webnovel

Bab 11

“Apa yang ada didalam sana Paman!” aku berteriak lebih kencang daripada yang kuinginkan.

“Itu.. Hep…”

“Paamaannn Johnn!”

Belum selesai Paman John menjawab pertanyaanku, dirinya sudah ditarik oleh makhluk di bawah air itu.

Aku yang berada paling dekat dengannya langsung berenang mendekat untuk menolong. Menyelam ke dalam menggapai tangan Paman, tetapi usahaku sia-sia. Aku tetap tidak bisa menolongnya. Ia sudah ditarik cepat oleh sesuatu di dalam sana.

“Haah” aku kembali menuju permukaan air. Temanku yang lain sudah saling berpandangan, mereka mulai ketakutan.

“Apa itu Ra.”

“Siaga teman-teman. Ada sesuatu di bawah sana yang bergerak cepat. Aku tidak tahu apa itu.” kataku waspada.

“Lalu kita harus apa?” Tanya Rian padaku bingung.

“Hep…”

“Zetaa! Astaga ini bur..Hep…”

Kini Zeta dan Mera yang ditarik ke bawah. Aku dan Rian sudah histeris melihatnya.

“Riaan.” Aku menahan tangis karena takut.

Kalau orang-orang mengatakan aku benar-benar lemah silakan saja. Aku tidak peduli.

“Tidak apa, Ra. Tenang. Kita pasti akan baik-baik sa..Hep…”

“Riaan!”

Kini tersisa aku yang mungkin akan menjadi santapan entah makhluk apa dibawah sana. Aku melihat sekitar sungai. Tidak ada apapun selain air, tebing, dan aku yang mengapung. Bahkan mobil van itu sudah sejak tadi tenggelam tertarik air. aku tidak mau pasrah begitu saja, jadi kuputuskan untuk berenang menepi ke arah tebing. aku memang tidak akan bisa keluar dari air, tapi paling tidak aku lebih aman.

“Hep…”

Sebelum aku sampai, aku sudah ikut ditarik ke dalam air. Aku kalah cepat. Kakiku dicekal oleh tangan. Ya, tangan.

Mataku sakit saat terbuka di dalam air. Aku melihatnya. Dia bukan hewan besar atau ganas. Dia bukan juga seorang duyung layaknya cerita fantasi yang aku suka. Dia orang. Aku tidak bisa melihat dengan jelas. Tetapi, paling tidak aku mengetahui kalau dia bukan seorang duyung. Badannya dipenuhi oleh lukisan tato. Tubuhnya berisi, dia seorang lelaki.

Lalu tiba-tiba saja dia menjejalkanku ke bawah. Menekanku supaya tenggelam lebih dalam.

Ohh tidak. Dia akan memasukanku ke dalam sebuah kotak kandang besi. Temanku yang lain sudah berada di dalamnya. Mereka terlihat sudah tak sadarkan diri. Tersisa Rian yang masih meronta ingin melepaskan badannya dari ikatan. Benar, dia diikat dengan tali berwarna hijau.

Orang bertato itu. Kukira hanya ada satu. Ternyata mereka berlima. Aku ikut meronta walaupun aku tahu itu hal yang sia-sia. Tapi paling tidak aku membuka celah, untuk Rian lebih leluasa melepaskan ikatan talinya dengan menarik perhatian para orang bertato itu.

Aku semakin dijejalkan masuk pada kandang besi ini. Mereka bahkan tidak segan-segan menggunakan kaki mereka untuk memaksaku memasukkan kepalaku ke dalam sini.

Lalu tiba-tiba saja sebuah panah meluncur melewati atas kepala. Panah itu melesat diantara kepalaku dan kaki pria bertato itu. Untung saja tidak mengenai kepalaku ini.

Dan beberapa detik kemudian dua hingga tiga panah kembali melesat. Membuat beberapa pria bertato itu berenang tidak terarah. Beberapa bahkan saling bertubrukan. Sekali lagi panah melesat membuat para orang bertato itu pergi meninggalkan kami. Rasanya aneh mereka berlari ketakutan hanya karena panah. Kulihat mereka ini orang yang terbilang cukup kuat. Apa itu berarti ada bahaya lain yang mengintai kami.

Aku yang sejak tadi menahan napas kini mulai kehabisan napas. Berusaha menahan napas selama ini adalah satu prestasi kecil bagiku. Ditambah dengan tekanan di dalam air dan beberapa kali gerakan yang membutuhkan banyak tenaga. Aku kehabisan napas. Badanku tersentak sesekali karena aku menghirup dan menelan banyak air. Pandanganku mulai bertambah buram. Aku tidak tahu harus melakukan apa. Aku bahkan tidak tahu kondisi Rian kini.

Entahlah, mungkin aku akan mati disini.

Satu detik setelah aku memasrahkan diri pada ajal adalah satu detik terakhir ketika aku melihat beberapa orang mulai berdatangan. Karena satu detik setelahnya aku tidak bisa melihat apapun lagi.

-*#*-

“..keadaannya?”

“..sadar beberapa..”

“..dia..”

“Ara, apa kau bisa mendengarku?”

Samar-samar aku mendengar beberapa orang disekitarku saling bersautan. Pandanganku masih buram. Tapi setidaknya aku sudah bisa melihat didepanku sebuah papan kayu berwarna coklat yang ikonik dengan dinding pedesaan.

Tubuhku perlahan mulai merasakan dinginnya hawa disini. Aku melihat selimut sudah berlapis menutupi tubuhku. Juga Agam disamping kiriku.

Perlahan penglihatanku mulai kembali. Aku bisa melihat nakas disamping kananku. Diatasnya terdapat gelas berbentuk piramida dan vas bunga dengan isinya ikan kecil berwarna hijau menyala. Zeta juga berada di samping kanan. Seorang pria dengan jaket tebal sedang dicerca oleh Mera dan Rian. Entah dimana Paman John berada.

Aku memaksakan tersenyum pada Zeta yang melihatku sedih. Aku tidak mau orang disekitarku sedih hanya karena melihatku pingsan.

Pingsan! Apa yang terjadi kala itu.

“Zeta. Kamu baik-baik saja?” tanyaku padanya.

Dia mengangguk sambil tersenyum hangat.

“Bagaimana denganmu?”

“Aku baik-baik saja.” jawabku membalas pertanyaan yang Zeta tanyakan.

“Ellaa! Dia sudah bangun!” kata Mera histeris.

Setelah mendengar kalimat Mera, pria berjaket itu membalikkan badannya menuju ke tempatku berbaring. Ia memeriksaku. Apa aku baik-baik saja atau sesuatu yang aneh terjadi. Tentu aku baik-baik saja. Aku hanya pingsan tersedak air.

“Yaa. Dia baik-baik saja. Cukup lebih banyak istirahat saja. Kuperkirakan besok dia sudah kembali pulih. Yang itu berarti mungkin empat hingga lima jam lagi.” Pria itu memperhatikan jam tangannya.

“Jam berapa ini?” Tanyaku heran.

“Jam sepuluh malam. Dan kamu sudah pingsan selama 6 jam sejak sore tadi.”

“Oh baiklah. Terima kasih.”

“Kalau begitu aku permisi lebih dulu. Tugasku disini sudah selesai.” kata pria berjaket itu berbalik melenggang keluar kamar.

“Dimana ini?” aku bertanya lirih.

“Kata Paman John ini kampung suku air La.”

“Jadi bagaimana? Dia sudah pulih kan?” seseorang secara tiba-tiba masuk ke dalam kamar. Ia mengenakan jubah berwarna hijau tua. Ya, itu Paman John. Entah pakaian apa yang dipakainya.

“Sudah paman.” jawab Zeta.

“Jadi karena dia sudah bangun kalian berempat tidurlah. Sana, istirahat! Kembali ke kamar kalian!” perintah Paman John.

“Tapi,”

“Tidak ada tapi. Kalian juga butuh istirahat bukan.”

“Kata Paman benar teman-teman. Kalian istirahatlah. Aku baik-baik saja.” ucapku pada mereka.

“Okee kalau gitu kita istirahat ya La.” Mera langsung mengiyakan.

Mereka kemudian berbalik dan berjalan keluar. Kecuali Paman John. Lalu saat dia akan keluar, aku mengehentikan gerakannya. dengan memanggilnya tentu saja. aku masih belum bisa berdiri saat ini.

“Paman,” aku memberi jeda menunggunya berbalik melihatku.

“Saat kita diselamatkan apa yang terjadi denganmu dan temanku yang lain?”

“Kami tidak apa Ara. Baik-baik saja. Besok pagi akan kuceritakan. Jadi istirahatlah dulu.”

Lalu dia melihat ke arah atas ranjangku. Sepertinya ia melihat jam.

“Oh pagi ini maksudku.”

Aku tertawa kecil.

“Baiklah. Terima kasih Paman.”

Dia mengangguk tersenyum lalu keluar dari ruangan yang kutempati sembari menutup pintu.

-*#*-

Pukul 7 pagi. Semalam aku baru bisa tertidur lelap jam satu dini hari. Bukan karena tidak bisa tidur, hanya takut mimpi itu akan berlanjut. Mimpi yang kemungkinan besar akan mengingatkanku padanya. Mimpi yang kemungkinan besar menghancurkan tembok yang sudah kubangun tinggi-tinggi.

Aku membuka pintu, ingin keluar kamar. Mendapati diriku berdiri di sebuah lorong, aku menoleh ke arah kiri dan kanan. Beberapa pintu tampak di sebelah kanan dan kiri kamarku.

Em-maksudku kamar empunya yang belum kukenal. Tentu saja ini bukan kamarku.

Lorong panjang yang memancarkan aura kehangatan ini bernuansa biru tua. Dengan beberapa kayu yang memberi aksen pedesaan.

Badanku terasa sudah membaik. Jadi kuputuskan untuk melihat-lihat bangunan yang kami tempati ini.

Kulihat di ujung lorong sebelah kanan terdapat jendela besar dengan pemandangan berwarna biru kehijauan. Karena hal itu aku akhirnya melangkahkan kaki menuju ke jendela.

“Aaaa!”

Baru beberapa langkah menuju ke jendela itu, terdengar teriakan dari ujung lorong sebelah kiri. Aku yang mendengarnya langsung berlari menuju ke arah teriakan itu berasal.

Jantungku berdegup cepat. Aku mengenal suara teriakan itu. Suara yang selalu kudengar selama tiga tahun ini. Suara Mera.