webnovel

TERPERANGKAP PESONA CEO (20)

Maaf, ini intronya aja yang serius, coba deh baca tiga bab pertama. *** Apa yang akan terjadi bila ayah sahabat masa kecilmu adalah dalang dibalik hancurnya keluargamu? Nayla, seorang gadis yang berteman dekat dengan Reza, mengalami amnesia setelah kecelakaan tragis. Dirinya melupakan Reza dan segala hal bengis dibalik keluarga sang pria hingga suatu hari... Ia bertemu kembali dengan Reza di perusahaan sang pria! Tapi...Nayla telah berubah menjadi buruk rupa dan bekerja menjadi OB. Reza tak mengenali Nayla pula! Akankah ada kisah cinta diantara dua sejoli ini sementara ayahnya Reza menjadi kaya akibat mengkhianati ayahnya Nayla? Akankah mereka tetap bisa menjadi kekasih ketika keluarga Reza bersikeras menghalangi kisah mereka? Dapatkah Nayla membongkar rahasia dibalik kehancuran keluarganya? Apa yang akan ia lakukan setelah mengetahui bahwa keluarga Reza adalah musuhnya? Inilah kisah "Dari benci jadi cinta" yang sesungguhnya. Romeo dan Juliet zaman modern. . . Simak selengkapnya, di kisah TERPERANGKAP PESONA CEO (20).

da_pink · Teen
Not enough ratings
295 Chs

FAKTA TENTANG SAYA

-POV REZA-

Saya seharusnya tak perlu memutar arah, jika saja itu bukan Nayla.

Tak sengaja melewati halte dekat kawasan Penjaringan. Saya hanya singgah ke coffe shop saja. Entah kenapa, harus sejauh ini mencari coffee shop, padahal di dekat kantor ada yang sudah buka pagi-pagi sekali.

Mungkin inilah yang namanya takdir. Jika tak menyinggahi coffe shop tadi, saya takkan melihat Nayla di halte itu.

Dan sungguh, saya berterima kasih pada Arka dan juga anak SMA, yang pernah memanggil saya Om, di fotocopy tempat Nayla bekerja waktu itu.

Saya akan segera menyelesaikan urusan dengan para rentenir, yang masih mengejar-ngejar Nayla, agar gadis yang saya sukai bisa hidup dengan tenteram.

"Ada apa Nayla?"

Saya tak sengaja melihat Nayla tengah menatap pada saya.

Dan cara dia melihat, membuat saya jadi bertambah percaya diri, bahwa Nayla akan bisa saya rebut hatinya. Tentu saja, Nayla bahkan sama saja dengan para perempuan diluar sana, yang mengagumi ketampanan saya. Hanya yang berbeda, gadis ini adalah Nayla si Dua Dua, sosok yang telah menguasai tempat istimewa di hati ini.

Sehingga, meski akan banyak Nayla-Nayla lain bermunculan, hati saya takkan tergugah, sebab, saya telah menemukan pemiliknya

"Ng- anu, eh… Hmmm, Ya, Pak."

Saya tahu dia sedang gugup. Bagaimana tidak, terpergoki begitu.

Saya tersenyum sedikit, lalu menatapnya sekilas.

Nayla juga mencuri pandang sebentar, kemudian kembali menunduk. Ingin sekali rasanya mencubit pipinya itu. Walaupun kondisi di sekitar wajahnya seperti ditaburi pasir, kesat.

"Oke Nayla, ayo naik ke atas bersama. Nanti kamu jangan telat makan, dan obatnya juga jangan lupa di minum."

Nayla terlihat bingung. Dan saya tahu kenapa dia menjadi seperti itu.

Saya lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam jas. Dan memberikan padanya.

"Ini, saya lupa memberikannya tadi malam."

Nayla meraih bingkisan obat-obatan itu. Dia seperti tidak menyangka saja, bahwa saya sampai se peduli ini kepadanya.

"Makasih, Pak," ucapnya terlihat berkaca-kaca.

Saya tahu dia juga mungkin terharu. Tanpa memperpanjang waktu, saya keluar lebih dulu dari mobil, dan membukakan pintu untuknya.

Lagi-lagi, Nayla tampak terkejut, dan seolah tidak menyangka.

Saya bahkan mengulurkan tangan padanya, dan dengan ragu-ragu pula ia menyambut.

Ekspresinya benar-benar terlihat menggemaskan. Ia kebingungan dengan semua yang saya lakukan padanya. Dia juga menatap saya penuh tanda tanya.

Saya tak ingin membuatnya bertambah bingung. Segera saja saya lepaskan tangannya, lalu berjalan normal, layaknya bos dan bawahan. Jangan membuat kondisi ini terlalu ketara. Nayla akan curiga dengan maksud saya memperlakukannya demikian.

Meskipun maksud saya baik, ingin membuatnya jatuh hati tanpa tahu latar belakang saya.

Nayla mengikuti di belakang.

Jujur saja, saya benar-benar tidak ingin melakukan ini, yang di mau itu, Nayla berjalan di sisi, bisa menggenggam jemarinya. Namun, demi kelancaran niat tulus di hati, saya akan kesampingkan itu semua dulu.

Saya sibuk saja mencoba melihatnya dari sudut mata, menoleh ke kanan dan kiri, hingga tak tahu, ada pintu kaca yang seharusnya di geser manual, sebab otomatisnya sedang rusak.

Kepala saya kepentok. Langsung memperdengarkan bunyi yang lumayan… membuat saya malu. Nayla melihatnya, juga beberapa orang-orang yang juga hendak menuju gedung.

"Bapak nggak apa-apa, Pak?"

Saya harus bersikap biasa saja. Ini kejadian lumrah dan di luar dugaan, sehingga, takkan jadi perbincangan panjang.

Kecuali… Ya Tuhan, beberapa wanita memotret saya, sambil tersenyum.

Ah, ya sudahlah. Anggap saja ini cara menjadi lebih terkenal.

"Tidak apa-apa Nayla."

Saya masih mengusap-ngusap dahi yang terbentur dengan pintu kaca.

Namun, Nayla malah berteriak histeris.

"Ya ampun, Pak. Benjol itu, ayo-ayo ke klinik!"

Apa?

Saya kembali meraba dahi. Dan memang terasa membengkak.

Nayla menarik saya masuk. Ia sampai berlari sambil terus memegangi tangan saya. Seolah tahu saja di mana lokasi klinik di gedung ini.

Kami bahkan sudah berada di depan pintu klinik gedung, tapi, belum beroperasi.

Nayla terlihat cemas, ia memeriksa pintu dan mengintip di jendela.

"Nayla, apa yang kamu lakukan?"

Saya masih memegangi dahi yang bengkak, ingin menutupi, agar tak terlihat orang-orang.

"Gimana sih? Masa belum buka."

Saya tersenyum. Rasanya sama seperti waktu dulu. Dia masih memiliki kepedulian yang luar biasa.

Saya akan ceritakan sedikit kisah manis itu, saat pertama kali Nayla sangat cemas melihat lutut saya berdarah, karena terjatuh di halaman sekolah. Anak-anak jahat itu menjahili dengan menakut-nakuti, kalau ada anjing gila yang mengejar saya.

Saya sangat takut dengan anjing, Nayla tahu pasti itu. Saya bahkan bisa sampai menggigil hanya disebutkan saja bahwa ada anjing di sekitar, meskipun tak terlihat.

Nayla menghampiri, dan mengusir anak-anak jahat itu. Saya menangis dan memerlihatkan luka di lutut pada Nayla.

Nayla kecil sampai pucat dan berlari menuju ruang kesehatan, melaporkan pada guru untuk mengobati saya. Ia sangat cemas waktu itu.

Ya. Begitulah Nayla. Ia masih sama dalam hal yang ini juga. Selain keramah-tamahan yang terus ia pelihara.

"Kamu lihat itu, Nayla. Mereka sudah menempelkan jam operasional di sana. Beroperasi pukul sembilan pagi hingga lima sore."

Nayla mengarahkan pandangan pada jari telunjuk saya. Dan dia pun mendesis.

"Mana bisa mereka seenaknya gini. Kalau ada apa-apa sama orang-orang dalam gedung ini, kan pertolongan pertama ke mereka dulu. Ah!"

Dia menggerutu sambil memukul kaca yang tertempel kertas pengumuman itu.

Saya tak lagi menggubris, dan hanya bisa tersenyum. Melihatnya saja, sudah merupakan obat untuk saya.

"Ya udah, kita ke kantor aja. Biar saya obati, perlengkapan P3K ada kok di dapur."

Nayla kembali menarik tangan saya, hingga lift. Dan ia lepaskan kemudian, setelah sadar dengan tatapan Arka, Aira, Zizi, Ericka, dan Jeki, yang kebetulan juga menunggu di depan pintu lift.

Meski telah ia lepas, namun tatapan dari kelima karyawan saya itu masih bellum juga lepas dari kami.

"Ya ampun, Jeni balik lagi deh. Ah, mesti ya, ketemu Kakak ini terus, masih gatel tangan pen permak, ulala."

Saya terkejut, kenapa Jeki bisa bergaya seperti banci begini. Siapa yang akan ia permak? Apakah Nayla? Saya melirik Nayla, yang juga menatap saya. Dan Arka terlihat memukul kepala belakang Jeki pelan.

"Auuuw, Mas Arka sakit kepala Jeni."

"Makanya bacot jaga, Jeni imut!"

Arka menautkan giginya saat berkata begitu.

Dan tak lama, pintu lift terbuka.

Nayla hendak menjauh, tapi saya menariknya agar tetap berdiri di dekat saya.

Saya tak peduli tatapan mereka. Biarkan saja. Toh, Nayla memang istimewa, dia belahan jiwa saya, dan harus selalu berada di sini, di sisi saya.

Di dalam lift, beberapa saat hening saja, hingga celoteh Jeki kembali terdengar.

"Kak Nayla. Kenapa sih, nggak perawatan, masa muka dibiarin gitu sih?"

Saya tidak tahu siapa yang menyikut Jeki, mereka berdiri di belakang. "Hust…!"

"Tapi gue liat bener-bener, dia itu cantik lho dasarnya. Cuma kucel aja."

Plak!

Terdengar seseorang menepuk Jeki. Saya juga tidak tahu, ditepuk di bagian mana.

"Auuww, Mas Arka kejam banget sama Jeni pagi ini."

"Congormu itu sayang!"

"Ih, tapi kan Jeni ngomong apa adanya."

"Iya, meskipun bener, tapi jangan asal moncor!"

"Aaaahhh…"

Mendengar suara Jeki menggerutu manja, saya lihat dari sudut mata, Nayla bereaksi tak wajar, mulutnya komat kamit, dan seolah hendak meremas orang di belakang.

***

***

Ya ampun, Reza... Reza... Kok bisa kepentok sih..?

da_pinkcreators' thoughts