webnovel

Ditertawakan

Sesuai yang aku perkirakan. Laki-laki yang bernama Erlon itu masih terus menggangguku. Hari ini dia mengutus murid lagi untuk memanggilku. Aku tidak mau memenuhi panggilannya. Aku bisa gila lama-lama kalau terus mendengar ucapan penuh kebohongan dari mulut Pak Erlon. Kemarin malam, saat pulang dari tempat kerja, Bi Inem melaporkanku ke Ibu bahwa aku menolak kunjungan guru sekolahku. Aku tahu itu sebenarnya sebuah kesalahan, tapi situasinya berbeda. Pak Erlon bukan guru, melainkan orang gila yang mencoba untuk menjadikanku pengikutnya, membuatku percaya semua kebohongannya.

"Benar apa kata Bi Inem?" tanya Ibu. Dia berdiri di ambang pintu, menatapku.

Aku mengangguk patah-patah, duduk di kursi belajar.

"Alana, apa itu yang Ibu ajarkan padamu? Kau harus sopan pada gurumu. Dia adalah orang tua kedua bagimu setelah Ayah dan Ibu. Bagaimana bisa kau mengusirnya tanpa mempersilakannya masuk terlebih dahulu?"

Suara lembut Ibu berhasil membuatku merasa bersalah saat itu, tapi secepat kilat rasa bersalahku hilang saat perkataan Pak Erlon yang bilang bahwa aku bukan anak kandung ibu dan ayahku terngiang kembali di kupingku. Aku memutuskan untuk diam. Tidak masalah aku dianggap kurang ajar oleh Ibu. Setidaknya setelah aku mengusir Pak Erlon, dia tidak akan berpikir untuk datang lagi ke rumah.

Karena undangannya kutolak, pulang sekolah Pak Erlon sendiri yang mendatangiku.

"Dengarkan saya, Putri Ileana."

Kini Pak Erlon berani memegang tanganku. Aku menepisnya.

"Nama saya Alana, Pak. Apa lagi yang harus saya dengar, Pak? Tolong, Pak, hentikan omong kosong Bapak. Saya tidak tahan mendengarnya."

"Ikut saya. Saya mohon. Ini demi kesalamatan kaum kita."

Hei, wajah seram Pak Erlon ternyata bisa juga berubah menjadi wajah mengharap iba.

Aku sedikit membenci situasi ini. Kenapa sih Pak Erlon harus datang ke sekolah ini? Apa faedahnya coba? Ucapan yang keluar dari mulutnya tidak lebih dari dusta belaka. Apa dia bisa mengajar dengan kepribadian seperti ini?

"Bagaimana Putri Ileana? Apa kau mau ikut denganku?"

Aku memasang senyum terpaksa. "Pak Erlon yang terhormat. Saya tidak mau dan saya akan melaporkan Bapak ke kepala sekolah besok. Terima kasih."

Kalian tahu, selama ini kepala sekolah—Pak Budi—adalah sosok yang mendapat perhatian lebih dariku. Dia harmonis, murah senyum, ramah, mudah bersosialisasi dengan semua murid-murid di sekolah. Namun, kini aku kehilangan respek pada Pak Budi. Lihat bagaimana dia menertawakanku saat aku melaporkan Pak Erlon padanya.

"Kau ini ada-ada saja, Alana." Pak Budi geleng-geleng kepala sambil terkekeh. "Erlon ini sahabat saya sejak zaman kuliah. Saya hafal betul bagaimana sikap dan kepribadiannya. Lihat, dengan wajah seram itu, tidak mungkin Pak Erlon membual seperti yang kau katakan. Lagi pula sekarang sudah era modern. Hal-hal semacam itu tidak lain hanya cerita dongeng pengantar tidur saja."

"Tapi, Pak—"

"Sudah. Lebih baik saya sarankan kamu untuk meminta maaf. Pak Erlon orang baik. Percaya sama saya." Pak Budi mengakhiri kalimatnya dengan senyuman meyakinkan.

Aku menghela napas kesal. Baiklah. Kalau begitu lebih baik aku pergi saja dari ruangan ini, ketimbang rasa kesalku semakin bertambah.

***

Di kantin sekolah.

Murid-murid tengah sibuk menyantap makanan mereka masing-masing. Satu-dua tertawa, saling bertukar cerita. Aku memainkan garpu, menusuk-tusuk bakso yang kupesan. Aku kehilangan selera makan.

"Bagaimana kalau kita buktikan sendiri?" ujar Bella tiba-tiba membuat kepalaku terangkat, menatapnya.

"Buktikan sendiri? Maksudmu?"

"Pak Erlon bilang kau bukan anak kandung ayah dan ibumu, kan? Maka cari tahu apakah yang dikatakan Pak Erlon itu fakta atau hanya bualan semata."

Aku mengggeleng. "Gila kamu, Bella. Tidak mungkin aku melakukan itu. Aku yakin seratus persen kalau aku adalah anak kandung ibu dan ayahku. Aku dilahirkan dari rahim ibuku."

"Hanya tes saja, Alana. Kalau memang kau yakin seratus persen, seharusnya kau tidak perlu takut untuk mencoba mencari tahu, bukan? Untuk mematahkan omong kosong Pak Erlon. Bagaimana?"

Tidak ada salahnya memang. Pak Erlon sebegitu yakinnya, sebegitu percaya dirinya mengatakan kalau aku bukan manusia dan juga bukan anak kandung ayah dan ibuku. Maka untuk membantah hal tersebut, aku harus memberikan bukti pada Pak Erlon yang menjelaskan bahwa omong kosongnya itu memang benar-benar omong kosong. Panggilan Putri Ileana juga menggangguku.

"Aku akan bantu. Kau bersedia?"

Aku mengangguk mantap. Baiklah. Aku akan membuktikan sendiri bahwa aku memang anak kandung ayah dan ibuku.

Sampai di rumah aku langsung masuk ke dalam kamar ibu dan ayah, mencari sesuatu yang bisa dijadikan sampel tes.

"Hampir seluruh bagian tubuh dapat digunakan untuk sampel tes, tetapi yang paling sering digunakan adalah: darah, rambut, air liur, dan kuku," kata Bella di kantin tadi. Aku akui, meski sedikit memberontak dan bersikap bodoh amat dengan keluarga, Bella termasuk murid yang memiliki otak pintar.

Aku menemukan sehelai rambut panjang berwarna pirang di atas bantal yang biasa Ibu pakai. Aku merobek kertas, meletakkan rambut di atasnya, kemudian kulipat kertas tersebut, memasukkannya ke dalam tas. Sekarang tinggal sampel ayah. Aku sudah mencari sebisa mungkin di kamar. Namun, aku tidak menemukan apa-apa. Tidak ada rambut atau pun yang lainnya.

Aku tidak mau putus asa begitu saja. Aku harus mendapatkan sampel agar bisa mematahkan omongan Pak Erlon. Malam harinya saat Ayah pulang dari kantor, aku mengikutinya masuk ke dalam kamar mandi. Ayah pulang cukup larut. Jadi, sesampainya di rumah, dia langsung ke kamar mandi untuk menyikat gigi lalu pergi tidur. Aku menempelkan kuping ke daun pintu kamar mandi. Tanpa sadar aku mengepalkan tangan seraya mengatakan yes! saat kudengar ayah membuang dahak. Meski sedikit menjijikkan, tidak masalah. Yang penting aku bisa mendapatkan sampel.

Setelah mendengar suara air mati, cepat-cepat aku melompat ke tempat tidur. Tidak ada orang di kamar. Ibu sedang pergi melayat ke rumah temannya, menginap.

"Ada apa, Alana?" tanya ayah. Tangannya sibuk mengelap wajahnya yang basah dengan handuk.

"Alana ingin menumpang kamar mandi, Yah. Kamar mandi Alana airnya mati."

Ayah ber-oh lalu mempersilakan. Aku tidak mau membuang waktu. Aku harus bergerak cepat. Di dalam kamar mandi, aku menggunakan ujung sikat gigi untuk memindahkan bekas dahak ayah yang tertinggal di wastafel, memasukkannya ke dalam plastik yang telah kusiapkan. Kucuci ujung sikat giginya, lalu kuletakkan kembali ke tempat semula. Selesai. Tinggal diserahkan kepada Bella.

"Bagaimana? Sudah kau dapatkan?" tanya Bella keesokan harinya di sekolah.

Aku mengangguk.

"Baiklah. Selepas pulang sekolah kita ke rumah sakit."

Tiga minggu kemudian hasil tes DNA keluar. Tanpa membuang-buang waktu, selepas pulang sekolah aku dan Bella langsung menuju rumah sakit tempat dokter kenalan Bella bekerja. Dokter memberiku amplop putih bersegel. Entah kenapa ada sedikit rasa was-was saat amplop sudah berada di tanganku. Jadinya aku tidak berani langsung membuka amplop di tempat. Aku memutuskan untuk membuka amplop di rumah.

Setibanya kami di rumah, aku dan Bella menuju kamar. Sebelum membuka amplop, aku menarik napas dalam, mengembuskannya perlahan. Aku berhitung dalam hati. Hitungan ketiga, tanganku membuka amplop. Aku termangu. Kalian tahu, Pak Erlon benar. Hasil tes DNA menunjukkan bahwa aku bukanlah anak kandung dari ayah dan ibuku.