mengalir deras dari dahinya. Dia lantas bergerak dan duduk, masih di atas ranjang. Ditatapnya seluruh ruangan dan ketiga orang di depannya. Ternyata yang tadi hanya srbuah mimpi. Mimpi yang menakutkan.

Fero, asisten rumah dan seorang wanita berpakaian rapi dengan rambut terikat yang merupakan adik dari mendiang Alinea pun tampak menatapnya dengan raut cemas.

"Kau bermimpi buruk, Luna?"

Perempuan bernama Katerina yang merupakan bibi Luna itu mendekat pada gadis dewasa yang kini tengah berada dalam kondisi berantakan, baik penampilan maupun raut wajahnya. Luna memang terlihat sangat kacau sejak satu minggu yang lalu, sejak wanita utama di rumah itu akhirnya pergi meninggalkan mereka untuk selamanya. Menyedihkan. Bahkan para penghuni rumah sangat khawatir bukan main melihat kondisi gadis yang juga tengah dirundung masalah usahanya tersebut. Mereka mencemaskan mentalnya dengan kepergian sang ibu. Jelas sekali itu sangat menambah beban luka pada diri Luna.

Dia berada dalam kondisi yang seolah mati. Siapapun yang melihatnya, akan merasa sangat tak tega. Setiap hari dia lebih banyak berdiam diri di dalam kamar, melamun atau beberapa kali ketahuan menangis. Itu karena dia belum bisa mengikhlaskan kepergian salah satu orang yang sangat dicintainya di dunia ini. Bahkan di dalam kesedihan itu, ada sedikit rasa bersalah dan penyesalan yang turut serta merongrongi dirinya. Penyesalan karena Luna merasa perhatiannya pada sang ibu, kurang. Dia merasa selama lebih memperhatikan bisnis daripada wanita yang sangat dicintainya itu. Sekarang, rasanya semua telah terlambat.

Luna kemudian terisak di hadapan tiga orang yang berada di depannya saat itu. Bibinya segera memeluknya sambil mengusap-usap pundaknya.

"Kau perempuan yang kuat, Nak. Aku yakin sekali kalau kau akan bisa segera melewati semua ini."

Fero dan asisten rumah tidak ikut berbicara. Mereka bahkan terlihat hendak ikut menangis. Namun, Fero yang seorang anak laki-laki itu mencoba untuk menahan tangisannya dan menjadi yang paling tabah di detik itu. Dengan suara serak dan pelan dia berkata pada Luna.

"Kita sarapan Kak. Kakak harus tetap kuat. Bukannya kau bilang ingin mempertahankan bisnismu yang sedang sekarat?"

Dia sengaja mengatakan hal tersebut meskipun itu terdengar seperti kalimat yang justru menambah beban pikiran Luna, mengingat Luna pun sedang pusing dengan masalah bisnisnya yang hampir gulung tikar secara keseluruhan, namun Fero berharap itu adalah kata-kata yang bisa membangkitkan sedikit gairah hidup kakaknya yang kini tengah sangat rendah. Bahkan hampir tersungkur.

Luna tidak menjawab. Namun Fero menoleh pada si asisten rumah dan menanyakan apakah menu sarapan sudah siap. Lantas dia segera beranjak dari kamar kakaknya.

"Aku akan menunggu Kakak bersama Fioni di bawah. Aku harap kita bisa sarapan bersama, Kak, hari ini." Ujarnya sebelum pergi.

Bibi Katerina menoleh sekilas ke arah pintu sebelum kembali menatap Luna. Namun saat itu isakan Luna sudah mulai berkurang. Katerina kembali mengusap pundaknya kemudian.

"Kau gadis tangguh, Nak. Bangkitlah untuk adik-adikmu. Bersabarlah dalam ketabahan." Ucapnya.

Luna lantas menoleh pada wanita itu. Dengan wajah sayu dan letih. "Benarkah? Aku justru merasa tidak berdaya saat ini. Aku seperti debu- yang tertiup angin-"

Dia terisak lagi. Suaranya tersendat dan terdengar serak.

"Tentu saja itu wajar, Nak. Kau sedang terkena musibah, wajar jika kau merasa seperti itu. Semua orang akan merasa demikian hancur saat sesuatu hal yang besar terjadi dalam hidupnya. Begitu juga orang tuamu, Nak. Kau bisa belajar dari mereka. Kehidupan jatuh-bangun adalah normal bagi semua orang. Ibu dan ayahmu akan saangat bangga saat kau bisa tabah dengan ujian hidupmu. Maka, ayo bangkit pelan-pelan seperti siput atau bayi yang baru belajar merangkak."

"Terima kasih, Bibi ..."

Luna menyeka air mata yang masih tersisa di bawah kedua matanya. Katerina masih mencoba membujuknya, seraya bangkit dari atas ranjang.

"Kami menunggumu di meja makan, Nak." Katanya, sebelum tak lama kemudian dia juga keluar dari kamar itu.

Tak lama, Luna kemudian beranjak juga dari ranjang dan masuk ke kamar mandi. Dia berdiri di depan cermin, memandangi pantulan diri yang menurutnya terlihat menyedihkan. Sayu, mata sembab, berantakan seperti tidak lagi memiliki gairah hidup. Dia ingat, bahkan sudah satu minggu lebih tidak datang ke Jakarta, mengontrol restoran miliknya yang tersisa. Dia terus berdiam di rumah setelah kepergian sang ibu yang begitu membuatnya terpukul, hingga hari ini. Dia menolak dihubungi siapapun, dari pihak di luar rumah. Dia sedang tak ingin menerima kabar atau laporan apapun mengenai pekerjaan dan sebagainya, sebaliknya dia hanya ingin menyendiri berhari-hari, membiarkan dirinya yang tenggelam bersama luka menganga yang tengah dialaminya.

Tetapi hari ini, dia bisa sedikit berpikir untuk merangkak keluar dari kubangan luka itu. Dia masih memiliki keluarga dan hal lainnya untuk diperjuangkan. Apalagi setelah adiknya berkata seperti tadi. Jadi dia bertekad untuk turun dan ikut sarapan bersama keluarganya yang tersisa.