Aku terbangun di ruang ICU empat jam kemudian, alat bantu pernapasan membuatku tidak bisa berbicara. Tubuhku tidak terasa sesakit sebelumnya tapi aku juga hampir tidak bisa merasakan apa-apa, mungkin karena pengaruh obat.
Aku bisa melihat Lana yang berdiri di depan jendela lebar ruang ICU. Ia sedang berbicara dengan dokter, salah satu tangannya menutup mulutnya dan Ia masih menangis. Beberapa mesin mengelilingi tempat tidurku, suaranya yang bersahut-sahutan membuatku merasa seperti alien.
Aku berusaha menggerakan jari-jariku perlahan untuk membuka alat bantu pernafasan, tapi seluruh tubuhku masih terasa kaku. Butuh waktu beberapa menit lamanya hingga akhirnya aku bisa membukanya, dokter yang sedang berbicara dengan Lana menyadari apa yang sedang kulakukan. Ia berhenti berbicara lalu masuk ke ruangan ICU diikuti oleh seorang suster dan Lana di belakangnya.
"Miss Heather?" Ia berdiri di sebelahku sambil memeriksa kedua mataku dengan senter kecil, "Apa kau masih merasa sakit? Aku akan meningkatkan dosis obatnya jika kau masih merasa sakit."
Aku menggeleng padanya. Lana berdiri di sudut ruangan sambil berusaha menghapus air matanya dengan tissue. "Aku tidak merasa sakit. Apa—apa ini?" tanyaku dengan suara yang serak sambil menunjuk beberapa selang mesin yang terhubung ke tubuhku.
Suster di sebelahku sedang mengganti kantong IV ku dengan yang baru. Dokter itu terlihat ragu-ragu sejenak sebelum menjawabku, "Kau harus berada di ICU selama tiga hari kedepan. Livermu terluka cukup parah, jadi untuk sementara kau harus memakai alat bantu untuk membantu livermu bekerja."
"Terluka? Apa maksudnya?"
"Miss Morrel memberitahuku bahwa pelakunya sempat menendang perutmu beberapa kali dengan sangat keras, akibatnya livermu terluka hingga hampir terbelah."
Aku menatapnya dengan pandangan kosong selama beberapa detik, "Terbelah?" tenggorokanku terasa semakin kering setiap aku berbicara.
"Hampir, hanya saja kita tetap harus menunggu selama tiga hari kedepan. Jika keadaannya memburuk kau harus dioperasi." Ia tersenyum dengan ekspresi menenangkan sebelum berbicara lagi,
"Aku akan mengecekmu lagi 3 jam lagi. Jika kau butuh sesuatu, tekan saja tombol itu." Ia menunjuk tombol berwarna biru di sebelah tempat tidurku sebelum pergi. Aku mengangguk padanya, kalimatnya yang sebelumnya masih berputar-putar di dalam kepalaku.
Oh, sial. Aku tidak bisa mengingat berapa sisa tabunganku bulan ini. Berada di ICU ditambah operasi terdengar mengerikan dan... mahal.
Lana berjalan ke sebelah tempat tidurku, wajahnya sedikit menegang karena berusaha menahan tangisannya. Ia memandangku dengan kedua matanya yang bengkak karena menangis, "Kau merasa lebih baik?" tanyanya sambil berusaha tersenyum.
"Yeah, kau baik-baik saja? Kau tidak terlihat lebih baik dariku, Lana."
Ia mengusap sudut bibirnya yang sebelumnya terluka lalu meringis, "Hanya sedikit sobek. Dokter sudah memberitahuku tentang—tentang—"
"Ia juga memberitahuku. Kurasa aku harus operasi 3 hari lagi." Gumamku sambil berusaha memutar kedua mataku walaupun terasa sedikit sakit. Aku tidak ingin membuat Lana semakin khawatir. "Bagaimana dengan... pria itu?"
"Ia masih dioperasi. Kurasa Ia mengalami gegar otak."
"Whoa, pukulan yang bagus, Lana." balasku sambil tersenyum.
Ia tertawa kecil sebelum terisak lagi, "Ella, seharusnya aku tidak meninggalkanmu sendiri."
"Jika kau tidak meninggalkanku mungkin saat ini kita berdua masih terikat di sana." Aku memandangnya sambil cemberut, "Ini sama sekali bukan salahmu, okay?"
Ia hanya mengangguk kecil. "Apa kau akan kembali ke apartemen malam ini?"
"Tidak... tempat itu mungkin masih dipenuhi polisi saat ini. Kau tahu berapa polisi yang datang? 24 orang. Dan 3 ambulans." Ia tertawa kecil lagi. "Mereka bahkan harus antri untuk bisa masuk ke dalam apartemen."
"Apa—Bagaimana bisa?"
"Sepertinya beberapa orang dari apartemen kita menelepon polisi bersamaan setelah mendengar teriakan." Lana terlihat lebih baik setelah tertawa, "Ayahku menjemputku satu jam yang lalu, mungkin aku akan menginap di hotel malam ini."
"Oh... bagus. Sampaikan salamku untuknya." Aku berpura-pura menguap agar Lana bisa kembali lebih cepat dan beristirahat.
"Aku akan menengokmu lagi besok pagi sekali. Sayang sekali mereka tidak mengijinkanku menginap." Jawabnya sambil menarik kedua sudut mulutnya ke bawah.
Aku sedikit tersentuh karena Lana berpikir untuk menginap bersamaku malam ini. "Tentu saja, ini ruang ICU, Lana. Mungkin setelah aku dipindahkan ke ruangan reguler mereka akan mengijinkannya."
Ia tersenyum lagi lalu mencium keningku, "Sampai besok pagi, Ella."
"Okay, bye." Aku membalas senyumannya hingga Ia menghilang dari balik pintu. Dari jendela ICU aku bisa melihat Lana yang sedang memeluk ayahnya sebelum mereka berjalan pergi. Walaupun hubungan mereka tidak terlalu baik, tapi setidaknya Lana masih memiliki seseorang untuk dipeluk di saat-saat seperti ini.
Kutarik nafasku dalam-dalam untuk menelan rasa kecewa yang menyumbat tenggorokanku. Untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir, aku merasa sangat, sangat kesepian.
Karena pengaruh obat aku kembali tertidur lagi beberapa kali sebelum terbangun, lalu tertidur lagi. Samar-samar aku mendengar suara orang berbicara dari jarak yang jauh lalu kembali hening, aku berusaha membuka kedua mataku yang berat tapi menyerah saat rasa kantuk menguasaiku.
Beberapa saat kemudian suara seseorang yang berbicara dengan nada marah membuatku terbangun, kali ini kupaksa kedua mataku untuk terbuka. Suara itu terdengar semakin mendekat bersamaan dengan kenop pintu ruanganku berputar lalu terbuka.
"Sir, anda tidak boleh masuk sembarangan dan ini bukan jam kunjungan!"
Aku hampir tidak mempercayai kedua mataku saat melihat Nicholas Shaw yang berdiri di tengah pintu dengan sedikit terengah. Salah satu tangannya masih memegang kenop pintu sementara wajah pucatnya memandangku.
Perlahan Ia melepaskan tangannya dari kenop dan menutup pintu di belakangnya, meredam suara suster yang sedang mengomelinya. Ia terlihat berantakan. Lengan kemeja putih gadingnya yang kusut dilipat dengan sembarangan hingga ke siku dan dua kancing teratasnya dibiarkan terbuka. Bayangan bakal janggutnya yang baru tumbuh menutupi rahangnya yang biasanya selalu terlihat bersih. Ia berjalan perlahan ke arahku lalu berhenti di sebelahku. Beberapa helai rambutnya yang berantakan jatuh menutupi matanya saat menunduk menatapku.
Aku tidak sadar sejak kapan jantungku berdebar lebih keras, tapi suara mesin pencatat detak jantungku yang berada satu meter di sebelahku ikut berkedip menjadi lebih cepat. Aku mengamati wajahnya, Ia terlihat tegang dan panik dan... khawatir. Sangat khawatir hingga aku bisa melihatnya di dalam kedua mata biru tuanya yang kini sedang memandangku.
"Hei." Sapaku dengan suara serak. Aku menelan ludah sebelum berbicara lagi, "Apa yang kaulakukan disini?"
Ia tidak menjawabku, kedua matanya beralih memandang ke seluruh tubuhku yang tertutup selimut lalu ke mesin yang berada di sebelah tempat tidurku sebelum akhirnya kembali memandang wajahku. Ia mendekat lagi hingga hampir menempel ke pinggir tempat tidurku. Tangannya terangkat untuk menyentuh wajahku, tapi apa yang dilakukannya tidak bisa membuatku mengalihkan pandanganku dari ekspresi di wajahnya.
Belum pernah ada orang yang memandangku seperti Nicholas Shaw memandangku saat saat ini. Ibu jarinya menyentuh luka di wajahku dengan sangat lembut hingga aku hampir tidak bisa merasakannya.
"Aku baik-baik saja." Gumamku.
Ia menarik kedua sudut mulutnya ke bawah, "Kau tidak akan berada di ICU jika baik-baik saja." Akhirnya Ia berbicara. Suaranya hampir sama seraknya dengan suaraku. "Maafkan aku, Eleanor." Ia memandangku dengan ekspresi itu lagi, membuatku hatiku terasa seperti di remas.
"Untuk apa?"
Ia menarik tangannya dariku sebelum menjawabku, "Karena aku tidak ada saat kau membutuhkanku."
Tiba-tiba aku merasa ingin menangis tanpa sebab yang jelas. Kugigit bibirku sambil berusaha tersenyum padanya, "Ini bukan salahmu, Mr. Shaw. Ini bahkan tidak ada hubungannya denganmu sama sekali."
"Semua yang berhubungan denganmu, berhubungan denganku juga." Ia menangkup tanganku dengan salah satu tangannya lalu meremasnya dengan lembut. "Aku hampir kehilangan..." Ia tidak melanjutkan kalimatnya, Ia tidak perlu melakukannya. Apa yang kulihat di dalam kedua matanya saat ini cukup untuk memberitahuku.
Dan aku merasa... aku merasa aman. Seluruh rasa kesepian yang kurasakan sebelumnya menguap begitu saja. Karena aku tahu, aku tidak sendirian lagi.
Aku tidak sendirian lagi.
Kata-kata itu terasa asing bagiku. Selama ini aku terbiasa sendirian saat di panti asuhan atau di keluarga asuh... sebelum akhirnya aku bertemu Lana. Tapi saat melihat ayahnya yang datang setelah Ia mendengar kejadian ini, untuk sesaat tadi aku merasa sedikit iri padanya. Selama ini belum pernah ada yang melakukan itu untukku. Belum pernah ada yang datang hanya untukku, hanya untuk memastikan aku baik-baik saja.
Tapi Nicholas Shaw datang 2000 mil jauhnya... hanya untukku.
"Sebaiknya kau istirahat." Gumamnya dengan setengah berbisik setelah kami terdiam cukup lama. Ibu jarinya mengelus telapak tanganku dengan lembut.
"Kau juga." Balasku tanpa mengalihkan pandanganku darinya. "Kau terlihat berantakan, Mr. Shaw."
"Nicholas."
"Apa?" aku menatapnya dengan sedikit bingung.
"Panggil aku Nicholas."
Pintu ruanganku terbuka sebelum aku sempat membalas permintaannya, dokter yang menanganiku kembali dengan dua orang suster. Salah satunya adalah suster yang memarahi Mr. Shaw sebelumnya.
"Aku ingin melihat hasil pemeriksaan Miss Heather." Mr. Shaw melepaskan tangannya dariku perlahan lalu menatap dokter itu.
"Sir, anda tidak bisa masuk tanpa ijin! Silahkan keluar dan kembali lagi besok—"
"Aku ingin melihatnya. Sekarang." Ulang Mr. Shaw kali ini dengan nada memerintahnya. Dokter itu menatap Mr. Shaw dengan cemberut di wajahnya, sedangkan suster di sebelahnya hampir melotot karena marah.
Aku akan tertawa jika perutku tidak terasa begitu sakit. Kedua suster itu berjalan keluar dari ruanganku setelah berbicara dengan dokterku. Mereka berdua memandang Mr. Shaw sekali lagi dengan kesal sebelum akhirnya keluar.
"Sir, hanya keluarga yang bisa mengunjungi Miss Heather. Dan Ia saat ini harus istirahat, saya akan memanggil bagian keamanan jika anda tidak segera keluar dari ruangan ini." Dokterku kembali menegurnya.
"Aku adalah keluarganya." Jawabannya singkat, membuatku kembali menoleh padanya. Dokter itu menatapku sambil menaikkan kedua alis matanya, "Tapi Miss Morrel tidak mengatakan—"
"Miss Heather adalah tunanganku."
Kami berdua menatap ke arah Mr. Shaw bersamaan. Ia membalas tatapanku sambil menarik salah satu sudut mulutnya ke atas, membentuk senyuman khasnya walaupun wajahnya terlihat berantakan.
Sesaat aku melupakan apa yang baru saja diucapkannya. Sebelum aku sempat memprotes ucapannya dokter itu mendahuluiku.
"Oh... baiklah." Gumam dokter sambil berusaha menghapus cemberut di wajahnya, "Tapi Miss Heather membutuhkan istirahat saat ini."
"Aku tahu." Jawab Mr. Shaw tanpa memandang ke arah dokter, pandangannya masih tertuju padaku. "Aku hanya ingin melihat hasil pemeriksaannya."
"Kita bisa membicarakannya di luar agar Miss Heather bisa istirahat." Dokter itu mengajak Mr. Shaw keluar dari ruanganku, kedua suster yang mendampinginya sebelumnya kembali lagi dan mengajakku mengobrol sebentar. Mereka menyuntikkan sesuatu di botol infusku lalu keluar lagi setelah memeriksaku.
Kedua mataku perlahan terasa berat, aku bisa melihat dokter masih berbicara dengan Mr. Shaw dari jendela ruangan ICU. Tapi aku tidak bisa melihat Mr. Shaw, kurasa Ia berdiri di balik pintu saat ini.
Mengapa mereka bicara lama sekali? Kelopak mataku semakin terasa berat hingga akhirnya aku menyerah dan tertidur.