webnovel

TERPERANGKAP PESONA CEO (20)

Maaf, ini intronya aja yang serius, coba deh baca tiga bab pertama. *** Apa yang akan terjadi bila ayah sahabat masa kecilmu adalah dalang dibalik hancurnya keluargamu? Nayla, seorang gadis yang berteman dekat dengan Reza, mengalami amnesia setelah kecelakaan tragis. Dirinya melupakan Reza dan segala hal bengis dibalik keluarga sang pria hingga suatu hari... Ia bertemu kembali dengan Reza di perusahaan sang pria! Tapi...Nayla telah berubah menjadi buruk rupa dan bekerja menjadi OB. Reza tak mengenali Nayla pula! Akankah ada kisah cinta diantara dua sejoli ini sementara ayahnya Reza menjadi kaya akibat mengkhianati ayahnya Nayla? Akankah mereka tetap bisa menjadi kekasih ketika keluarga Reza bersikeras menghalangi kisah mereka? Dapatkah Nayla membongkar rahasia dibalik kehancuran keluarganya? Apa yang akan ia lakukan setelah mengetahui bahwa keluarga Reza adalah musuhnya? Inilah kisah "Dari benci jadi cinta" yang sesungguhnya. Romeo dan Juliet zaman modern. . . Simak selengkapnya, di kisah TERPERANGKAP PESONA CEO (20).

da_pink · Sports, voyage et activités
Pas assez d’évaluations
295 Chs

MEETING

-POV REZA-

Ketika Nayla berbalik ke belakang, saya menoleh padanya, dan saya lihat Aira langsung menghalangi.

"Nay, itu lift udah buka. Keluar yuk."

Nayla membalik lagi tubuhnya ke arah depan, dan segera keluar. Jadilah saya yang mengikutinya di belakang.

Tetapi saat sampai di pintu kantor, Nayla menunggu hingga semua karyawan masuk.

Dan saya justru menunggunya di dalam.

Sadar sedang dinanti, Nayla segera masuk dan mengikuti saya.

"Kamu janji akan mengobati dahi saya."

"I- iya, maaf, Pak."

Hah! lagi-lagi, maafkan saya Nayla, sungguh saya tak ingin membuat hubungan kita jadi se kaku ini. Namun, kelak semua akan terlewati seiring dengan rasa cinta saya yang bisa membuat kekakuanmu itu mencair.

Saya duduk di kursi pantry. Menunggunya mengambil peralatan P3K.

"Maaf ya, Pak. Saya pegang dahinya."

Saya tersenyum simpul, mengangguk sambil duduk melipat tangan di dada.

Nayla tampak hati-hati mengompres dahi saya yang benjol dengan cairan yang ia tuang di atas kapas. Dingin.

Saya bisa menatapnya sedekat ini.

Matanya itu. Benar-benar indah sekali.

Saya juga bisa mendengarkan degup jantungnya. Ah, apa ini suara jantung saya, atau apa jantung kami?

Nayla terlihat agak risih diperhatikan begini. Sampai-sampai dia jadi tak fokus pada yang sedang dikerjakan, hingga tak sengaja menekan mata saya.

"Na- Nayla…"

Dia terkejut, saat kembali mengarahkan pandangan ke gerakan tangannya. Wajahnya pucat, entah karena takut saya marah, atau bagaimana.

Saya takkan marah, justru melihatnya begitu, senyum dibibir ini semakin mengembang.

Nayla buru-buru menyudahi pekerjaannya itu. Dia lalu membereskan semua perlengkapan yang sudah dikeluarkan tadi. Kemudian memasukkan kembali ke tempat semula.

Saya masih duduk di kursi pantry, terus saja memerhatikannya.

"Maaf, Pak. Benjolnya udah saya kompres, Bapak sudah bisa kembali ke ruangan. Mudah-mudahan bentar lagi kempes."

Katanya masih menunduk di hadapan saya.

Ia seperti akan melakukan sesuatu. Saya menengok jam dipergelangan tangan.

Baru pukul tujuh lewat dua puluh menit. Masih ada sepuluh menit lagi menuju meeting dengan karyawan redaksi.

"Kamu mengusir saya?"

Entah kenapa, saya jadi senang menjahilinya. Apalagi melihatnya seolah takut-takut pada saya.

Hah! andai saja dia tau saya ini siapa? Mungkin dia akan membunuh saya. Memikirkannya saja, sudah membuat diri ini tergelitik, membayangkan pertemuan kami justru sebagai dua sahabat lama yang terpisah.

Namun, dibalik keinginan itu, terdapat kepahitan yang harus disembunyikan rapat-rapat.

"Bapak mau tetap di sini? Kalo begitu, saya mohon izin kerja dulu."

Dia mulai memanaskan air di kompor.

Kemudian sembari itu, ia juga mengelap semua yang bisa di lap. Saya terus saja memerhatikan.

Semakin dilihat, dia jadi tampak semakin tak karuan. Sampai mengelap semua yang ada di dalam lemari pajang, di lemari bawah, dan semuanya. Hingga air pun mendidih.

Ia menghentikan aktifitas mengelap tadi. Membuatkan teh, lalu memasukkan ke dalam water tank yang ada di dekat saya.

Semula ia ragu-ragu menghampiri, hingga saya memutar kursi ke arah luar, membelakanginya lah tepatnya. Lalu, saat ia kembali mengambil kopi yang sudah dibuat untuk dibawa ke water tank selanjutnya, saya kembali memutar tubuh.

Setelah selesai, Nayla melakukan aktifitas tadi. Mengelap semua yang belum dilap. Sampai, terdengar pintu dapur didorong agak kasar.

"Nayla…!"

Chika. Dia terkejut melihat saya berada di sana. Saya tadinya juga terkejut mendengar suaranya memanggil Nayla dengan keras. Apa dia ingin memarahi Nayla?

Kami bertatapan.

Saya menatap Chika lama, ia lalu menunduk.

"Pak Reza, kenapa anda di sini?"

Saya masih melipat tangan di dada.

"Kenapa? Apa saya tidak boleh berada di mana saja?"

Chika terdengar mulai gugup.

"Bukan begitu, Pak. Saya hanya tidak menyangka sepagi ini anda sudah berada di dapur."

Saya mengangkat bahu. Lalu berdiri menghampirinya.

"Kenapa anda memanggil Nayla begitu? Apa ada yang salah?"

Chika mundur beberapa langkah, ia masih menunduk. Lalu dengan serta merta, memutar tubuh dan keluar dari dapur.

Saya rasa dia kesal karena dimarahi kemaren. Ulah dia juga, membuat Nayla jadi sakit. Sayakan jadi tidak bisa menahan emosi.

Saya kembali mengintip jam dipergelangan tangan. Baiklah, dua menit tersisa. Saya harus segera menuju ruang meeting.

Dan sebelum pergi, saya memutar kepala ke arah Nayla.

"Terima kasih perawatannya. Saya merasa lebih baik."

Nayla tersenyum sedikit dibalik wajah cemasnya. Lalu mengangguk dan langsung menunduk.

"Nayla."

Saya belum selesai. Gadis itu mengangkat wajah.

"Jangan ragu-ragu untuk melaporkan apa saja yang membuatmu tidak nyaman selama bekerja di kantor ini, pada saya."

Semula Nayla tampak tidak enak, untuk kemudian mengangguk pelan.

Saya hanya tidak ingin dia diapa-apakan siapapun di sini.

Saya akan merasa sangat bodoh, jika tidak bisa menjaga Nayla, justru di tempat dimana kekuasaan penuh berada di tangan saya.

Sejujurnya, saya sangat ingin menarik tubuhnya untuk dipeluk. Ah, entah kenapa, saya benar-benar seolah dimabuk cinta. Ingin sekali selalu bisa memastikan dia aman di dekapan ini.

***

***

Saat masuk ke dalam ruang rapat.

Semua karyawan bagian redaksi sudah menunggu di sana.

"Selamat pagi, apa sudah lengkap?"

Saya langsung saja mengambil alih rapat, tidak perlu berbasa-basi. Waktu yang tersedia sangat mepet. Satu jam saja setiap hari, dan setiap pagi.

"Lengkap."

Arka mewakili.

"Terima kasih, Arka."

Ini ucapan untuk tadi pagi, karena telah menyelamatkan Nayla dari dua orang rentenir yang selalu mengejarnya.

Arka hanya mengangkat wajah dan alis.

"Kita mulai saja rapat ini. Seperti yang pernah saya sampaikan pada Ovhie, mengenai ide-ide dari masing-masing orang. Siapa yang akan memulai untuk menuangkan idenya?"

Saya melihat satu per satu wajah-wajah itu.

Tak ada yang terlihat ingin memulai.

Satu detik���

Dua detik…

Tiga detik…

"Saya sangat tidak suka membuang-buang waktu. Indri… Silahkan dari kamu? Sehari-hari kamu meliput, mewawancarai orang, apa saja ide yang mungkin bisa kita kembangkan, selain dari gossip artis!"

Saya menekankan di bagian terakhir. Sungguh saya sangat tidak suka jika gossip tentang para artis mendominasi dalam cetakan Nabastala ketika resmi berada di tangan saya.

Indri tersentak. Dia ragu untuk mulai menjawab.

Satu detik…

Dua detik…

Tiga detik…

"Kamu dengar saya kan?"

Wanita itu semakin tersentak. "Sa- saya belum bisa memikirkanya, Pak."

Jawaban apa itu! Saya sungguh ingin marah mendengar jawaban seperti itu. Belum bisa memikirkan.

Apa gunanya otak di kepala, jika tak digunakan untuk berpikir. Otak itu bukan sebagai pemberat isi kepala saja.

Saya beralih kepada yang lain. Tak ada waktu untuk marah-marah. Percuma, lebih baik fokus ke depan.

"Aira. Sebagai Redaktur Pelaksana, kontribusi ide seperti apa yang bisa kamu berikan?"

Gadis cantik itu juga tersentak. Apa dia melamun? Ya. Dia ternyata melamun sejak awal saya mulai bicara.

Apa yang dipikirkannya?

"Beritahu saya, ide brilliantmu?"

Aira menyelipkan rambut di telinga. Hari ini, ia geraikan saja rambut panjangnya itu. Memang tampak memikat dan mempesona. Tetapi, saya hanya sebatas kagum akan keindahan ragawinya, tidak untuk dicintai. Karena cinta saya sudah tertambat pada Nayla.

***

***

Tim Babang Tamvan unjuk gigi dong...

Tim Mas Arka juga unjuk jidad..

Kalian pilih mana?

da_pinkcreators' thoughts