webnovel

Silver Dynasty | Dinasti Perak

Pangeran Akasha. Jelmaan Pasyu. Pasukan Hitam. Entitas tak tampak : Mandhakarma yang keji. Tetiba dunia jungkir balik di hadapan Silva yang sedang berjuang mengatasi hidupnya yang kacau balau. Setelah 11.000 ribu tahun dunia dihancurkan tiga wangsa yang berseteru, hanya dua bulan waktu yang tersisa memecahkan mantra kuno milik Wangsa Akasha dan Pasyu! ______ Ribuan tahun silam, dunia dipimpin empat Wangsa Akasha yang sakti dan empat Wangsa Pasyu yang perkasa. Milind, panglima muda yang tampan dan ulung dari Akasha, mengawal kejayaan wangsa bersama tujuh pemimpin lainnya. Kehidupan damai penuh pesona, limpahan kekayaan dan kehidupan penuh martabat. Kecuali, bagi Wangsa Ketiga, budak Nistalit yang terpaksa menghamba. Kehidupan tetiba berdiri di jurang kemusnahan ketika Mandhakarma, kekuatan Gelombang Hitam, menyapu wilayah Akasha dan Pasyu dengan ganas. Satu-satunya penyelamat kejayaan para wangsa adalah unsur perak yang hanya dapat ditambang oleh para Nistalit. Nami, seorang budak perempuan Nistalit, menjadi tumpuan wangsa ketika keahliannya diperlukan untuk menemukan unsur perak. Hanya ada dua pilihan : memperbaiki hubungan dengan Nistalit ataukah membiarkan dunia dikuasai Mandhakarma. Ketika sebagian Akasha dan Pasyu terpaksa menjalin kerjasama dengan Nistalit, mereka memelajari hal-hal indah yang belum pernah dikenal sebelumnya : cinta dan harapan di tengah-tengah derita dan pengorbanan. Mandhakarma dan sekutunya, tak ingin membiarkan ketiga wangsa menguasai dunia; tidak di masa dahulu, tidak juga di masa kini. Perak, sebagai senjata pamungkas, tetiba menyusut dengan cepat justru ketika manusia sangat membutuhkannya. Sekali lagi, ketiga wangsa diuji untuk mempertahankan dunia dengan cara yang pernah mereka lakukan ratusan abad yang silam. ______ Cara membaca : ●Judul : kisah ribuan tahun silam Judul ( tanpa tanda ● di depan) : kisah di masa kini

lux_aeterna2022 · Fantaisie
Pas assez d’évaluations
279 Chs

●Gelombang Hitam (15) : Pendar Rasa | Gerbang Pusaka

Airmata memang sahabat Nistalit.

Tapi tidak dengan aroma seperti ini.

Panglima Rakash banna Giriya dan Hulubalang Daga, Panglima Kavra dan Hulubalang Sin ; semuanya memiliki watak yang sama dalam memperlakukan Nistalit. Kasar, keras, tak kenal ampun. Sejak awal, Nami sudah tahu, Nistalit hanyalah serpihan debu di kuku kaki Akasha dan Pasyu. Walau tak setara untuk disebut musuh, Nistalit akan selalu berada di dunia seberang.

Sebagai budak dan buruh, Nami sadar ia tak boleh mengharap lebih kecuali secuil tempat menetap dan kesempatan untuk bertahan hidup lebih lama.

Apa yang dilakukan Milind, menceraiberaikan nalar otak. Menggugurkan rasa takut, namun menggelembungkan ketidakpastian. Yang menyakitkan, sesaat ketika bunga mekar dalam rasa, api dan racun dituang untuk mencerabut hingga akar.

Mengapa Milind menahan tangan Daga banna Giriya saat akan memukulnya?

Mengapa Milind menyelamatkannya dari Vasuki di gua air terjun?

Mengapa Milind membantunya saat menghadapi pemimpin Pasukan Hitam?

Mengapa Milind membawa Nistalit ke Girimba?

Sekali mencicipi kenikmatan, kegetiran seperti siksa yang abadi. Dulu, ia merasa tenda-tenda Gangika adalah surga Nistalit. Sekarang, setelah mencicipi bilik terendah di Akasha Girimba, ia mulai memicingkan mata terhadap kehidupan para budak.

Beberapa bulir bening menghujani ujung mata yang terbuka.

Dulu, cambuk Kuncup Bunga terasa demikian menyiksa. Membayangkan terlecut hingga mati adalah pilihan paling akhir dalam hidup. Sekarang, ada yang lebih mengenaskan dari kematian. Harapan yang tak terwujud, harapan yang bahkan tak pernah punya kesempatan untuk bertunas, lebih menyesakkan daripada ancaman kematian.

Ia dapat melihat sosok berjubah hijau yang memiliki wibawa dan keanggunan pesona dari jarak jauh, hatinya yang merana liar dalam harapan yang tak memungkinkan. Mengapa hati dapat menggelembung dalam ukuran yang tak masuk akal?

Nami kesulitan tidur di dalam biliknya.

Ia memilih melepaskan kepenatan pikiran dengan berjalan ke luar, menikmati udara malam yang dingin. Duduk bersandar di jembatan kayu bertali. Sesekali menengadah ke atas, menatap kanopi daun-daun raksasa dan lampu kunang-kunang dalam wadah-wadah kristal yang tergantung di pilar berukir.

Angin mendesah pelan, mengusik sulur-sulur tanaman.

❄️💫❄️

Gadis itu begitu sederhana.

Sangat sederhana, bahkan jauh lebih sederhana dari para pemusik dan biduan Wanawa. Lebih bersahaja dari prajurit rendah dan dayang istana. Janganlah dibandingkan dengan Putri Nisha, yang bahkan para pangeran Vasuki putra Nagen dan putra Gayi pun tak kuasa angkat bicara bila berhadapan dengannya. Takjub bagai menatap purnama kembar yang hadir setiap kali Putri Nisha berada di sekeliling. Sangat jauh dibandingkan dengan Putri Yami, sosok yang dihormati oleh para panglima Akasya dan Pasyu, bahkan kedudukannya mendekati seorang ratu.

Gadis itu begitu sederhana.

Selalu menjadi bulan-bulanan para Akasha dan Pasyu, seumur hidupnya dijalani dalam limpahan belas kasihan wangsa yang lain. Tak ada yang dimilikinya kecuali beberapa helai pakaian, alas kaki, kantong berisi beragam peralatan. Tak ada perhiasan apapun yang menempel, kecuali rambut panjang yang diikat tali jerami, atau tali dari akar kecil yang liat.

Gadis itu begitu sederhana.

Begitu sederhana.

Sangat sederhana.

Tak ada apapun yang menarik dari dirinya.

Semakin mengenyahkan kehadiran, semakin ia menggandakan bayangan.

Milind mengepalkan tangan, mencoba melawan gejolak perasaannya sendiri.

Tergambar, keinginan gadis itu untuk menyelamatkan Nistalit. Perjuangan membela kelompoknya. Kenekatannya bila telah memutuskan sesuatu. Kadang-kadang, ia kurang ajar dan tak tahu sopan santun. Pertemuan pertama mereka sudah diwarnai pengrusakan : ia berani menyobek ujung jubah hijau yang dijahit khusus oleh Ratu Varesha dan disulam oleh para putri.

Wajahnya yang seringkali murung. Bila tak suka, terlihat raut cemberut, tanpa berkata sepatah kata.

Milind memejamkan mata sejenak. Sepasang mata yang menatapnya marah, berkilat-kilat. Mata berlian yang kadang terlihat penuh harapan untuk meraih sesuatu.

❄️💫❄️

"Kau tak bisa tidur?" Gosha tertatih mendekatinya.

"Kenapa kau tak beristirahat, Gosha?" tegur Milind, memeluk sahabatnya, membantunya tetap tegak.

"Aku tak selemah pikiramu," sungut Gosha, menepis bantuan Milind.

Milind tertawa kecil.

"Kau pasti semakin sulit tidur," Gosha terdengar sangat prihatin.

Milind terdiam, hanya menyungging senyum.

Gosha menatap sekeliling Girimba yang tenang. Ketenangan yang penuh kewaspadaan, para prajurit dan hulubalang tak henti berjaga bergantian. Bahkan Milind belum menukar pakaiannya dengan baju istirahat. Para pemusik dan biduan Wanawa bersenandung lagu yang menenangkan, terasa aneh bersanding dengan suara senjata-senjata di Wanawa yang tampaknya sedang diasah berkali-kali.

Gosha berdiri di sisi Milind.

Ruang Kahayun bersisian dengan bilik peristirahatan panglima Wanawa. Tanpa sadar, Gosha menatap berbagai titik, termasuk lapis bawah bilik-bilik prajurit; berada lebih menjorok ke dasar lagi adalah bilik para Nistalit.

Satu sosok tertangkap sudut pandang Gosha.

"Kau tengah mengamatinya?" Gosha mengerutkan kening. "Kenapa?"

Milind menaikkan alis.

"Kau mencurigainya?" Gosha bertanya.

Milind mengatupkan bibir. Menarik napas tanpa suara, "tidak."

"Aku perhatikan, kau menatapnya nyaris tak berkedip," Gosha menyelidik. "Ia bukan gadis yang jahat, Milind."

"Demi Penguasa Langit," bisik Milind. "Aku tak pernah menganggapnya jahat."

"Jangan pernah terhasut Vasuki," Gosha mengingatkan.

Milind terdiam, mengalihkan pandangan dari tatapan tajam Gosha.

"Apakah aku berkata benar?" Gosha mendesak. "Kau termakan kata-kata Vasuki, yang menginginkan semua Nistalit musnah?"

Milind membuang pandangan.

"Demi Jagad Aswa!" seru Gosha. "Apa itu yang ada di pikiranmu?!"

"Gosha!" Milind menyela. "Hentikan tuduhanmu!"

Gosha menarik napas panjang, menenangkan kecurigaannya.

"Maafkan aku," Gosha menepiskan tangan, menghalau pikiran buruknya sendiri. "Semenjak aku terluka, aku mudah berprasangka buruk pada banyak hal."

Milind dan Gosha terdiam beberapa saat, sebelum saling melempar senyum.

"Kau harus istirahat," Milind menepuk hangat pundaknya.

Gosha menjulurkan leher, melihat ke bawah. Tertegun tiba-tiba. Melihat satu Nistalit di bawah duduk bersandar, tangannya menganyam jerami, membentuk tali . Sesuatu berkelebat di benak, saat ia menoleh ke arah Milind yang tampak termenung.

"Milind," Gosha berujar pelan, "apa kau pernah mendengar satu pepatah Aswa tentang kristal?"

Milind menggeleng.

"Ada banyak bentuk kristal," Gosha berucap. "Sebagian untuk obat, sebagian untuk senjata, sebagian sebagai mantra. Sebagian menjadi perhiasan. Saat hatimu bersinar, hanya dengan memandang sebuah kristal; hatimu dapat menentukan, kristal apa yang kau temui."

Milind memandang Gosha, tak mengerti.

Gosha tersenyum penuh arti.

"Kau tahu apa maksudku," Gosha berkata lembut, sembari berbisik undur diri. "Hati kita tahu mana batuan kristal, mana batuan Giriya."

Wajah Milind memerah sesaat.

"Kita punya hal lebih penting untuk dilakukan malam ini," Milind mencoba memutus dugaan Gosha.

Gosha menahan langkah, "Apakah itu?"

"Kita akan membuka gerbang pusaka."

"Kapan?"

"Malam ini."

Gosha menaikkan alis, "kau…tidak memberitahuku? Kau tidak mengajakku ikut serta?"

"Aku mengamankanmu di sini," Milind berkata sembari berucap maaf. "Kita akan mulai dari Kawah Gambiralaya . Seluruh raja yang mewakili, akan membuka. Para panglima akan mengawal."

Gosha tersadar Milind masih mengenakan jubah panglimanya hingga malam hari, pertanda ia memang tengah merancang sesuatu untuk dilakukan. Betapa mengecewakan tak dapat bergabung dalam tugas yang belum tentu terjadi sepuluh ribu tahun sekali. Mustahil memaksakan ikut, ia hanya akan menjadi beban bagi pasukan.

"Kau telah dapatkan semua mantra, termasuk mantra Vasuki?" Gosha menaikkan alis.

Milind tersenyum. Mengiyakan.

Ingatan sesaat tertuju pada sosok Nistalit yang diumpankan ke gua air terjun untuk menghadapi kemarahan pangeran putra-putra Gayi.

❄️💫❄️