webnovel

Rencana Pembasmian Kutukan

"Aku juga akan ikut! Mungkin, kau akan ketakutan ketika melihat hantu lain." Deliila masih terus mengejek Aarav dengan tawanya. Seakan tidak puas jika hanya tertawa beberapa saat saja.

"Tidak boleh!" tolak Aarav. "Apapun yang terjadi, kalian tidak boleh datang bersamaku! Aku tidak tahu apa yang akan terjadi nantinya! Karena itulah, lebih baik aku saja yang pergi sendiri."

"Bilang saja kalau kau hanya membual!" Deliila menjulurkan lidahnya pada Aarav. "Atau mungkin, kau meminta bantuan dari dukun dan orang pintar, Professor misalnya."

Melihat tingkah kedua orang di dekatnya, tentu saja membuat kepala Aarav harus merasakan rasa pusing yang amat sangat. Padahal mereka sudah tidak diperbolehkan untuk ikut dalam upaya tersebut. Tetap saja mereka kekeh untuk melakukannya.

Aarav mendengus sebal ke arah Deliila. "Sudah kukatakan, aku tidak akan membiarkan kalian ikut," sambungnya sembari menggigit gigi ketika berbicara. "Kita tidak akan pergi untuk liburan atau tamasya. Keadaan bisa saja tidak terkendali dan membuat kalian dalam bahaya."

Seakan tidak mengindahkan apa yang dikatakan Aarav. Deliila justru berbalik dan duduk pada kursinya. Kemudian membuka buku serta tidak mendengarkan segala ocehan yang dilakukan Aarav.

Aarav mendengus sebal setelah menepuk kening pelan, setidaknya dia telah mengatakan kepada Deliila agar tidak mengikutinya kali ini saja. Jika anak itu tetap ada di tempat kejadian, tidak ada cara lain selain membuatnya merasakan hal yang semestinya.

***

Segala kebutuhan yang diperlukan Aarav telah disiapkan. Mulai dari belati yang dibuat khusus untuk mengahancurkan kutukan. Bahkan, Aarav telah membuat sebuah mantra yang telah ditulis dengan huruf yang tidak dikenal. Mantra itu berfungsi untuk membatalkan segala kutukan yang telah menempel pada tubuh kesebelas orang.

Aarav memasukkan kertas mantra terakhir ke dalam tas, kemudian menutupnya dengan rapat. "Semuanya sudah siap! Sekarang, tinggal menuju tempat yang terduga menjadi markas kutukan tersebut!" Aarav bangkit dan berjalan keluar dari dalam kamarnya yang hanya terdapat tempelan kertas bertuliskan huruf tak dikenal.

Pada saat melangkahkan kaki keluar dari ruangan, aroma khas dupa masih saja menyengat lubang hidung. Jika pertama kali memasuki ruangan tersebut, tidak akan ada yang tahan dengan bau menyengat seperti itu. Setelah menghela napas panjang, Aarav menutup pintu kamar dan berlalu meninggalkan ruangan tempat dia tidur.

Aarav melewati ruangan rumahnya yang kosong tanpa siapa pun di dalamnya. Sejak kecil, Aarav selalu hidup sendirian. Entah bagaimana caranya Aarav masih tetap hidup tanpa didampingi siapa pun. Tidak ada yang tahu siapa yang merawat Aarav selama ini, bahkan untuk Aarav sendiri. Hal itu merupakan salah satu dari delapan keajaiban dunia yang baru.

"Kenapa berjalan sendirian di malam hari ke sekolah terasa sangat jauh!" protes Aarav, sejak tadi dia sudah berjalan sangat lama menuju sekolahnya.

Keningnya sudah dibanjiri oleh keringat bercucuran. Selama ini, dia tidak pernah ke sekolah berjalan kaki. Namun, sekarang dia harus melakukannya karena tidak akan ada kendaraan umum yang mengarah ke sana malam-malam seperti ini. Kakinya sudah terasa hampir lepas akibat hal tersebut, sudah puluhan kali dia mengusap cairan yang diproduksi oleh tubuhnya dari kening.

Akhirnya, setelah perjalanan dan penantian panjang yang dilakukan. Aarav akhirnya melihat gerbang sekolah. Bola mata hitamnya bergetar tatkala melihat dua orang berdiri di depan gerbang sekolah. Padahal, selama ini tidak pernah ada seseorang yang menangani gerbang sekolah. Sebenarnya, siapa kedua orang tersebut.

Aarav segera memperlambat langkah dan mengendap-endap agar tidak diketahui dua orang yang sedang berada di sana. Setelah dikira cukup dekat, dia melihat siapa sebenarnya kedua orang itu. Tanpa diduga sebelumnya, kedua orang tersebut adalah Deliila dan Laasya.

Mereka berdua tengah berdiri begitu santai seakan tidak terjadi apa-apa. Bahkan, Aarav sempat melihat sebuah tawa tergerai pada wajah Deliila beberapa saat lalu. Seketika, keningnya mengernyit disertai dengan sebuah umpatan yang keluar lancar dari mulut.

"Sialan! Bukankah sudah kukatakan pada mereka agar tidak perlu kemari!" umpatnya sambil berdecak kesal.

Aarav segera keluar dari semak yang digunakan untuk menyembunyikan tubuhnya. Deliila dan Laasya terkejut melihat kedatangan Aarav yang tiba-tiba berada di depannya. Apalagi dengan raut wajah kesal, membuat wajah Aarav semakin menakutkan ketika ditimpa cahaya lampu tepat di atas kepala.

Setelah menggerakkan bola mata hitam secara bergantian ke arah Deliila dan Laasya, Aarav menghela napas panjang. "Apa yang kalian lakukan di sini?" tanyanya kepada kedua orang temannya sembari menepuk kening.

"Sudah kubilang, aku akan ikut bersamamu! Kau sangat penakut, jadi aku tidak tega membiarkanmu sendirian!" jawab Deliila dengan penuh percaya diri. Laasya hanya tersenyum mendengar jawaban Delila.

Mendengar pernyataan tersebut, semakin membuat kepala Aarav dipenuhi rasa frustrasi. Tentu saja akan menjadi seperti ini. Seluruh temannya sangat tahu jika Deliila selalu melakukan hal seperti ini. Ketika dia dilarang untuk melakukan sesuatu, justru hal itu akan dia lakukan.

Namun, penjelasan yang diberikan Deliila sangat berbanding terbalik dengan apa yang ada di dalam kepalanya saat ini. Padahal, maksud sebenarnya dari keikutsertaan Deliila hanyalah ingin melihat informasi terhangat yang tidak boleh sampai dilewatkan oleh ratu gosip sepertinya.

"Apa jadinya jika aku tidak mengetahui semua yang terjadi di sekitarku," batin Deliila tersenyum tipis.

Aarav tidak memperdulikan mereka berdua, dia segera melompati gerbang sekolah sekali lompat. Deliila Dan Laasya terkejut dengan yang dilakukan Aarav. Bagaimana mungkin dia bisa melompat sangat tinggi seperti itu.

"Padahal, saat pelajaran olahraga, dia selalu mendapatkan nilai minus. Kenapa dia bisa melompat setinggi itu dengan begitu mudah?" tanya Deliila keheranan. Kepalanya terangkat untuk melihat seberapa tinggi gerbang yang baru saja dilompati Aarav.

Laasya mengangkat bahu tidak peduli. Mereka segera memanjat gerbang sekolah dengan sangat hati-hati. Siapa tahu karena tajamnya ujung gerbang, pakaian mereka nantinya tersangkut dan sobek. Jika hal tersebut terjadi, hanya akan menambah sebuah tragedi di dalam sekolah.

Setelah melompat dari gerbang, Deliila dan Laasya Segera berlari menyusul Aarav yang sudah berada jauh di depan. Mereka menemukan Aarav telah berdiri di depan sebuah pintu yang telah terpasang sebuah kertas dengan bertuliskan sesuatu.

Pohon besar yang berada di depan ruangan tersebut bergerak. Padahal tidak ada angin yang menggerakkan pohon yang lain. Suasana mencekam tiba-tiba terasa, hawa dingin menusuk membuat bulu kuduk Deliila berdiri untuk sesaat.

Akibat rasa takut yang dialami, Deliila hampir saja lupa untuk bernapas. "Apa kau akan benar-benar masuk ke dalam?" tanya Deliila memastikan, kemudian menjulurkan tangan ke arah Aarav.

Tanpa mempedulikan apa yang dilakukan Deliila, Aarav justru segera memegang gagang pintu ruangan. "Aku tidak memintamu untuk ikut. Aku sendiri yang akan masuk ke dalam!" Tangan Aarav memutar gagang pintu yang terdapat di sana.

Suara engsel yang sudah berkarat, membuat suasana semakin mencekam. Jantung Deliila berdegup kencang, sudah seperti dikejar oleh rentenir. Bola matanya bergetar memandang pintu yang sedang didorong Aarav.