webnovel

Bab 12

Aku harus cepat, aku tidak mau sesuatu terjadi padanya.

“Mera!” panggilku sambil terengah-engah. Aku baru saja menghentikan lariku sedetik yang lalu.

“Kau gila ya! Apa-apaan kau ini!” bentak Mera pada seseorang di depannya.

“Ra?” aku memicingkan mataku. Heran melihatnya seperti tidak tersiksa, ataupun tersakiti.

Teman-teman yang lain datang menghampiriku. Sepertinya mereka juga mendengar teriakan Mera.

“La, kau tahu, dia mengagetkanku lalu berbuat mesum padaku! Itu sangat kurang ajar! Mentang-mentang kamu ini tampan jadi bisa melakukan apa saja. Begitukan maksudmu?!”

Bentaknya garang. Sungguh mendengarnya mengatakan ‘tampan’ membuatku ingin tertawa terbahak-bahak. Tapi aku tahu ini bukan saat yang tepat untuk tertawa. Jadi kutelan bulat-bulat tawaku dan memasang raut wajah datar. Dia terus menunjuk-nunjuk seorang yang terlihat lebih tinggi 20 cm di depannya. Seseorang yang dia tunjuk tidak bisa berkata-kata, hanya bisa membuka mulutnya. Layaknya seorang yang baru saja mendapat fitnah.

Entahlah, tapi seperti itu raut wajahnya. Aku memang tidak bisa menggambarkan wajahnya dengan baik.

“Aku tidak berbuat mesum ya padamu. Aku hanya tidak sengaja dan kamu langsung berteriak begitu saja. Tentu saja aku reflek melakukan itu. Jadi itu bukan salahku. Dan ngomong-ngomong terima kasih atas pujiannya.” Katanya membela diri diakhiri senyum yang rasanya terlihat ganjil saat diucapkan selagi membela diri.

“Apa yang terjadi? Ada apa ini? Siapa yang berteriak?” seorang lelaki paruh baya dengan postur tubuh tegap datang dari arah luar memberi pertanyaan beruntun.

Dia datang melewati pintu putih yang berada di ruangan ini. Tentu saja kami menolehkan pandangan ke arahnya. Paman John terlihat ikut berdiri di belakangnya. Dia tidak mengatakan apapun. Tapi dari raut wajahnya, dia seperti mengatakan

‘Apa yang kali ini Mera lakukan, heh?!’

Ya seperti itulah intinya. Aku tentu saja langsung menggelengkan kepala kuat-kuat. Tiga orang lain di sampingku pun juga melakukan hal yang sama.

Aku baru sadar, ternyata sejak tadi kami berempat seperti orang bodoh yang melihat drama percintaan tidak jelas sepasang kekasih. Aku menolehkan kepalaku melihat Zeta, Rian, dan Agam bergantian. Yang kudapati mereka juga memasang raut wajah yang sama sepertiku. Ya, merasa seperti orang bodoh tentu saja.

“Ini Pak, ada seorang lelaki yang berbuat mesum padaku. Dia—”

“Heh, jangan asal menuduh ya!” Potong lelaki itu tajam.

“Aku tadi sedang membaca buku di sofa ini, lalu kudengar suara langkah kaki yang semakin mendekat. Tentu saja aku mengabaikannya, buku ini lebih menarik daripada sebuah langkah kaki. Tapi kemudian entah bagaimana, dia tersandung dan jatuh di depanku. Aku yang melihatnya, tentu saja refleks menarik tangannya yang ternyata tanpa disadari aku malah ikut tertarik dan jatuh.” ceritanya panjang sambil menunjuk sofa dan buku yang dipegangnya bergantian. Sesekali ia menatap tajam kesal kepada Mera.

“Lalu yang terjadi selanjutnya posisi jatuhku itu menindih dirinya. Dan kalian tahu kelanjutannya. Dia berteriak lalu aku membekap mulutnya. Lalu dia menendangku dan kau, kalian. Datang. Tidak lebih, tidak kurang.” lanjutnya.

“Astaga kupikir teriakan itu, ah sudahlah lupakan apa yang kupikir. Kau ini memang menyusahkan, Ra.” kata Rian mengeluh cemburu. Ya itu yang kulihat dari sorotan matanya.

“Kalian ini, membuat jantungku hampir berhenti berdetak kalian tahu.” ucap lelaki paruh baya itu menggelengkan kepala.

“Dasar remaja.” imbuhnya lirih.

“Baiklah karena kalian sudah bertemu, sepertinya kalian harus saling berkenalan ya. Kemarilah duduk.” lelaki itu berjalan menuju ke sofa-sofa yang disusun saling berhadapan dengan meja persegi panjang dari kayu di tengahnya.

Aku baru menyadari ternyata ini adalah ruang tamu. Dengan jendela besar bergaya belanda di samping kanan kiri ruangannya. Aku juga baru menyadari pakaian yang mereka pakai seperti kimono orang jepang. Tetapi terlihat lebih sederhana. Ya, lelaki paruh baya, lelaki yang dikata mesum oleh Mera, juga Paman John.

“Kenalkan namaku Masaki. Tapi orang lebih suka memanggilku sensei. Aku seorang pengendali air. Lalu ini adalah salah satu anak didikku. Dia Arion, seorang pengendali listrik. Dan ini adalah salah satu penginapan untuk beberapa muridku. Yang saat ini mereka sedang pergi bertualang. Dan lembah ini dinamakan lembah berair.” jelasnya panjang lebar namun bermakna singkat.

Aku melihatnya. Seseorang yang lebih sering dipanggil sensei itu memiliki beberapa uban di kepalanya. Pakainnya berwarna biru gelap dengan sedikit garis putih. Lalu seseorang yang bernama Arion itu, dia memiliki warna mata yang unik. Heterokromia. Dua warna iris mata. Coklat dan biru. Aku baru pertama kali melihatnya. Dia mengenakan pakaian berwarna hitam dengan garis yang juga berwarna hitam.

Sedang Paman John, ia masih menganakan pakaian itu. Kimono hijau dengan garis putih.

“Dan ini orang yang selama ini kamu pikirkan Rian.” kata Paman John pada Rian yang menunjukkan bahwa dirinya membaca pikiran Rian selama ini.

“Tunggu. Dia?” tanya Rian yang sepertinya tidak percaya.

Paman John hanya mengangguk.

“Ra, kamu masih ingat saat aku mengatakan ada sesuatu di dalam hutan. Lalu sesaat sebelum kawanan banteng itu mengamuk?” tanya Rian padaku dari ujung sofa. Raut wajahnya terlihat percaya dan tidak disaat yang bersamaan.

Aku menatapnya, lalu menganggukan kepala. Ya tentu saja aku ingat. Itu adalah saat dimana aku memutuskan tidak tidur dan saat dimana kulihat Rian seperti melihat sesuatu mengancam sebelum para banteng mengejar kami. Bagaimana aku bisa lupa.

“Itu dia. Arion.”

-*#*-

“Kau sepertinya masih perlu meningkatkan ilmu petak umpetmu Arion.” ucap Sensei sambil tertawa renyah.

Lelaki yang disebutnya hanya mendengus kesal.

“Aku seharusnya meminta maaf sensei.” kata Arion mengalihkan pandangannya ke arah karpet.

“Maaf kawan, aku memang mengamati kalian dari jarak jauh. Saat di padang rumput dan di padang tandus. Maaf juga karena ulahku kalian harus berurusan dengan para badak bersayap itu.”

“Apa yang kau lakukan?” tanya Mera memotong permintaan maaf Arion.

“Tidak sengaja menginjak ekor salah satu badak bersayap ketika mereka sedang tidur.”

“Astaga, kau tahu karena kecerobohanmu itu kami harus mengikuti ide terburuk sepanjang masa milik Paman John dan harus tertawan oleh suku air pedalaman.”

Cerocos Mera tak tahu malu di depan Arion dan sensei.

“Sudah kubilang aku tidak sengaja kan. Lagipula aku juga yang menolong kalian di sungai tebing batu itu. Jadi sedikit berterima kasihlah anak kecil.” ledek Arion di akhir.

Sepertinya saat ini Mera memiliki musuh baru. Aku yang melihatnya merasa lelah. Sungguh memang bukan aku yang mendapatkannya, tapi tetap saja rasanya seperti ujian baru bagiku.

Tapi sebenarnya, Tanpa disadari dia juga menarik banyak orang untuk berbicara dengannya. Jangan pilih kasih antara berbicara berdebat atau bersahabat. Intinya menurutku itu hal hebat yang kemungkinan tak bisa kulakukan.

“Dasar ceroboh.” ketusnya membalas cemoohan Arion.

Aku mengalihkan pandanganku ke arah luar rumah. Menatap keluar jendela besar. Disana terdapat sebuah bangunan seperti dojo. Yang bersebelahan dengan kedai mi, sepertinya. Aku melihat beberapa orang berlalu lalang saling menyapa. Mereka mengenakan pakaian yang sama seperti yang dipakai Sensei, Arion, dan Paman John.

“Mera, bagaimana kalau kau berdebat dengannya disana?” kataku yang kembali melihat mereka berdebat di depan orang dewasa sembari menunjuk bangunan mirip dojo.

“Dimana?” tanya Zeta semangat.

“Tuu.” sambil menunjuk lebih jauh ke arah bangunan di samping kedai mi aku menjawab pertanyaannya.

“Ohh disana. Ayo, siapa takut!” tantang Arion semangat.

“Tunggu sebentar.”

Paman John menghentikan kami. Sementara sensei beranjak dari tempatnya duduk. Dia berjalan menuju ke salah satu lemari setinggi pinggang. Dan mengeluarkan suatu kardus.

“Apa kamu tahu bela diri, Ra?” tanya Paman.

“Tentu saja aku tahu.” jawab Mera yakin sambil tersenyum lebar.

Aku yang mengetahui dirinya menguasai muay thai hanya bisa menggelengkan kepala.

“Kalau kau sendiri?” tanya Mera balik.

“Aikido.” Jawabnya datar.

“Shodan.Tingkat mahir.” lanjutnya.

“Ohh, jadi di kerajaan ini nama seni bela diri itu sama dengan nama seni bela diri yang ada di kerajaan sebelah ya. Pelajaran baru bagiku.” kata Agam sambil menganggukkan kepala.

“Tentu saja berbeda.” jawab sensei setelah kembali menuju ke tempat kami duduk.

“Lalu dia?"

“Dia belajar seni bela diri di kerajaan kalian, lalu kembali lagi kesini dan melengkapi pengajaran seni bela dirinya.” jelas Sensei.

Kami yang mendengarnya hanya ber-oh ria. Kecuali Mera tentunya.

“Sebelum kalian berjalan memutari desa kami, tolong ganti pakaian kalian dengan ini ya. Kami sangat menghormati dan menyukai budaya asli kami.” Sensei menyerahkan pakaian itu kepada kami berlima bergantian.

“Apa ini?” tanya Rian penasaran.

“Pakaian ini bernama 'Ganti'. Dia bisa berubah sesuai dengan situasi dan kondisi pemakainya.” jelas Sensei.

“Tunggu, 'Ganti'?” tanyaku heran. Kenapa pula pakaian seperti kimono ini diberi nama Ganti.

“Ya.”

“Apa maksudmu pakaian ini bisa berubah sendiri begitu?” tanya Mera terkagum-kagum menatap pakaian yang dipegangnya.

“Dasar bocah.” lirih Arion.

“Tentu tidak, pakaian ini berubah jika kita mengubahnya dengan 'menekan tombol' yang tepat yang ada di kain itu.” kata sensei sabar.

“Keren sekali.” Zeta ikut terkagum.

“Jadi, kami harus berganti pakaian dengan pakaian 'Ganti'.” kataku memainkan kata ganti.

“Yaa seperti itulah. Agak sedikit membingungkan di awal.” jawab Sensei.

“Baiklah.” Rian beranjak dari sofa. Dia melangkah gontai menuju ke arah lorong. Disusul kami dibelakangnya setelah memberi hormat dan berterima kasih dengan menganggukan kepala.

-*#*-

Aku keluar dari kamar yang kutempati tepat 15 menit setelah aku masuk. Di samping kiriku Mera juga keluar dengan pakaian Ganti berwarna merah mawar polos. Dia terlihat sangat cantik menurutku.

“Waah. Sepertinya pakaian Ganti itu cocok denganmu Ra. Kau terlihat sangat cantik.” Pujiku sambil tersenyum.

“Tentu saja, siapa dulu pemakainya.” jawabnya angkuh sambil tertawa. Aku yang mendengarnya langsung merubah raut wajahku yang sebelumnya senang menjadi datar.

Astaga kalau tahu responnya akan angkuh seperti itu lebih baik aku tidak memujinya tadi. Memang menyebalkan perasaan menyesal selalu datang di akhir.

Lalu beberapa detik kemudian Zeta keluar dari kamarnya. Dia juga terlihat sangat cantik. Dengan pakaian 'Ganti' berwarna ungu polos yang terkesan anggun untuknya. Ditambah dengan gaya rambutnya yang digulung menambah kesan dewasa padanya.

Berbeda denganku tentu saja. Aku dengan pakaian 'Ganti' warna biru toska polos sama sekali tidak menampilkan kesan anggun maupun dewasa. Menurutku.

“Waah Zeta kamu terlihat sangat anggun dengan pakaian itu.” pujiku jujur.

“Terima kasih.” jawabnya.

Lihat sangat bertolak belakang sekali dengan Mera dan aku. Tidak, sepertinya hanya aku saja. Mera seperti biasanya terlihat cantik.

“Hei, kalian kemarilah!” teriak Rian memanggil. Dia sudah berada di ruang tamu bersama dengan Agam dan Arion. Mereka terlihat sangat menawan. Dengan pakaian yang sudah berganti menjadi 'Ganti'. Astaga susah sekali ya menjelaskannya. Kata itu mengecoh susunan kalimatku. Tidak menyenangkan sekali rasanya.

“Waah, kalian terlihat keren sekali mengenakan pakaian 'Ganti'.” kata Zeta memuji.

“Tentu sajaa.”

“Terima kasih.”

Jawaban yang sungguh bertolak belakang sekali.

“Dimana Paman John dan sensei?” tanyaku sembari melihat kanan dan kiri menyadari tidak ada mereka berdua.

“Oh, mereka sudah pergi sejak 5 menit yang lalu. Ada urusan yang perlu dibicarakan katanya.” jawab Agam.

Aku hanya mengangguk mengerti. Mungkin aku tahu urusan apa itu. Sudah sejak dua hari yang lalu perilaku Paman John sama. Atau bahkan mungkin sejak hari keberangkatan. Menghilang untuk membicarakan suatu hal yang penting. Hal yang sama saat yang dia lakukan di ruangan Pak Joko dan rumah Kakek Pink.

“Ra, ayo. Jangan hanya diam disitu!” seru Agam memanggilku.

Aku baru menyadarinya. Aku sudah ditinggal mereka sejak tadi.

“Ahh, iya.”

“Sepertinya mereka sangat bersemangat tentang bertarung itu.” kata Agam disampingku.

“Yaa mereka memang unik.” jawabku sambil tertawa.

“La, nanti kamu harus jadi wasit ya! perlakukan orang sombong ini seperti orang yang biasanya kamu awasi!” Teriak Mera kepadaku dari barisan depan sambil menunjuk-nunjuk Arion disampingnya.

“Mmm okey.” jawabku ragu.

“Hei mana bisa wasit membela satu kubu pemain. Itu curang namanya.” bantah Arion disampingnya.

“Ck! Dia akan menjadi wasit yang adil. Jadi kau diam saja lah!”

Mereka berdua sudah sejak tadi saling memaki. Sedangkan Zeta sejak tadi memberi senyum dan sapa kepada orang yang ditemuinya. Rian? tentu saja dia memperhatikan sekitar. Seperti biasa, jika tidak beradu mulut dengan Mera dia akan dengan tenang melihat sekitarnya. Lalu untuk aku dan Agam dibelakang, kami hanya diam.

Sebenarnya kalau diperhatikan desa ini sangatlah indah. Berada menjorok ke dalam tebing seperti gua. Tetapi, kami masih bisa melihat langit di beberapa bagian. Dengan rumput sebagai permadaninya, tanah sebagai temboknya dan langit sebagai atapnya.

Beberapa penduduk saling bertegur sapa, tersenyum dan berbincang satu sama lain. Anak kecil saling berlarian mengejar balon air. Para pedagang terus tersenyum saat menjajakan dagangannya. Terlihat sangat damai.

Lembah berair. Seperti namanya, alam ini berupa lembah dengan air yang mengisi selanya. Yap. Terisi penuh. Lalu desa yang kami pijak ini berada di salah satu lekukan tebingnya. Kami masih bisa melihat birunya langit atau gelapnya malam. Kami hanya tidak bisa melihat seberang tebing. Karena sekali lagi lembah ini terisi air. Entah teknik apa yang mereka pakai sehingga air tidak masuk ke dalam celah dan tetap kokoh menjadi gerbang desa ini. Tetapi, yang pasti adalah orang itu sangat kuat.

“Sudah sampai. Ini dojonya. Tolong lepas sepatu kalian dan taruh di rak itu.” kata Arion sembari menunjuk rak sepatu yang terbuat dari bambu.

Kami kemudian mengikuti arahannya melepas sepatu lusuh kami dan menaruhnya di rak bambu.

“Ikuti aku. Kalian harus berganti pakaian dulu sebelum memasuki ruang pelatihan.” kata Arion memimpin jalan kami.

Beberapa orang yang sepertinya murid pelatihan disini menunduk, seperti memberi salam kepada Arion. Dan dibalas anggukan dingin olehnya. Ia terus berjalan memimpin kami sampai di ujung dojo. Membuka pintu lalu mempersilakan kami untuk masuk, serta menutupnya kembali saat kami semua sudah berada di dalam.

“Waah ruangan ganti ini tidak seperti ruang ganti pada umumnya yaa.” kata Mera melihat sekitar ruangan itu.

“Siapa yang bilang ini ruang ganti?” tanya Arion bingung.

“Bukannya tadi kamu bilang kita akan berganti pakaian dulu?” Tanya Zeta mengingatkan.

“Iya, tadi kamu bilang begitu bukan?” Agam ikut angkat bicara.

“Iya tapi aku tidak bilang kan kita akan berganti pakaian di ruang ganti.” katanya ketus.

“Lalu ruangan apa ini?” tanyaku cepat.

“Biar kutebak, ini ruanganmu bukan?” tebak Rian disamping Zeta.

“Yaps, kamu benar. Ini ruanganku.”

“Bagaimana kamu bisa tahu?” tanya Zeta heran.

“Tentu saja. Orang-orang tadi itu menghormatinya karena dia pasti seorang yang berkuasa. Di dojo ini. Lalu itu, namamu bukan.” jelas Rian yang kemudian menunjuk papan nama di atas pintu.

Kami semua menoleh ke arah yang Rian tunjuk. Tertulis disana “Ruang kepala dojo Arion”.

“Heii, dasar mesum! apa maksudmu membawa kami kesini untuk berganti pakaian hah?!” Mera tiba-tiba berteriak.

Sepertinya dia belum bisa menerima alasan kejadian tadi pagi. Kasian sekali nasib sahabatku itu.

“Astaga, sepertinya kamu yang memiliki pikiran kotor bocah. Untuk apa juga aku harus memiliki niat seperti itu. Tidak ada untungnya bagiku.” jawab Arion dengan muka sengaknya.

Yah, harus kuakui mukanya itu memang tampan seperti yang dikatakan Mera tadi pagi, hanya saja kata menyebalkan juga menempel di mukanya. Tidak heran mengapa Mera terus memakinya.

“Tapi tanpa disadari kamu telah berbuat hal yang tidak sepantasnya kepada gadis baik-baik,”

“Sepertimu?” kata Arion menggoda sembari menaikkan satu alisnya. Sungguh aku ingin melayangkan tinju padanya saat ini juga. Tetapi mengetahui Mera yang lebih pantas melakukan hal itu aku tidak jadi melakukannya.

“Tentu saja, dasar bodoh! Ah! Mengapa ada orang dengan wajah semengesalkan dirimu si!” Jawab Mera sambil mengalihkan pandangannya. Dia terlihat seperti menahan, malu? Ataukah dia tersipu dengan tatapan itu? Entahlah.

“Baiklah agar kalian tidak salah paham denganku, maka,”

Breeet.

Arion, dia menarik salah satu ujung tali pakaian 'Ganti' Mera. Kami semua tersentak dengan sikapnya. Tiba-tiba saja tubuhku menegang. Aku tidak bisa membantu Mera.