Aku terdiam selama lima menit penuh di kamarku yang sedikit gelap karena aku tidak sempat menyalakan lampu kamarku sebelum masuk tadi. Satu-satunya cahaya hanya berasal dari layar laptopku. Kepalaku dipenuhi oleh puluhan pertanyaan sekaligus, tapi kalimat Nicholas yang terakhirlah yang paling terngiang di dalam kepalaku saat ini.
'Aku berharap kau memiliki pertanyaan.'
Ia ingin aku menghubunginya! Perlahan rasa terkejutku berubah menjadi rasa marah, Ia melakukan ini agar aku menghubunginya. Apa Ia berusaha membuatku berhutang padanya jadi Ia bisa membuatku melakukan apapun yang diinginkannya?
Dasar pria arogan sialan.
Kukepalkan kedua tanganku dengan marah lalu membuka website tiket penerbangan. Aku tahu aku akan menyesali apa yang akan kulakukan, tapi aku tidak bisa membiarkannya melakukan hal-hal seperti ini lagi.
Sama saja dengan berusaha membeliku, well, harga diriku lebih tepatnya. Kuambil handphoneku dengan marah lalu mencari nomornya, setelah itu aku mengirim sebaris pesan padanya sebelum akhirnya kulempar handphoneku ke tempat tidurku.
Kumatikan laptopku setelah selesai memesan tiket lalu berjalan ke kamar mandi. Kulepaskan semua pakaianku lalu melemparnya ke keranjang pakaian, air hangat yang memancar dari shower perlahan membilas sebagian rasa marahku.
Aku tidak membawa pakaian bersih ke kamar mandi jadi aku hanya mengikat handukku di tubuhku sebelum keluar dari kamar mandi. Kamarku masih gelap karena aku belum menyalakan lampunya sejak tadi.
Handphoneku berkedip-kedip dari atas tempat tidurku, saat aku mengambilnya 7 misscall muncul di layarnya dan semuanya dari nomor yang sama. Setengah menit kemudian handphoneku berkedip lagi, kali ini aku mengangkatnya.
"Eleanor." Suaranya masih memiliki efek yang sama padaku walaupun aku tidak mendengarnya dua minggu terakhir. Perutku terasa seperti diaduk-aduk, tanpa kusadari aku menggigit bibirku.
"Hei."
"Kau memiliki pertanyaan?" suaranya terdengar lebih dalam saat berbicara lewat telepon. Kutarik nafasku dalam-dalam untuk menjernihkan kepalaku.
"Yeah." balasku.
"Apa kau baru pulang?" tanyanya.
"Tidak, aku baru saja selesai mandi..." jawabku dengan jujur sebelum aku sempat berpikir.
Ia terdiam selama beberapa saat sebelum berdeham, "Jadi apa pertanyaanmu?" suaranya berubah sedikit serak, membuat wajahku memerah.
Kugenggam lebih erat ujung handukku dengan salah satu tanganku. Aku berjalan ke arah pintu kamarku untuk menyalakan lampu, "Hari ini bank ku mengirim surat pemberitahuan."
"Oh ya?" suaranya masih belum berubah.
Tanganku bergerak untuk menekan saklar lampu, "Kau tidak perlu berpura-pura, Mr—" sebuah tangan yang tertutup sarung tangan hitam tiba-tiba muncul dari belakangku dan menutup mulutku dengan kasar.
Handphoneku terjatuh dari tanganku saat aku berusaha melawan, kugigit salah satu jarinya hingga Ia melepaskan tangannya sambil menggeram. Kugunakan kesempatan itu untuk berteriak sebelum akhirnya Ia menamparku dengan keras hingga aku terjatuh ke sebelah tempat tidurku.
Adrenalin dan rasa sakit membuatku berdiri lebih cepat, tapi dengan keadaan kamarku yang masih gelap aku tidak bisa melihatnya dengan jelas. Tiba-tiba Ia berada di belakangku dan menarik rambutku yang basah dengan kasar sebelum mendorongku ke tempat tidur, suara isakanku terdengar jelas di kamarku, aku bahkan tidak sadar aku sudah menangis sejak tadi.
Ia menindihku dengan tubuhnya yang berat, wajahku yang terbenam di bantalku membuatku sulit bernafas.
"Diam, brengsek!" suara itu berbisik dengan keras di telingaku, "Aku akan membunuhmu jika kau berteriak lagi, kau mengerti?"
Aku berusaha mengangguk, samar-samar aku mendengar suara dari handphoneku yang terjatuh tadi. Ia mengikat tanganku dengan kabel lalu membalikkan badanku. Aku berusaha tidak bergerak terlalu banyak agar handukku tidak semakin terbuka.
Tiba-tiba Ia berjalan menjauh dan satu detik kemudian cahaya terang menyinari kamarku. Aku menatapnya dengan panik, Ia memakai topeng berwarna hitam yang menutupi seluruh kepalanya. Seluruh pakaiannya juga berwarna hitam.
Pria itu mengambil handphoneku lalu mematikannya, suara terakhir yang kudengar adalah suara Mr. Shaw yang berteriak memanggil namaku.
"A—ap—apa yang kau inginkan?" jantungku berdebar sangat kencang hingga membuat kepalaku sedikit berdenyut.
Ia berjalan hingga ke ujung tempat tidurku lalu mengeluarkan sebuah pisau dari balik punggungnya. Aku berusaha melepaskan ikatan tanganku, tapi kabel yang melingkari kedua pergelangan tanganku hanya melonggar sedikit.
Rasa panik dan takutku membuat air mataku berhenti, Ia mengarahkan pisaunya ke kakiku lalu menancapkannya ke tempat tidurku, beberapa senti dari kakiku.
"Sekali lagi kau berteriak, aku tidak akan segan melukaimu, kau mengerti?" Ia sedikit terengah kelelahan saat berbicara. Aku mengangguk sambil menggigit bibirku untuk menahan isakanku, dari sudut mataku aku bisa melihat layar handphoneku berkedip-kedip di lantai. Lana baru akan kembali 3,5 jam lagi dan satu-satunya yang tahu tentang keadaanku saat ini hanya Mr. Shaw, tapi Ia berada 2000 mil jauhnya dari sini.
"Ap—apa yang kau inginkan? U—uang?"
Ia tidak menjawabku, kedua matanya berkali-kali menyusuri tubuhku yang hanya tertutup handuk membuatku semakin panik. "Aku punya uang tunai di lemariku."
"Aku tidak punya banyak waktu." Gerutunya dengan suaranya yang berat dan kasar.
"Apa yang kau lakukan?!" suaraku berubah menjadi sedikit histeris saat Ia melingkari kedua pergelangan kakiku dengan tangannya. Perlahan Ia menyusuri kakiku lalu berhenti di lututku, perutku terasa mual saat ibu jarinya membuat gerakan melingkar di belakang lututku.
"Kumohon hentikan. Aku punya uang lebih di bank jika kau menginginkannya." Aku menatap kedua matanya yang berwarna coklat dan kusam.
Ia hanya menjawabku dengan meremas lututku dengan keras hingga membuatku sedikit menjerit, lalu tiba-tiba Ia berdiri dan berjalan menuju pemutar musik yang berada di ujung kamarku. Pria itu menyalakannya dan memutar volumenya hingga suara musik yang keras akan meredam suara apapun yang akan kukeluarkan.
Aku belum berhenti berusaha melepaskan ikatan kabel di tanganku sejak tadi walaupun usahaku hanya berhasil membuatnya sedikit longgar. Rasa panikku berubah menjadi terror saat ia berdiri di ujung tempat tidurku sambil melepas sabuknya. Perutku terasa semakin mual.
"K—kumohon hentikan." Tapi suaraku teredam suara musik yang keras. Aku berusaha menendangnya dengan seluruh tenagaku saat Ia mendekat dan salah satunya mengenai perutnya dengan keras hingga Ia hampir terjerembab ke belakang.
Kedua matanya menatapku dengan marah lalu Ia mematikan pemutar musikku. "Kau ingin membuatnya lebih menarik, sayang?" suaranya terdengar menakutkan saat Ia menyebut kata 'sayang'.
Ia memungut sabuknya yang tergeletak di lantai lalu menggenggamnya erat-erat. "Ini akan terasa sedikit menyakitkan." Gumamnya sebelum menyalakan pemutar musik lagi lalu mengangkat sabuk kulitnya dan melecutkannya ke kakiku berkali-kali.
Rasa sakit, perih, dan panas membuatku menjerit sekuat tenagaku. Tapi Ia tidak peduli dengan jeritanku, lecutan-lecutan itu semakin lama semakin brutal mendarat di setiap senti kakiku. Air mata kesakitanku membasahi pipiku tanpa bisa kucegah. Aku berusaha menghindari lecutannya tapi semakin banyak kakiku bergerak, semakin keras Ia melecutku.
Rasa perih yang teramat sangat membuat langit-langit kamarku sedikit berputar, lalu aku melihat sesuatu bergerak di belakangnya. Ujung botol Wine yang terangkat di belakang kepala pria itu sedikit berkilap terkena cahaya lampu kamarku. Seperempat detik kemudian aku mendengar suara benturan diikuti dengan suara pecahan dan makian.
Cairan Wine membasahi handuk dan tempat tidurku, pria itu bergerak sempoyongan ke belakang hingga aku bisa melihat Lana yang berdiri beberapa meter di belakangnya, Ia masih memakai pakaian kerjanya.
Salah satu tangannya membawa sisa botol Wine yang pecah. Kedua matanya yang besar dan ketakutan melihatku sekilas sebelum memandang pria itu. Kugunakan kesempatan ini untuk menarik kedua tanganku keras-keras dari ikatan kabelku, aku tidak mempedulikan lagi rasa sakit di seluruh tubuhku dan rasa sakit di kulit pergelangan tanganku saat kabel itu mengiris sedikit permukaan kulitku.
Pria itu mengalihkan seluruh perhatiannya pada Lana walaupun Ia beberapa kali memejamkan matanya karena kesakitan.
"Brengsek!" Ia berjalan sedikit sempoyongan ke arah Lana yang masih berdiri membeku di tempatnya.
"Lana, lari!" teriakku sambil menarik tanganku semakin keras, ikatanku terasa semakin longgar. Tapi Lana terlihat terlalu shock untuk berlari, pria itu memukulnya hingga Lana terjatuh. Lalu Ia mengangkat tangannya lagi ke arah Lana.
Aku mendengar jeritan Lana tepat saat kedua tanganku berhasil lepas. Tanpa mempedulikan rasa sakit di kakiku aku melompat ke belakang pria itu lalu menarik topeng beserta rambutnya dengan keras hingga Ia mengerang kesakitan dan melepaskan Lana.
Ia berbalik dengan ekspresi kemarahan yang brutal lalu mulai menamparku dengan keras hingga aku terjatuh, sebelum aku sempat berdiri kakinya menendang perutku. Kubuka mulutku untuk menjerit tapi rasa sakit saat ujung sepatu bootsnya kembali menendang perutku membuat suaraku tertahan di tenggorokanku. Dan rasa sakitnya dua kali lipat lebih sakit daripada saat Ia melecutku.
Pria itu baru berhenti saat Lana memukulnya dengan kursi hingga Ia tersungkur di lantai dan tidak bergerak satu meter di sebelahku. Lana memukulnya sekali lagi dengan kursi untuk memastikan.
"Oh... Oh Tuhan, Ella, kau tidak apa-apa?" Lana berlutut di sebelahku, kedua matanya membesar karena shock. Aku tidak merubah posisiku yang meringkuk, sedikit gerakan saja membuat perutku terasa sangat sakit.
Kami mendengar suara sirene mobil polisi beberapa detik kemudian. "Aku belum menelepon polisi." Gumam Lana sambil terengah-engah, Ia memandangku dengan kedua mata birunya yang membesar dan dipenuhi air mata. Sedikit lebam dan darah menghiasi sudut mulutnya.
Jika Lana tidak datang... aku tidak tahu apa yang terjadi padaku saat ini. Aku ingin memeluknya untuk menghentikan tangisannya, tapi aku tidak bisa, rasa sakit di perutku hampir membuatku pingsan. Bahkan untuk bernafaspun menyakitkan.
"Mereka akan sampai sebentar lagi, aku—aku akan menelpon ambulans." Gumamnya dengan pelan sambil berusaha berdiri, Ia melirikku berkali-kali sambil memegang handphonenya dengan tangannya yang gemetar.
Karena rasa sakit yang tidak tertahan lagi akhirnya aku menyerah, kupejamkan kedua mataku menyambut kegelapan yang akan meredam rasa sakitku.