webnovel

racun dalam secangkir kopi

"Kenapa Mama tidak suka jika mendengar nama negara Jerman atau mendengar hal tentang negara itu sedikitpun?"

Tetiba Luna berceletuk di sela sesi sarapan. Gadis itu menatap nanar pada menu makanan di atas meja, seraya memainkan sendok di atas mangkuk berisi yogurt dan potongan buah stoberi serta kiwi. Dia lantas menyapu pandang pada tiga orang yang sedang duduk bersamanya. Katerina, Fero dan Fioni, si adik bungsu. Sementara mereka bertiga pun ikut berhenti menyantap menu sarapan masing-masing. Mengganti perhatian pada Luna. Adalah Katerina yang menimpalinya lebih awal.

"Apa kau yakin dengan itu? Kau pernah melihatnya tidak suka saat mendengar hal tentang negara tersebut?" Tanyanya, seraya mencondongkan tubuh sedikit.

Luna mengangguk cepat walau pelan. "Mama selalu tidak ingin mendengar tentang negara itu. Bahkan tadi di dalam mimpi, aku menyebut dongeng kesukaanku dari Jerman dan dia malah menunjukan reaksi aneh. Kalian juga tahu kan?"

Luna menoleh pada dua adiknya secara bergantian. Namun keduanya justru malah melongo.

"Aku tidak tahu, Kak, maaf. Karena aku belum pernah mengatakan hal apapun tentang negara itu atau menyebut nama negaranya." Kata Fioni si bungsu.

"Jadi tadi mimpi buruk Kakak tentang itu?" Fero menyusul bertanya. Raut mukanya malah menunjukan rasa penasaran. Karena dia pun sama seperti si hungsu, tidak tahu. Tetapi apa yang dikatakan oleh kakaknya adalah hal yang cukup menarik karena dia baru mendengarnya.

"Aku kira kalian tahu." Timpal Luna.

Bibi mereka kemudian menengahi. "Luna, aku tahu kalian pasti penasaran dengan hal yang belum kalian ketahui mengenai ibu kalian. Tapi, percayalah bahwa semua akan terjawab jika sudah waktunya. Sekarang fokuslah pada apa yang ada di depan kalian. Terutama untuk kau, Luna."

Katerina sejak mendengar berita kematian Kakaknya yaitu ibunda dari Luna serta adik-adiknya, sudah bolak-balik ke rumah kediaman mereka untuk sedikit memberikan pendampingan. Dia mengatakan ingin menemani mereka untuk sementara waktu selama kabar duka masih sangat baru. Terkadang dia meminta izin pada suami dan keluarganya di rumah untuk ikut menginap di rumah keluarga Luna.

"Benar juga sih, apa yang dikatakan Bibi. Semua akan terjawab pada waktunya." Fero akhirnya setuju. Dia menoleh pada kakaknya.

Luna tidak menjawab. Dia hanya segera meraih kembali sendoknya dan meneruskan sarapan untuk kemudian diikuti oleh yang lainnya. Dia merasa mungkin benar apa yang dikatakan oleh bibinya bahwa semua akan terjawab jika waktunya telah tiba. Tidak sekarang. Lagipula dia masih memiliki banyak hal yang harus diurus. Sesuatu tentang mendiang ibunya memang penting, tetapi untuk saat ini, dia hanya ingin mengenang sosok itu secara perlahan dengan harapan kesedihan atas kepergian wanita itu berkurang.

.

Secangkir kopi beracun

Jalan raya Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Pukul 19.21

Seorang petugas office boy mengetuk pintu ruangan pimpinan perusahaan sambil membawa secangkir kopi panas di atas wadah. Aroma harum menguar bersamaan dengan asap tipis yang terligat dari minuman tersebut. Dia masuk saat orang di dalam ruangan telah menyilakan. Ada dua orang di sana. Yaitu Aria dan seorang sekretaris setianya yang berpenampilan fisik sangat khas orang Eropa asli.

Si petugas tadi segera menaruh minuman yang dibawanya.

"Silakan Pak. Saya permisi dulu." Ujarnya seraya tersenyum. Sebelum beranjak dari ruangan itu.

Si sekretaris tersenyum pada petugas office boy. "Terima kasih banyak."

Sementara itu, Aria meraih cangkir gelas kopi yang baru saja diantar. Namun, tetiba saja dia terkejut karena sekretarisnya mendadak ikut menyambar cangkir yang sedang dipeganginya tersebut. Aria menoleh pada si sekretaris.

"Anda tidak boleh meminumnya. Ini mengandung sianida." Sekretaris itu dengan senang hati menjelaskan dan tanpa ditanya terlebih dahulu. Lantas Aria yang tertegun pun segera melepas pegangan tangannya pada cangkir. Membiarkan si sekretaris yang mengambil alih minuman tersebut.

"Siapa yang melakukannya?" Lelaki bermata tajam itu bertanya.

"Penyusup. Tentu saja bukan orang yang mengantar kopi ini."

Aria tidak meragukan ucapan sekretarisnya tersebut. AB, begitu nama si sekretaris biasa disebut, adalah salah satu orang kepercayaannya yang telah bekerja selama bertahun-tahun. Pria asli Jerman itu adalah mantan intelijen salah satu perusahaan otomotif di negara asalnya. Dia mengenal dekat keluarga Aria sedari usia remaja, terutama ayah Aria yaitu mendiang Johan Santoso Pamungkas. Alasan tersebut jugalah yang membuat pria berusia empat puluh lima tahun itu dengan senang hati bekerja dan mengabdikan diri pada Aria. Maka dari itu, ucapannya barusan adalah suatu hal yang tidak bisa dianggap keliru karena selama ini dia telah membantu melindungi Aria dari serangan orang-orang yang ingin menjatuhkan perusahaan serta pemiliknya.

Dan soal racun sianida yang berada di dalam kopi yang diantar oleh petugas office boy, tentu saja AB mengetahuinya karena dia telah berpengalaman dengan kasus seperti ini. Bahkan dari aroma kopi yang hampir tidak bisa dideteksi bahwa minuman tersebut mengandung sianida.

"Aku akan segera mencari tahu siapa yang menaruh racun di kopi ini. Meski kemungkinan besar akan sulit dan pelaku itu berhasil melarikan diri."

AB segera bersiap untuk tugas mendadak. Dia sejatinya sudah sangat terbiasa. Puluhan tahun berkecimpung di dunia kerja, bukan hal yang sulit ketika harus melakukan tugas dadakan. Namun saat itu Aria justru bertanya hal lain.

"Bagaimana soal hal yang tadi kubicarakan? Perempuan itu?"

"Setelah mengurus sedikit tentang pengirim racun, kita akan segera mendiskusikannya kembali." Jawab AB.

"Baiklah." Aria berkata pendek.

Sementara sekretarisnya keluar dari ruangan itu, dia kembali memandangi jalanan malam kota Jakarta dari balik jendela ruangan dengan otak yang tidak berhenti memikirkan beberapa hal. Tadinya dia dan si sekretaris sedang berdiskusi tentang mengapa wanita pemilik usaha restoran yang hendak bangkrut itu tidak merespon tawaran bantuannya. Dia merasa sedikit kesal jika ternyata surat yang dikirimnya dua minggu lalu tidak ditanggapi. Karena bagaimana pun, dia ingin agar tawaran tersebut dijawab demi sebuah hal yang telah dia susun. Baginya, satu dua rencana boleh gagal. Namun untuk yang ini, harus diusahakan berhasil walau dengan cara sulit. Karena Aria telah mendengar tentang hubungan nama Agustinus dengan wanita itu.

.

Sementara itu di ruangan dapur kantor

AB berbicara kepada petugas office boy yang tadi mengantar kopi milik Aria. Pria muda di hadapannya tampak ketakutan saat itu karena diinterogasi, meski sebenarnya bukan maksud si sekretaris menuduh pemuda tersebut. Tetapi ini adalah masalah ancaman serius, percobaan pembunuhan terhadap orang penting di tempat itu. Jadi wajar jika introgasi dilakukan.

"Saya sungguh tidak melakukannya, Pak. Saya bersedia jika harus diperiksa atas kasus ini."

"Tentu saja. Aku sudah tahu bukan kau pelakunya. Ada orang luar yang masuk ke tempat ini dan menaruh racun dengan strategi yang hebat."

"Aku dan beberapa orang akan menyelidikinya dan tentu dengan tidak menimbulkan kehebohan untuk sementara waktu. Karena Pak Aria tidak akan menyukainya jika ada media yang memberitakan tentang hal buruk ini." Tambah si sekretaris.

"Baik Pak. Saya bersedia dipanggil kapanpun jika bantuan dan kerjasama saya diperlukan. Sekali lagi, tolong maafkan kekurangtelitian saya."