PoV: Vincent
"Kalau kamu nurut, nanti aku belikan mainan."
"Jangan keluar, diam aja di kamar sampai aku kembali."
"Ngerti gak, sih? Aku bilang tunggu sampai aku kembali!"
"Kamu sengaja ingin mempermalukanku di depannya, iya?!"
"Kalau sampai suamiku tahu apa yang baru aja kau lihat tadi, aku akan membunuhmu!"
"BENAR-BENAR ANAK GAK BERGUNA! SEHARUSNYA AKU GAK RAGU MENGGUGURKANMU DULU!"
Ddrrrtt!! Ddrrrttt!!
Aku tersentak bangun karena ponsel yang berada di bawah bantal kepala bergetar tanpa nada. Untuk kesekian kalinya, kenangan itu menguasai mimpiku. Kurasakan deru napas dan degup jantung yang lebih cepat dari biasanya. Aku mengusap cairan bening yang menghalangi pandanganku dengan satu tangan.
Tunggu, tanganku yang lain rasanya ... hangat. Ah, sejak kapan gadis ini ketiduran sembari menggenggam tanganku? Sambil duduk, kepalanya direbahkan di pinggir tempat tidur dengan satu lengan sebagai bantal. Sudah tiga hari aku di rawat, selama itu juga setiap hari Olvie datang menemuiku. Bedanya karena ini hari Senin dan dia kuliah, aku baru melihatnya sekarang, saat langit sudah mulai gelap.
Kubiarkan dia beristirahat lebih lama, pasti capek setelah seharian belajar. Tanpa sadar aku terus memandanginya. Wajahnya yang mulus terlihat begitu damai. Kehangatan dari genggamannya terasa mengalir hingga ke dada. Perasaan apa ini? Perasaan baru yang tidak kukenal terus menyerang akhir-akhir ini. Seolah terseret kembali dari dunia yang jauh, reflek aku menarik tanganku yang hampir menyentuh wajahnya. Hey, sadarlah, apa yang mau kau lakukan tadi?
Pandanganku menyapu setiap sudut ruangan, namun tidak melihat siapapun. Thomas belum pulang kuliah? Oh, iya, ponsel. Benar saja, dia mengirimiku sebuah pesan. Dia bilang akan datang sedikit terlambat karena hujan deras membuatnya terjebak dalam kemacetan panjang.
Jam di ponsel menunjukkan pukul setengah tujuh ketika panggilan itu datang, maksudku panggilan alam. Aku harus ke toilet. Tapi bagaimana caranya melepaskan tanganku dari genggaman gadis ini supaya tidak sampai membangunkannya? Dengan extra hati-hati kulepaskan jemarinya dari tanganku, lalu meletakkannya kembali dengan lembut. Olvie sedikit menggeliat, menggerakkan kepalanya sebelum kembali terlelap.
Aku berjalan ke toilet dengan langkah yang tertatih. Bagian-bagian tubuhku yang dipukuli masih terasa berdenyut. Kepalaku pusing, mungkin karena seharian ini hanya tidur. Usai menyelesaikan urusan, aku menatap diriku di cermin wastafel, masih di dalam toilet. Pantulan bayangan di sana tersenyum getir.
Bodoh. Sebagai laki-laki, kenapa kamu sangat lemah? Melindungi satu orang saja berakhir dengan mempermalukan diri sendiri. Lihat dirimu! Yang tanpa perlawanan membiarkan orang-orang itu menghajarmu. Setidaknya, satu dari mereka harus merasakan pukulanmu juga! Sampai kapan kamu akan bergantung pada Thomas? Bahkan kau membuat hati gadis itu terluka!
Mataku terpejam kuat, berusaha mengusir suara-suara itu dalam kepala. Kedua tanganku mengepal di atas marmer wastafel, menjadikannya tumpuan beban tubuhku, sementara kepalaku terus tertunduk. Ya, aku memang tidak berguna. Kalimat demi kalimat yang diucapkan mama dalam mimpi tadi kembali terngiang. Kepalaku sakit.
Tidak. Tolong jangan sekarang. Aku bahkan tidak membawa obat penenang sama sekali selama dirawat di sini. Bekas jarum infus di tangan yang baru tadi pagi dilepas terasa berdenyut-denyut, membuatku kembali tersadar. Sambil mengatur napas, kuangkat kepala dan menatap pantulan diriku lagi.
Kamu marah? Atas dasar apa? Jangan kira hanya karena kamu menghindari wanita gila itu, hidupmu berubah. Tidak, kau salah. LIhat sekelilingmu. Mau kuberitahu sesuatu? Thomas, sahabat yang paling kau hargai itu, dia tidak benar-benar peduli padamu. Kamu itu teman yang paling menyusahkan baginya.
Napasku kembali memburu, amarah timbul dalam hati tatkala 'dia' menyinggung Thomas. Aku sadar betul suara itu hanya berasal dari kepalaku sendiri, tapi seolah aku mendengarnya langsung dari pantulan bayanganku itu di cermin.
"Diam," gumamku pelan. Tanganku mengepal lebih keras.
Haha! Ingatlah, berapa kali dalam waktu kurang sebulan ini kamu sakit? Berapa kali kamu berakhir di rumah sakit seperti sekarang? Well, walaupun kali ini memang karena kebodohanmu sendiri. Lalu, berapa kali Thomas harus mengorbankan waktu dan tenaganya hanya untuk mengurus dirimu? Ah, iya. Dia jadi sering bolos kelas, karena siapa? Kamu gak ingat apa yang dia utarakan di awal kalian berteman? Dia mengejar semester pendek. Tapi sekarang kamulah satu-satunya penghalang baginya!
Walau aku berusaha keras untuk menyangkalnya, tapi semua yang kudengar itu benar. Kenapa aku melupakannya? Aku ... sudah menghalangi meraih tujuannya merantau ke sini. Thomas pernah bilang dia hanya ingin cepat lulus dan kembali pada orangtuanya, tapi karena aku dia bisa saja terjebak di sini.
Sejak awal, kamu hanya sendirian. Dan akhirnya, semua akan kembali ke awal. Mau kuberitahu sesuatu lagi? Kali ini mengenai gadis itu, Olv—
PRANG !!
Kepalan tangan mendarat tepat di pantulan bayangan wajahku. Cermin itu pecah. Beberapa tetesan merah kental dari darah yang keluar melalui luka di tanganku mengalir membentuk beberapa garis lurus. Sakit? Aku tidak merasakannya sama sekali. Kujambak rambutku dengan frustasi, berulang kali menyuruh suara itu diam bak lafalan sebuah mantra.
Aku tidak tahu sejak kapan perutku mulai mengejang. Kurasa indera perasa di tubuhku sudah kembali aktif karena kini aku bisa merasakan tanganku nyeri. Kakiku yang lemas tidak dapat lagi menahan beban tubuh. Aku jatuh berlutut, memegangi perut sebelah kanan, bagian ulu hati yang sempat pendarahan karena tendangan keras kaki cecunguk itu. Mataku terpejam, entah mana yang berusaha kutahan antara rasa sakit di perut atau suara-suara yang masih terdengar di kepala.
Seseorang mendekapku. Sisa-sisa aroma parfum yang masih membekas melewati indra penciumanku. Aroma yang lembut, membuatku sedikit lebih tenang. Suara perempuan yang terdengar samar, perlahan semakin jelas.
"Kak Vincent! Kakak ga apa-apa?"
"Vie ...."Aku mengerjapkan mata, menjernihkan pandanganku sebelum kembali mengeluhkan bagian perut yang sakit disertai rasa mual yang menjalar.
"Tangan Kak Vincent berdara—" Olvie menutup mulutnya dengan kedua tangan, kaget melihat kondisi cermin yang telah tercerai berai dengan noda besar darah. "Kak Vincent abis berantem sama cermin?"
Aku tersenyum kecil, "Ya, dan seperti yang kamu lihat, a-aku ... kalah. Ughh."
Gadis ini langsung memapahku kembali ke tempat tidur. Dengan tubuhnya yang mungil dia sangat berhati-hati dalam mengambil langkah, dan berhenti setiap kali aku mengerang menahan sakit. Dia terlihat kesusahan. Mendadak kepala Olvie menghadap kepadaku yang entah sejak kapan pandanganku sudah terkunci lebih dulu ke arahnya. Mata kami bertemu, wajah kami menjadi sangat dekat. Untuk beberapa saat, aku merasa dia ... sangat cantik. Kompak pandangan kami berpaling, saling membelakangi satu sama lain.
Tanpa sepatah kata lagi yang terdengar, gadis ini masih membantuku berbaring. Entah hanya perasaanku saja atau bukan, dia tidak berani menatapku. Aku kembali memejamkan mata, mengontrol napas agar terdengar normal.
"Sebentar, ya, Kak. Aku panggilkan dokter."
Kutarik bagian kecil dari ujung baju yang dia kenakan sebelum ia berbalik dan berjalan keluar, membuat langkah gadis itu terhenti, dan menoleh dengan mimik wajah bingung. "Duduk. J-jangan ke mana-mana," pintaku dengan suara yang hampir tak keluar.
Meski terlihat ragu, Olvie melakukannya. Kurebahkan kepalaku di pundaknya yang kecil. Mungkin dia terkejut, karenanya langsung membenahi posisi duduknya. "Sebentar aja. Biarkan aku seperti ini, sebentar aja."
Olvie mengangguk pelan. Dia menggenggam tanganku yang terluka, lalu meniupnya lembut. Untuk sesaat, aku bisa melupakan semuanya, baik rasa sakit maupun kalimat-kalimat yang sedari tadi berputar di kepalaku. Aku merasa tidak membutuhkan obat pereda sakit ataupun obat penenang lagi, gadis ini bagaikan keduanya bagiku. Eh? Apa yang baru saja kupikirkan? Ini tidak benar. Tidak adil baginya jika aku bergantung padanya. Tidak boleh.
"Oh, maaf. Sepertinya aku mengganggu kalian, ya?" Thomas mengintip dan menyeringai dari ambang pintu. Rupanya dia baru sampai.
Olvie buru-buru beranjak dari duduknya. "Kak Thomas, tolong panggilkan dokter."
Thomas menarik kembali guratan senyum dari wajahnya, berganti dengan raut cemas. Dia mendekat padaku. "Ada apa? Apa yang sakit? Sesak?"
"Sedikit ... sesak," jawabku tak bertenaga.
Dia melihat tanganku dan langsung menariknya. "Ini kenapa?" Sebelum aku menggeleng, Thomas meraih gagang telpon di atas meja dan meminta suster yang mengangkat untuk memanggilkan Dokter Elios ke ruangan.
Olvie menggantikanku menjawab pertanyaan Thomas mengenai luka di tangan kananku. Dia bergegas ke toilet dan kembali dengan cepat. "Kau gila, ya?"
"Maaf. Tadi pikiranku hanya sedang kacau." Tak berhenti aku merutuki diriku dalam hati. Hahh.. Kenapa aku terus-terusan melakukan sesuatu tanpa dipikir dulu?
"Memang apa, sih, yang kau pikirin, Cent? 'Kan bisa ngomong denganku, atau sama Olvie yang dari tadi di sini. Apa susahnya?" Thomas terus saja mengoceh, aku sudah cukup pusing dibuatnya.
"Maaf, Kak. Tadi aku sempat ketiduran. Aku kaget waktu denger suara kaca pecah tadi, tau-tau Kak Vincent udah begitu," jelas Olvie. Suaranya terdengar semakin menjauh.
Thomas menarik pundakku kasar. "Kau nggak mau jelasin sesuatu? Cukup kemarin aja aku kecolongan. Nggak akan ... merahasiakan ... lagi ... dariku"
Dia ngomong apa, sih? Suaranya tidak terdengar jelas lagi. Telingaku berdengung. Tanganku meremas perut yang semakin sakit. Aku bisa merasakan dadaku naik turun dengan cepat. Dingin menjalar melalui ujung jari kaki. Samar-samar aku masih bisa mendengar suara yang memanggil namaku, sebelum akhirnya pandanganku menjadi gelap.
.
.
.
"Udah bangun, Vincent?" Suara berat milik pria setengah baya menajamkan indera pendengaranku.
Mataku sempat mengerjap beberapa kali sebelum benar-benar mengenali pemilik suara itu. "Dokter ... Elios," sapaku dalam satu tarikan napas.
Ia mengangkat benda yang selalu menggantung di lehernya, lalu dipasangkan di telinga. Ujung stetoskop mendarat di dadaku. Usai melakukan 'ritual'nya seperti biasa, ia meletakkan dua jari tangannya di atas perutku sebelah kanan. "Nghh ...," erangku ketika ia menekan jarinya dua kali di tempat yang berbeda namun berdekatan, spontan napasku tertahan.
"Sakit, ya?"
Aku mengangguk pelan.
Dokter Elios menghela napas dalam, lalu menyuntikkan sesuatu ke dalam cairan infus yang tergantung. "Harusnya kamu udah bisa pulang besok loh kalo mengikuti nasihat yang saya berikan." Sepertinya ia akan mulai berceramah. "Itu bengkak lagi, jangan banyak bergerak dulu."
" ... "
"Vincent, dengar?" tanyanya memastikan.
"Iya," jawabku singkat, memalingkan wajah ke sisi lain. Langit gelap terlihat di luar jendela.
"Lalu tanganmu, apa yang terjadi? Setelah babak belur kemarin, kamu latihan membalas mereka melalui cermin yang kau hancurkan itu?" ejeknya.
Aku diam, melihat tangan kananku yang sudah terbalut perban putih, lalu menarik salah satu sudut bibir hingga terbentuk sebuah senyum tak simetris. "Sekarang jam berapa, Dok?"
"Jam sebelas lewat ... lima. Jam dinding di sana masih berfungsi, kok," sahutnya.
Mataku berkeliling menyusuri setiap sudut ruangan. Hanya kami berdua. Wajar saja, ini sudah hampir tengah malam.
"Kamu nyariin Thomas? Dia lagi—"
"Suara itu ..." Aku langsung memotong ucapannya. "... aku mendengarnya lagi."
Pria berjas serba putih itu menghentikan aktivitas catat mencatatnya, menatapku lebih serius. "Suara seperti apa kali ini?"
"Dok," panggilku lembut, mengabaikan pertanyaannya. "Apa aku ... benar-benar udah sembuh?"
Ia meletakkan notebook dan pena di atas meja, lalu menarik kursi, duduk persis di sampingku. "Tentu, kamu udah sembuh, Vincent. Saya yakin kamu udah sembuh."
Aku mengulum sebuah senyuman ke arahnya. "Tapi kenapa aku masih bisa mendengarnya?"
"Kamu hanya terlalu banyak pikiran. Ingat 'kan, saya selalu bilang jangan sampai stress. Mungkin karena perundungan yang baru aja terjadi menjadi pemicunya. Istirahatlah, jangan berpikir berlebihan." Dokter Elios terlihat sedikit cemas. "Ah, obat penenang terakhir kali masih diminum? Mau ganti obat? Saya akan resepkan yang baru kalau yang kemarin tidak berefek lagi."
Aku menggeleng. "Akhir-akhir ini gak kuminum."
Dokter berkacamata tebal itu mendengus. "Percuma aja saya resepkan."
"Kenapa aku masih harus terus mengkonsumsi obat penenang kalau memang sudah sembuh seperti yang dokter bilang?" Aku tahu Dokter Elios mungkin saja berbohong. Memang sudah lama sekali sejak terakhir kali, tapi kenapa harus sekarang terdengar lagi? Benarkah kejadian kemarin pemicunya? Atau karena aku lepas dari obat yang selama ini sudah menyatu dalam tubuhku?
Aku mengubah posisi tidur menyamping, membelakangi Dokter Elios. "Dok, sebenarnya aku ... " Kubiarkan kalimatku menggantung selama beberapa saat. "... takut," sambungku pelan, hampir berbisik. Kembali kupejamkan mata, menampik perasaan tak nyaman yang mulai menyelimuti.
"Ada saya, ada Bi Yati, ada Thomas juga sekarang di sisimu. Gak ada yang perlu ditakutkan," ucapnya terdengar meyakinkan.
"Seandainya ... hanya seandainya, waktu itu Dokter gak memperjuangkan hidupku—"
"Tentu saya gak akan menginjakkan kaki di sini lagi. Saya gak pantes disebut 'dokter' jika mengabaikan seorang pasien yang butuh pertolongan saya, meskipun pasien itu gak menginginkannya."
Ya, Dokter Elios pernah menyelamatkan nyawaku, dua kali. Pertama waktu tenggelam dulu. Aku pikir aku akan benar-benar mati saat itu. Lalu yang kedua—yang baru saja kubahas, karena pendarahan hebat akibat sayatan di pergelangan tangan yang kulakukan sendiri sebelum aku dimasukkan ke Pusat Rehabilitasi Mental. Aku mendengar para suster memujinya karena ia terus memompa jantungku sampai kembali berdetak di saat dokter lain bilang sudah terlambat.
Aku berpaling padanya. "Tetap bukan salahmu kalau aku mati saat it—ah! S-sakit, Dok." Dengan sengaja ia menusuk pelan bagian perutku yang sakit dengan salah satu jarinya. Aku meringis.
"Udah, jangan mulai mikir yang aneh-aneh lagi. Mau saya kasih obat tidur dosis tinggi?" ancamnya.
Aku segera menggeleng. "Aku hanya perlu melawannya lagi, 'kan?"
"Iya. Kamu udah pernah menang sebelumnya."
"Bagaimana jika kali ini aku kalah?"
Dokter Elios tidak langsung menjawab.
"Saya gak akan membiarkannya. Saya tetap akan memperjuangkan hidup kamu, Vincent, berapa kali pun." Suaranya berat, namun terdengar tegas.
Aku tersenyum mendengarnya, kali ini kulakukan dengan tulus. Bisa kurasakan sejumlah air yang menggenang di pelupuk mataku.
"Aku juga nggak akan membiarkan kau kalah, Cent!" seru seseorang, sebelumnya terdengar pintu terbuka.
Aku berbalik dan menoleh ke arah si pemilik suara. Loh, Thomas keluar dari toilet?
"Tom, sejak kapan kamu di sana?" tanyaku kaget, mengira-ngira apakah dia mendengar percakapan kami karena begitu lama Thomas di dalam sana.
"Sejak kau belum bangun tadi," jawabnya. Tiba-tiba aku merasa harus menjelaskan sesuatu. "Untuk saat ini, kau ngga perlu jelaskan apapun. Yang harus kau tahu, aku siap kapanpun membantumu. Aku harap kamu percaya padaku, Cent."
Aku menatap Thomas dan Dokter Elios bergantian. Mereka kompak sekali. Aku merasa tidak lagi sendirian. Beruntung sekali bisa memiliki mereka bersamaku. Tidak peduli apa yang 'suara itu' katakan tentang Thomas, aku harus membuangnya jauh-jauh. Ya, aku harus menang melawannya!
"Terima kasih," ujarku, membalas senyum mereka.
Dokter Elios kembali menyampaikan banyak pesan ini itu kepadaku sebelum menyelesaikan pemeriksaan terakhirku hari ini. "Kalau suara itu mulai terdengar lagi, coba alihkan sebelum kamu meminum obatmu. Pikirkan hal-hal yang membuatmu senang akhir-akhir ini. Hal yang sepele pun, isi di kepalamu, kalahkan 'dia'."
Ah, sesuatu yang membuatku senang akhir-akhir ini? Seperti ketika tadi wajahku berdekatan dengan wajah Olvie? Atau ketika dia menggenggam lembut tanganku?
Eh? Kenapa malah wajah gadis itu yang mengisi kepalaku? Dokter Elios 'kan bilang hal-hal yang membuatku senang. Ada yang salah denganku.
"Oh, iya!" Tubuhku menegang mendengar pekikan Dokter Elios, membuyarkan hayalanku. "Gadis yang tadi. Dia kelihatan sangat mengkhawatirkanmu. Kamu tahu, dia sangat panik waktu kamu tiba-tiba gak sadarkan diri. Sepertinya dia menyukaimu, Vincent. Nggak, saya yakin banget gadis itu memiliki perasaan lebih padamu. Terpancar jelas dari wajahnya." Tiba-tiba Dokter Elios membahas Olvie, membuatku malu sekaligus salah tingkah mendengarnya. Seolah ia bisa menebak isi pikiranku.
"Hey, hey, kupingmu merah, tuh!" celetuk Thomas.
Sontak aku menutup telinga dengan tanganku. "Apaan, sih."
Satu-satunya dokter di ruangan ini terkekeh. Entah ia sedang menertawakan kami atau sedang mengejekku.
"Vincent, saya tahu sebuah terapi bagus untukmu." Senyumnya memudar, sekarang raut wajahnya sudah berganti serius.
Aku menatapnya, menunggu kalimat selanjutnya. Thomas juga kelihatan tertarik dan siap mendengarkan dengan seksama.
"Buka hati untuk gadis itu, biarkan dia membantu menciptakan kenangan-kenangan baru untukmu. Kenangan yang indah."
Hah? Aku tidak salah dengar, 'kan?
"Satu-satunya yang kamu butuhkan adalah kebahagiaan, yang mana kamu sendirilah yang menciptakannya. Saya yakin, dia bisa membuat kamu tenggelam dalam duniamu yang baru." Mata Dokter Elios berbinar ketika mengatakannya, membuatku percaya bahwa dia tidak sedang bercanda.
"Ta-tapi, Dok, itu kedengarannya agak ... berlebihan?"
"Tapi gak menutup kemungkinan, 'kan?" Ia menepuk pundakku pelan. "Ayolah, kamu hanya perlu mencobanya. Gak ada salahnya."
Dokter Elios terus saja mendesakku, sedangkan Thomas tidak berkomentar apapun lagi, hanya diam memperhatikan, kedua tangannya terlipat di depan dada. Aku memandangnya menuntut respon, kemudian dia mengangguk tanda mengiyakan. Dia mendukung, tapi kenapa raut wajahnya seperti itu? Terlihat agak murung, atau ... kecewa?