webnovel

Sosok di cermin

Perasaanku sudah sempat membaik, tetapi setelah melihat peti kayu di gudang, membuatku kembali murung. Bahkan yang ini lebih parah. Aku mengunci pintu kamar, tidak mengizinkan Bella masuk. Aku butuh waktu sendiri.

"Alana, ayolah, buka pintunya," kata Bella sambil sesekali mengetuk pintu, memohon agar dibolehkan masuk.

Aku diam, tidak memberi jawaban. Tanpa sadar air mataku menetes dengan sendirinya. Pandangan mataku tertuju ke sebuah foto yang ditelakkan di dalam bingkai berukuran 8x8. Di dalam foto itu ada aku saat memegang piala perlombaan naik sepeda di SD waktu itu bersama ayah dan ibu. Kutatap wajah mereka berdua. Bagaimana bisa dua sosok pahlawan yang membesarkanku selama ini bukanlah orang tua kandungku?

Aku menghela napas panjang. Kuputuskan untuk merebahkan tubuh di atas tempat tidur. Kutatap langit-langit kamar. Di luar, suasana mulai berubah gelap. Matahari siap bertukar tugas dengan bulan. Dinginnya angin malam mulai terasa. Lengang. Aku tidak tahu harus melakukan apa sekarang. Fakta yang mengejutkan ini membuatku ingin menghilang dari muka bumi.

Yang ada di kepalaku sekarang hanyalah sebuah pertanyaan simpel yang sangat berefek pada hidupku. Siapa orang tuaku yang sebenarnya?

***

Selanjutnya hari-hari terasa berat bagiku. Nafsu makanku masih belum kembali. Akan tetapi aku harus tetap terlihat baik-baik saja di hadapan kedua orang tuaku. Aku bingung harus berbuat apa. Selama ini kehidupanku dengan Ayah dan Ibu berjalan sebagaimana layaknya hubungan antara anak dan orang tua. Namun di satu sisi, ada satu hal yang terus mengusikku. Perihal siapa orang tua kandungku. Haruskah aku menanyakannya pada Ayah dan Ibu?

Satu-satunya tempat di mana aku bisa bebas berekspresi hanyalah kamar. Aku bisa memasang wajah murungku, wajah sedihku, wajah dengan rasa sakit hati mendalam.

"Alana, ayolah. Itu hanya peti kayu. Kau tidak semestinya bersikap seperti itu," tutur Bella. Sudah seminggu berlalu. Dan baru sekarang Bella kuizinkan masuk ke kamarku. "Siapa saja bisa memilikinya bukan? Itu bukan benda spesial."

Aku hanya diam, memainkan pulpen di tangan. Duduk di kursi belajar, menatap buku pelajaran tidak membuatku melupakan soal peti kayu tempo hari.

"Aku menceritakan soal peti kayu itu kepada Pak Erlon," ujarku pelan, nyaris tidak terdengar.

"Benarkah?" Bella yang semula rebahan, langsung mengubah posisinya menjadi duduk. "Apa kata Pak Erlon?"

"Dia ingin melihat peti itu sendiri."

"Jadi dia mau datang ke rumahmu?"

Aku mengangguk pelan.

"Tidak, Alana, Ini tidak benar. Yang dikatakan Pak Erlon sangat tidak masuk akal."

"Hanya itu satu-satunya cara untuk membuktikan apakah peti kayu itu milik pelayan Ratu atau bukan, Bella. Kau tidak mengerti. Aku harus tahu siapa orang tua kandungku yang sebenarnya."

Keesokan harinya, hari minggu, Pak Erlon datang ke rumah. Pukul setengah delapan pagi. Dia berpakaian olahraga. Ibu yang menyambutnya. Hal pertama yang Ibu lakukan adalah meminta maaf atas perlakukan mengusir Pak Erlon waktu itu.

"Bu, biarkan Alana dan Pak Erlon sebentar, ya. Ada yang harus kami bicarakan."

Dengan senang hati Ibu mempersilakan. Di dalam pikiran Ibu, mungkin aku ingin meminta maaf kepada Pak Erlon soal mengusirnya waktu itu.

Tanpa buang-buang waktu, aku langsung membawa Pak Erlon ke gudang. Aku menunjukkan peti kayu padanya.

"Pergi!" Kalimat itu keluar dari mulut Bella. Dia berdiri di ambang pintu gudang. Raut wajahnya mengekspresikan rasa tidak suka melihat Pak Erlon berada di satu tempat denganku. Terlebih menunjukkan peti yang ada di gudang. "Saya bilang pergi!"

"Bella …."

Melihat Pak Erlon tidak bergerak sedikit pun, Bella menarik paksa Pak Erlon keluar dari gudang.

"Jangan pernah datang ke rumah ini lagi. Jangan dekat-dekat dengan sahabat saya. Tolong cari orang lain yang ingin kau bodohi."

"Bella … kau tidak paham—"

Bella menatapku tajam, membuat leherku tersekat. Kalimatku tidak sampai di ujungnya.

***

"Kau yang pertama kali menentang omong kosong Pak Erlon, Alana. Bagaimana bisa kau berubah pikiran sekarang? Sadar Alana, dia tahu kelemahanmu. Kau tidak boleh sampai terpedaya olehnya."

Bella terlihat marah. Wajah tidak sukanya atas apa yang barusan kulakukan begitu kentara. Aku bisa merasakan itu.

Bella memijat pelipisnya frustasi. Bella benar. Sejak awal aku yang paling menentang soal omong kosong Pak Erlon. Soal penyihir, soal Ellion, soal anak Raja dan Ratu. Tapi sekarang aku merasa situasinya berbeda. Aku harus tahu siapa kedua orang tua kandungku.

"Aku tahu kau sangat terpukul dengan ini. Tapi bukan berarti kau langsung mempercayai perkataan Pak Erlon."

"Lalu aku harus bagaimana?" tanyaku. Aku bingung harus berbuat apa, sedangkan aku benar-benar harus tahu siapa orang tua kandungku.

"Tunggu sampai kedua orang tuamu memberitahumu. Atau pilihan kedua, kau tanyakan sendiri pada mereka."

"Bertanya pada mereka? Itu jelas tidak mungkin, Bella!"

"Ya sudah. Kalau begitu kau tunggu saja mereka memberitahumu. Pokoknya aku tidak akan membiarkan si gila itu datang mendekatimu."

Hari terus berjalan. Selama seminggu penuh Bella terus berada di sampingku. Dia benar-benar mengawasiku, menjagaku agar tidak bertemu dengan Pak Erlon. Biasanya aku dan Bella memang ke mana-mana selalu berdua, tapi kalau ke kamar mandi atau aku dipanggil guru misalnya, Bella tidak pernah ikut. Tapi kali ini, ke mana pun aku pergi, Bella pasti ikut.

Tapi malam ini aku berada sendirian di kamar. Tadi sore Bella mendapat telepon dari ayahnya, memintanya untuk pulang ke rumah karena ada yang mau dibicarakan.

Pukul sebelas malam. Aku menutup buku latihanku, selesai mengerjakan tugas sekolah. Aku membunyikan buku-buku jariku, juga ruas tulang leher dan tulang belakang. Renyah sekali suara yang terdengar. Aku beranjak dari kursi belajar ke tempat tidur, merebahkan tubuh, bersiap tidur.

Di luar cuaca sedang bagus. Bintang-bintang bertebaran di langit. Bulan berbentuk pisang terlihat memanjakan mata.

Saat mataku mulai terpejam, tiba-tiba aku mendengar suara ketukan. Mataku kembali terbuka. Awalnya aku mengabaikan suara ketukan itu karena kupikir itu mungkin saja suara kucing atau burung. Tapi saat aku menajamkan pendengaranku, suara ketukan itu terasa berasal dari dalam kamarku. Posisiku saat itu menghadap ke kanan, membelakangi pintu. Aku berbalik. Betapa kagetnya saat melihat ada sosok perempuan yang sangat anggun, memakai gaun putih, dan tak lupa mahkota yang bersinar terang di atas kepalanya. Wajahnya cantik jelita. Tatapan matanya meneduhkan

Dia tersenyum kepadaku.

"Si-siapa kau?" tanyaku.

Meski yang tampak di mataku bukan sosok yang menyeramkan atau semacamnya, tetap saja hal ini terasa asing dan aneh bagiku, sehingga tubuhku merespon hal tersebut sebagai sebuah ancaman yang harus diwaspadai. Bagaimana tidak? Bagaimana bisa muncul seseorang dari dalam cermin? Itu hanya dongeng, bukan?

"Aku Ratu Elina, Alana," jawabnya. Suaranya terdengar lembut dan menenangkan.

"Ratu? Kau Ratu?"

Dia mengangguk. Anggukannya begitu anggun.

"Mau apa kau ke kamarku?"

"Aku hanya ingin menyapamu. Itu saja."