webnovel

Peti kayu

Ini sudah seminggu. Nafsu makanku benar-benar hilang. Fakta mengejutkan itu membuatku cukup terpukul. Aku yang selama ini meyakini bahwa ibu dan ayah adalah orang tua kandungku yang sebenarnya, terbantahkan oleh hasil tes DNA. Yang ada di kepalaku sekarang apakah yang Pak Erlon katakan selama satu bulan belakangan ini benar?

Bella berusaha menghiburku. Dia bilang bahwa hasil DNA bisa saja salah. Hasil DNA juga belum tentu akurat. Bella memintaku agar jangan memikirkan hal itu. Namun kenyataannya tidak bisa. Siapa yang bisa berpikiran jernih saat terjadi hal semacam ini?

"Ayolah, Alana. Kau terakhir makan dua hari lalu. Itu pun cuma sebuah roti. Seminggu belakangan makanmu tidak teratur. Kau tidak boleh sakit."

Aku menatap kertas hasil tes DNA di atas nakas di samping tempat tidur. Kertas itu kulihat setiap saat. Aku berharap sebuah keajaiban terjadi. Hasil tesnya berubah, menyatakan bahwa aku adalah anak kandung Ayah dan Ibu. Meski sebenarnya aku tahu hal tersebut mustahil terjadi.

"Apa yang harus aku lakukan sekarang, Bel?"

"Tidak ada pilihan lain. Kau harus menanyakan hal ini kepada Pak Erlon. Minta dia untuk menjelaskannya secara rinci."

***

"Syukurlah akhirnya kau mendatangiku Putri Ileana … em, maksudku Alana. Silakan duduk. Kau mau minum apa?" Pak Erlon bangkit dari tempat kerjanya, hendak pindah duduk di sofa.

"Tidak usah, Pak. Saya tidak ingin basa-basi. Saya sudah melakukan tes DNA. Bapak benar, saya memang bukan anak kandung Ayah dan Ibu. Tolong jelaskan bagaimana ini bisa terjadi," kataku to the point. Penjelasan Pak Erlon yang kubutuhkan sekarang.

Pak Erlon menarik napas sejenak "Baiklah. Saya akan jelaskan. Tapi saya mohon jangan pergi sebelum saya selesai bercerita. Saya yakin kau pasti tidak akan langsung percaya, tapi saya mohon dengarkan sampai habis."

Aku mengangguk. Baiklah kalau itu memang kemauan Pak Erlon, aku akan menetap sampai dia menyelesaikan cerita bodohnya.

Ruangan lengang selama beberapa detik. Pak Erlon menatapku sesaat sebelum akhirnya mulai bercerita.

"Puluhan ribu tahun lalu, di saat bumi belum mengenal yang namanya teknologi, manusia dan penyihir hidup berdampingan. Manusia dan penyihir saling tolong menolong, saling berbagi, dan hidup rukun. Manusia membutuhkan penyihir dan begitu pula sebaliknya, penyihir membutuhkan manusia. Bangsa penyihir sendiri dipimpin oleh sepasang Raja dan Ratu yang memiliki kekuatan gelap dan terang. Sedang manusia dipimpin oleh ketua kelompok atau sekarang dikenal dengan sebutan kepala desa. Bertahun-tahun semuanya berjalan damai hingga akhirnya salah satu penyihir, saat tengah melatih kekuatannya, tanpa sengaja membakar rumah kepala desa di saat dia tidak ada di rumah. Yang ada di rumah saat itu istrinya yang sedang mengandung. Bermula dari sanalah kehidupan manusia dan penyihir mulai retak.

"Para penyihir dibunuh diam-diam saat mereka semua terlelap. Para penyihir diusir jauh dari kediaman manusia. Keributan terjadi. Raja berusaha untuk meminta maaf atas kesalahan penyihir, tetapi kepala desa dan pengikutnya tidak menerima permintaan maaf. Mereka menuntut agar para penyihir pergi menjauh dari kehidupan mereka, atau kalau perlu musnah sekalian. Raja melarang para penyihir untuk memberikan perlawanan. Raja tidak ingin pertumpahan darah semakin banyak, oleh karena itu dia memilih untuk mengajak kaumnya pergi menjauh dari para manusia dan tinggal di hutan.

"Saat di perjalanan menuju hutan, Ratu melahirkan. Raja kira mengambil keputusan untuk pergi ke hutan adalah jalan terbaik untuk mencegah pertumpahan darah, ternyata tidak. Ada kelompok yang sangat membenci para penyihir, menghasut kepala desa untuk membumihanguskan para penyihir dari muka bumi. Mereka menyerang penyihir dengan cara membabi buta. Untuk menyelamatkan sang bayi, Ratu meminta pelayan terpercayanya membawa lari bayinya agar selamat. Pelayan itu membawa bayi tersebut melarikan diri, menjauh dari para manusia."

Aku berdecak tidak percaya. Dongeng macam apa ini?

"Lalu siapa saya, Pak? Saya anak Raja dan Ratu? Iya?"

Pak Erlon mengangguk.

Oke, aku sudah siap untuk meninggalkan ruangan ini. Ini sangat tidak masuk akal. Bagaimana bisa aku adalah anak Raja dan Ratu sedangkan Ratu melahirkan puluhan ribu tahun lalu? Sangat tidak masuk akal. Tubuhku saja saat ini tidak berbeda layaknya pemuda berusia 17 tahun.

"Ratu menyihirmu agar tidak hidup sampai ada manusia yang menemukanmu, Putri. Selama belum ada manusia yang menemukanmu, maka kau akan tetap tertidur."

Sebentar, itu cukup menarik perhatianku. Siapa yang tidak pernah mendengar dongen putri tidur? Aku rasa hampir langka. Aku mengurungkan niat untuk pergi. Aku akan mendengarkan lagi cerita Pak Erlon.

"Selama bertahun-tahun penyihir yang menyelamatkanmu hidup di goa di dekat aliran sungai. Dia membuatkanmu peti kayu untuk berjaga-jaga jika ada manusia yang tiba-tiba menyerangnya dan mengambilmu. Dan itu benar terjadi. Manusia akhirnya mengetahui tempat persembunyiannya. Penyihir yang menyelamatkanmu menghanyutkanmu di sungai. Manusia tidak berhasil mendapatkanmu, tetapi berhasil membunuh pelayan Ratu."

Aku terdiam. Ruangan lengang. Pak Erlon menatapku. Wajahku sudah tidak lagi menunjukkan rasa remeh terhadap apa yang Pak Erlon ceritakan. Terus terang cerita yang Pak Erlon kisahkan barusan mulai terasa berpengaruh di kepalaku. Entahlah, kenapa aku mulai bisa menerimanya?

Cepat-cepat aku menggeleng. Tidak! Ini tidak boleh terjadi. Mau bagaimana pun juga, penyihir atau apalah itu, hanyalah dongeng pengantar tidur belaka. Alasan aku bukan anak kandung ayah dan ibu bisa saja ada faktor lain. Aku diadopsi dari panti asuhan misalnya, masih ada kemungkinan lain yang lebih masuk akal ketimbang cerita Pak Erlon tadi.

Aku bangkit dari sofa. "Baik, Pak. Saya sudah mendengarkan cerita Bapak sampai selesai. Maaf, tapi saya masih tidak percaya dengan Bapak. Yang Bapak katakan hanyalah dongeng semata. Saya pamit undur diri."

***

Sama seperti saat aku menceritakan pertama kali tentang apa yang Pak Erlon katakan pada Bella, sekarang dia masih tertawa.

Kami berada di kamar sekarang. Bella duduk di kursi belajaku, aku duduk di atas tempat tidur.

"Sekarang kutanya. Jika kau jadi aku, apa kau akan percaya pada apa yang Pak Erlon ceritakan?" aku bertanya.

Bella menggeleng.

"Benar, kan? Aku rasa dibayar sekali pun, orang akan berpikir dua kali tentang kebenarannya."

Ponselku berdering. Panggilan masuk dari Ibu.

"Ada apa, Alana?" tanya Bella setelah aku menutup telpon.

"Ibu memintaku untuk mengeluarkan tabung mesin cuci di gudang. Nanti akan ada pekerja yang datang mengambilnya," aku memberitahu.

Aku keluar dari kamar, menuju gudang. Rumah tempatku tinggal sekarang terdiri dari dua lantai. Kamarku berada di lantai dua. Sedangkan gudang berbeda bangunan. Punya bangunan sendiri di halaman belakang rumah. Ibu sengaja membangun gudang terpisah karena barang-barang yang hendak disimpan memang banyak. Sebagian besar isinya adalah komponen-komponen mesin cuci. Biasanya kalau ada kerusakan mesin cuci, ibu membetulkannya sendiri.

Bella ikut denganku. Aku butuh bantuannya karena ibu meminta untuk mengeluarkan lima tabung mesin cuci yang baru.

Gudangku cukup luas memang. Ukurannya delapan kali delapan meter persegi. Saat kubuka pintu, suasananya remang-remang. Hanya sedikit cahaya yang masuk melalui pintu. Aku menyalakan lampu.

Tanpa buang waktu, aku langsung mengeluarkan tabung-tabung mesin cuci baru sesuai perintah Ibu. Aku sedikit menyesal meminta Bella untuk ikut. Dia tidak membantu sama sekali. Ini kali pertamanya masuk ke gudangku. Dia berkeliling, melihat apa pun di sana yang menarik perhatiannya.

"Bella, ayo keluar. Aku sudah selesai," teriakku dari luar setelah mengeluarkan lima tabung mesin cuci baru.

"Iya!"

Terdengar suara Bella jatuh. Aku segera masuk ke dalam. Sampai di dalam, bukan Bella yang kutolong. Ada yang lebih menarik perhatianku sampai-sampai aku lupa bahwa tujuanku masuk ke dalam gudang adalah untuk menolongnya.

Tubuhku seketika terasa membeku. Mataku tertuju ke arah peti kayu. Melihat ukurannya, langsung terbayang di benakku bahwa itu cukup untuk menampung seorang bayi di dalamnya. Peti kayu itu polos, tidak ada motif apa pun. Terlihat memang dibuat seadanya.

Bella bangkit sendiri. Dia menghampiriku. Bola matanya membulat sempurna melihat peti kayu itu.

"Alana, kau tidak apa-apa?"