webnovel

Silver Dynasty | Dinasti Perak

Pangeran Akasha. Jelmaan Pasyu. Pasukan Hitam. Entitas tak tampak : Mandhakarma yang keji. Tetiba dunia jungkir balik di hadapan Silva yang sedang berjuang mengatasi hidupnya yang kacau balau. Setelah 11.000 ribu tahun dunia dihancurkan tiga wangsa yang berseteru, hanya dua bulan waktu yang tersisa memecahkan mantra kuno milik Wangsa Akasha dan Pasyu! ______ Ribuan tahun silam, dunia dipimpin empat Wangsa Akasha yang sakti dan empat Wangsa Pasyu yang perkasa. Milind, panglima muda yang tampan dan ulung dari Akasha, mengawal kejayaan wangsa bersama tujuh pemimpin lainnya. Kehidupan damai penuh pesona, limpahan kekayaan dan kehidupan penuh martabat. Kecuali, bagi Wangsa Ketiga, budak Nistalit yang terpaksa menghamba. Kehidupan tetiba berdiri di jurang kemusnahan ketika Mandhakarma, kekuatan Gelombang Hitam, menyapu wilayah Akasha dan Pasyu dengan ganas. Satu-satunya penyelamat kejayaan para wangsa adalah unsur perak yang hanya dapat ditambang oleh para Nistalit. Nami, seorang budak perempuan Nistalit, menjadi tumpuan wangsa ketika keahliannya diperlukan untuk menemukan unsur perak. Hanya ada dua pilihan : memperbaiki hubungan dengan Nistalit ataukah membiarkan dunia dikuasai Mandhakarma. Ketika sebagian Akasha dan Pasyu terpaksa menjalin kerjasama dengan Nistalit, mereka memelajari hal-hal indah yang belum pernah dikenal sebelumnya : cinta dan harapan di tengah-tengah derita dan pengorbanan. Mandhakarma dan sekutunya, tak ingin membiarkan ketiga wangsa menguasai dunia; tidak di masa dahulu, tidak juga di masa kini. Perak, sebagai senjata pamungkas, tetiba menyusut dengan cepat justru ketika manusia sangat membutuhkannya. Sekali lagi, ketiga wangsa diuji untuk mempertahankan dunia dengan cara yang pernah mereka lakukan ratusan abad yang silam. ______ Cara membaca : ●Judul : kisah ribuan tahun silam Judul ( tanpa tanda ● di depan) : kisah di masa kini

lux_aeterna2022 · Fantasy
Not enough ratings
279 Chs

●Gelombang Hitam (14) : Binar Mata

Gosha, mengungkapkan keinginannya pada Milind untuk bertemu para Nistalit.

"Aku ingin bicara berdua saja dengan Nami. Bolehkah, Milind?" Gosha bertanya.

Milind menarik napas dalam diam. Pendar berlian di mata Nami membuatnya curiga. Mengapa gadis itu terlihat berbeda ketika berhadapan dengan Gosha? Sepanjang di Akasha, hanya wajah amarah dan kejengkelan yang tampak. Kehadiran Gosha mengubah dirinya menjadi lebih lunak dan cair. Tak ada yang dapat dilakukan selain menyingkir dan membiarkan mereka berdua berbicara rahasia di balairung Girimba.

"Panglima Gosha, apakah Paduka baik-baik saja?" Nami berujar cemas. Masih teringat butiran kristal Aswa yang turut membantu sembuhnya luka dirinya dan Dupa saat tertahan di penjara Wanawa. Entah mengapa, Nami merasa lebih lekas bersahabat dengan Pasyu dibanding Akasha.

"Aku baik-baik saja, Nami, terima kasih, " Gosha tersenyum. "Paksi memiliki pengobatan yang hebat."

Walau Gosha berkata ia tak mengapa, setiap yang mendengar yakin, tidak demikian sebaliknya. Ia masih duduk di atas tandu, dipanggul prajurit Aswa. Perjalanan Aswa menuju Akasha Girimba pastilah sangat jauh, jika bukan dibantu oleh mantra Akasha yang mempercepat perjalanan. Saat Gosha memaksa hadir di Wanawa, tentu ada hal yang sangat penting yang harus segera dituntaskan.

"Milind bercerita tentang betapa hebatnya dirimu dan Dupa, juga teman-teman Nistalitmu dalam menghadapi pasukan Mandhakarma," Gosha memulai percakapan.

Wajah Nami memerah. Ia ingin menolak anggapan itu, tapi bingung bagaimana membuka suara.

"Apa yang kau lihat saat menghadapi Gelombang Hitam, Nami?"

Alis Nami naik, terlihat kebingungan dan dipenuhi keraguan. Apa yang dilihatnya?

"Jangan takut," Gosha menenangkan. "Aku tak berniat melukaimu dengan cara apapun. Aku melihatmu sebagai sosok Nistalit yang baik."

Nami mengingat-ingat, mengangguk pelan.

"Hamba…ya, melihat pasukan. Prajurit. Seperti pasukan Akasha dan Pasyu."

"Mereka bisa berubah wujud seperti Pasyu?" Gosha memperjelas.

Nami berpikir lebih keras, lalu menggeleng, "…sepertinya tidak demikian."

"Mereka seperti Akasha?"

Nami menarik napas panjang. Apakah seperti Akasha?

"Tuan pasti tak akan mempercayai hamba. Walau bukan hanya hamba yang melihatnya," gumam Nami.

"Tentang mayat pimpinan Pasukan Hitam?"

"Ya, Tuan."

"Menurutmu, wajahnya benar-benar mirip Hulubalang Sin?"

Nami tampak tak yakin. Cemas membayang.

"Katakan saja," Gosha berkata lembut, berusaha mengokohkan.

Untuk kesekian kali, Nami menarik napas panjang hingga dadanya justru terasa sesak.

"Ya, Panglima. Mirip Hulubalang Sin. Tapi bukankah banyak wajah yang mirip?" Nami merasa tak enak hati.

"Bagaimana mayat-mayat yang lain?" Gosha bertanya lagi.

Nami terdiam, menunduk. Merenung.

"Kau pasti bisa menggambarkannya," desak Gosha.

Nami mengangkat wajahnya sesaat, menatap sosok di hadapannya dalam kebisuan.

"Nami?"

"Tuan berjanji tak akan memberitahukan siapapun?"

Gosha termenung, menolak kemudian, "Aku tak bisa berjanji demikian, kalau itu membahayakan kita semua. Kau tahu, Panglima Milind adalah pemimpin terbaik Akasha. Bahkan mungkin seluruh wangsa. Ia harus tahu, jika hal itu demikian penting."

"Bila hamba salah," ucap Nami pelan, "habislah hamba."

Gosha berusaha menyakinkan, "percayalah padaku. Kau tak tahu, betapa lembutnya hati Milind bahkan ketika berhadapan dengan Vasuki."

Tapi tidak dengan Nistalit, pikir Nami muram.

"Apakah ia hanya baik pada mereka yang punya kekuatan dan kekuasaan?" suara Nami nyaris tak terdengar.

"Kalau ia keras pada Nistalit, mungkin karena kalian kurang ajar padanya," Gosha menjelaskan sembari tertawa terbahak.

Nami tersenyum masam.

"Aku akan melindungi kalian dari kemarahannya," janji Gosha. "Asal kau jujur padaku."

Nami membuang napas.

"Mayat-mayat yang bergelimpangan," Nami berkata sangat pelan, "…kami sempat membuka beberapa topeng hitamnya."

Gosha menatap Nami tajam.

"Wajah mereka…wajah mereka sangat mirip prajurit Akasha," bisik Nami lirih.

"Akasha," Gosha mengulang. "Kamu mengenali, Akasha mana? Wanawa, Giriya, Gangika, Jaladhi?"

"Gangika," Nami menjawab cepat. "Akasha Gangika. Hamba mengenali mereka karena kami sering bersama-sama membangun bendungan."

❄️💫❄️

Irama musik bagai air tertuang dari mulut teko menuju cawan. Ibarat angin senja, mencium ilalang. Kemerduan yang menenangkan hati dan pikiran, menggoda khayalan untuk berkelana membawa berjuta impian.

Dayang-dayang berbaju dan selendang hijau berdiri memagari jembatan dedahanan yang dilapisi mantra. Para prajurit jaga mengetukkan bilah tombak, memberikan isyarat. Langkah halus lembut bagai angin berbisik hadir bersama pertemuan para panglima.

Milind memantaskan diri, menyambut kehadiran dua putri istimewa Akasha Wanawa : Yami dan Nisha.

"Kudengar para panglima hadir, Milind," Yami berkata. "Apakah bisa kami bergabung?"

"Sebuah kehormatan bagi kami," Milind membungkuk.

Haga memberikan salam, berikut seluruh prajurit. Mata Yami dan Nisha mengawasi pintu balairung Girimba yang tertutup. Milind merasa serba salah menghadapi situasi seperti itu hingga terpaksa memerintahkan prajurit untuk membukanya. Mendapati Gosha dan Nami tengah bercakap dengan wajah tegang, penuh selaput rahasia.

"Panglima Gosha," Yami dan Nisha memberikan hormat. "Hormat kami pula bagi Panglima Haga dan tentu, panglima kebanggaan Akasha seluruhnya, Milind banna Wanawa."

Nami mematung di antara kemilau zamrud.

Tanpa sadar melangkah ke belakang.

Kedua putri di hadapannya benar-benar memukau. Kulit seperti gading, rambut bagaikan malam. Mata berbinar ibarat bintang paling terang, senyum merekah dengan lengkung sabit menawan.Wajah bulat telur dengan alis hitam rapi sebagai bingkai. O, tidak. Rambut merekalah yang menjadi bingkai wajah paling sempurna. Nami menggigit bibir. Tadi, ia sempat merasa menjadi sosok yang dibutuhkan oleh Gosha ataupun panglima dan hulubalang Wanawa.

Sekarang.

Lihatlah Gosha yang begitu mencurahkan perhatian pada Putri Yami. Panglima Milind? Wajahnya bagai mematung menatap paras ayu Putri Nisha yang merebut perhatian seluruh hadirin di balairung.

Nami menelan ludah.

Tangannya bersedekap memeluk tubuh. Dapat dirasakannya, betapa kasar pakaian yang dikenakan, walau pakaian yang kini melekat adalah pemberian Akasha Wanawa. Ah, barangkali bukan kasarnya pakaian. Tapi kasar kulit tubuhnya yang selalu terbakar matahari. Ia bukan siapa-siapa di sini. Sebetulnya, di manapun berada, ia memang bukan siapa-siapa. Kalaupun melangkah ke luar diam-diam, tak akan ada yang memperhatikan.

❄️💫❄️

Kalau ia keras pada Nistalit, mungkin karena kalian kurang ajar padanya, begitu kata Panglima Gosha. Sekali lagi, Nami harus berhadapan langsung dengan Milind yang menegurnya dengan tajam. Di ruang balairung, ketika pertemuan telah sepi dan tamu menempati bilik masing-masing, Janur menghantarkan Nami yang mengkerut ketakutan.

"Kau pergi diam-diam meninggalkan balairung, padahal di sana sedang hadir Putri Yami dan Putri Nisha?!" teguran Milind tanpa basa basi.

Nami menggigit bibir.

"Kedua putri Wanawa ingin bertemu denganmu. Mereka ingin membahas banyak hal dan kau malah melarikan diri, entah ke mana! Kau mempermalukan Hulubalang Janur dan Hulubalang Sin yang telah melatih Nistalit sekian lama!."

Nami terdiam.

Ucapan Gosha terngiang di telinga : dia adalah panglima yang lembut hati. Jadi pasti kau yang kurang ajar padanya. Isi kepala Nami seperti jungkir balik merangkai kenyataan dan tumbukan perasaan.

"Kau bisa hormat pada Panglima Gosha, tapi tak bisa memberikan sedikit pun penghargaan padaku," mata Milind berkilat marah. "Apakah Nistalit memang tak pernah mengerti sopan santun dan tak pernah tahu terima kasih?!"

Leher Nami tegak. Tenggorokannya serak. Matanya mengabur. Kali ini, kemarahan seperti mencuat tiba-tiba. Lelah rasanya dalam tuduhan, bentakan, tekanan. Ada kalanya, sedikit ledakan dapat menyalurkan kebencian. Ia tegak menatap Milind yang tengah menatapnya seperti belum pernah melihat Nistalit sebelumnya.

"Jangan tanyakan pada Nistalit perihal sopan santun," bibir Nami bergetar, "…tanyakan pada kami cara bertahan hidup dan menghadapi kematian."

"Nistalit! Jangan kurang ajar pada panglima kami!" Janur mendesis.

Nami dan Milind berhadapan dalam kebisuan. Mengekang amarah masing-masing. Menahan untuk tak lagi melontarkan kata-kata. Nami berbalik kemudian, mengusap matanya cepat. Meninggalkan Milind dan Janur tanpa menoleh ke belakang.

❄️💫❄️