webnovel

Silver Dynasty | Dinasti Perak

Pangeran Akasha. Jelmaan Pasyu. Pasukan Hitam. Entitas tak tampak : Mandhakarma yang keji. Tetiba dunia jungkir balik di hadapan Silva yang sedang berjuang mengatasi hidupnya yang kacau balau. Setelah 11.000 ribu tahun dunia dihancurkan tiga wangsa yang berseteru, hanya dua bulan waktu yang tersisa memecahkan mantra kuno milik Wangsa Akasha dan Pasyu! ______ Ribuan tahun silam, dunia dipimpin empat Wangsa Akasha yang sakti dan empat Wangsa Pasyu yang perkasa. Milind, panglima muda yang tampan dan ulung dari Akasha, mengawal kejayaan wangsa bersama tujuh pemimpin lainnya. Kehidupan damai penuh pesona, limpahan kekayaan dan kehidupan penuh martabat. Kecuali, bagi Wangsa Ketiga, budak Nistalit yang terpaksa menghamba. Kehidupan tetiba berdiri di jurang kemusnahan ketika Mandhakarma, kekuatan Gelombang Hitam, menyapu wilayah Akasha dan Pasyu dengan ganas. Satu-satunya penyelamat kejayaan para wangsa adalah unsur perak yang hanya dapat ditambang oleh para Nistalit. Nami, seorang budak perempuan Nistalit, menjadi tumpuan wangsa ketika keahliannya diperlukan untuk menemukan unsur perak. Hanya ada dua pilihan : memperbaiki hubungan dengan Nistalit ataukah membiarkan dunia dikuasai Mandhakarma. Ketika sebagian Akasha dan Pasyu terpaksa menjalin kerjasama dengan Nistalit, mereka memelajari hal-hal indah yang belum pernah dikenal sebelumnya : cinta dan harapan di tengah-tengah derita dan pengorbanan. Mandhakarma dan sekutunya, tak ingin membiarkan ketiga wangsa menguasai dunia; tidak di masa dahulu, tidak juga di masa kini. Perak, sebagai senjata pamungkas, tetiba menyusut dengan cepat justru ketika manusia sangat membutuhkannya. Sekali lagi, ketiga wangsa diuji untuk mempertahankan dunia dengan cara yang pernah mereka lakukan ratusan abad yang silam. ______ Cara membaca : ●Judul : kisah ribuan tahun silam Judul ( tanpa tanda ● di depan) : kisah di masa kini

lux_aeterna2022 · Fantasy
Not enough ratings
279 Chs

Prajurit Perak (1) : Cadar Perak

"Ingat," pesan Salaka. "Hanya satu cermin tiap rumah."

"Baik, Pangeran!"

"Bila bertemu Pasukan Hitam, lebih baik kalian menghindar."

"Bagaimana bila terlanjur berhadap-hadapan?"

Salaka menahan napas, "semoga nasib kalian beruntung."

Wajah-wajah tegang.

"Dirya! Balwan!" Salaka menyebut dua nama. "Malam ini, kuserahkan urusan kepada kalian!"

Dua sosok tegap mengangguk. Wajah keduanya tampak sama dalam balutan cadar keperakan yang melindungi wajah bagian bawah, menyisakan sepasang mata setajam elang.

Berlapis sosok cemerlang menerobos ruang bawah tanah Dahayu. Berbaris rapi sebelum berpencar sesuai komando pemimpin untuk bergerak cepat. Berlari, melompat lincah, naik ke atap-atap tinggi rumah. Berpakaian tertutup warna gelap, cadar muka keperakan, rambut tergelung ke atas yang dikencangkan ikat rambut logam kuning cemerlang berukir.

Melewati cerobong atap, pintu rumah, jendela depan; mereka menerobos masuk. Melemparkan serbuk perak ke cermin.

Beberapa pintu rumah tersegel kuat, tak mudah menembusnya. Melewati jendela pun, mustahil. Seolah rumah-rumah itu terselubung mantra berlapis yang butuh waktu lama untuk melewatinya, apalagi sampai membukanya.

Bagaimana mungkin?

"Dirya! Bagaimana rumah-rumah ini?"

"Lepaskan saja, Balwa!"

"Pesan Pangeran untuk menebar titik serbuk perak di tiap rumah."

"Tapi kita harus bergerak cepat. Kejadian ini sudah berulang terjadi, kita sendiri tak tahu, sekat-sekat itu terbuat dari apa!"

"Apakah kita akan mengorbankan penghuninya begitu saja??"

"Awas, Balwa!" Dirya belum sempat menjawab.

Bayangan hitam muncul dari beberapa rumah, prajurit Salaka berusaha menjauh, memilih wilayah yang diperkirakan lebih aman. Beberapa memilih menyingkir hati-hati, namun tetap saja suatu saat berpapasan tanpa dapat diduga. Pertarungan tanpa suara tak terhindar. Lengan-lengan terlepas saling memukul. Tendangan melayang. Kedua belah pihak berusaha menjatuhkan dengan cepat. Tak ada senjata terlepas, hanya kekuatan dan kegesitan berbicara.

Pasukan Hitam, terlihat seperti prajurit tingkat terendah yang mudah ditaklukan. Mudah ditumbangkan hingga mereka tersungkur jatuh di atap rumah atau terjerembab ke tanah. Kekalahan berakhir dengan asap pekat yang menguap ke luar dari tubuh, menyerubai jejak bara api yang habis terbakar.

"Adakah pasukan kita yang terluka?" bisik Dirya.

"Sejauh ini, tidak!"

"Kita bergerak makin jauh dari Dahayu. Berhati-hatilah!"

"Ya," Balwa menyahut.

Lingkaran dalam Dahayu telah diselesaikan.

Dirya dan Balwa berdiri bersisian. Saling menatap sesaat, sebelum memerintahkan seluruh Cadar Perak menembus lingkaran kedua Dahayu.

Dahayu, telah menjadi markas bagi Salaka dan Nimar. Lingkaran dalam Dahayu meliputi wilayah Javadiva dan sekitarnya, sejauh yang dapat dilalui oleh Salaka. Lingkaran kedua Dahayu adalah wilayah yang dapat dilalui oleh Candina. Lingkaran luar adalah wilayah yang belum pernah diujicoba untuk dilalui. Apakah keadaannya sama dengan lingkaran dalam? Serupa lingkaran kedua? Merupakan gabungan keduanya atau bahkan berbeda sama sekali?

Malam ini, setelah melewati perjuangan berat di malam-malam sebelumnya, Cadar Perak akan masuk ke lingkaran yang sama sekali belum pernah dibayangkan.

🔅🔆🔅

Menjauh dari Dahayu dan Javadiva, udara terasa lebih kental dan pekat.

Dirya harus mengendurkan ikatan penutup mukanya agar dapat bernapas.

"Kau merasakan sesak?" Dirya bertanya.

"Ya. Bagaimana denganmu?" Balwa balik bertanya.

"Sama."

"Hati-hati," Balwa mengawasi sekeliling. "Kita harus bergerak lebih cepat lagi!"

"Tetap waspada!" Dirya memerintahkan pasukannya untuk bergerak membersihkan lingkaran kedua Dahayu.

Pasukan Hitam tingkat rendah ditemui di beberapa titik, mudah ditaklukan. Sama seperti malam-malam sebelumnya, lingkaran kedua Dahayu dalam keadaan tenang dan damai. Ataukah itu hanya keadaan di permukaan? Jauh di dalam, musuh telah berurat berakar dan enggan menampakkan diri hingga waktu yang tepat? Di tepian lingkaran kedua Dahayu, mereka memacu langkah.

Terhenti.

"Balwa, awas!"

Satu sosok tinggi dan tegap, dalam jubah hitam menjuntai dan topeng hitam muncul. Segaris warna merah tua di area mata, menjadi penghias topengnya. Dari balik pepohonan lebat, gerakannya tak terlihat hingga tetiba telah hadir di hadapan.

"Kalian teruskan perintah Pangeran, terus berpencar dan berjuang, " Dirya berujar. "Aku akan hadapi Dubiksa ini!"

Sosok itu tertawa.

Mirip rintihan tercekik yang panjang dan nyaring.

"Sebutkan namamu sebelum kau tinggal asap mengepul!" bentak Dirya.

Mata di depannya berkilat kejam.

"Nama," ujarnya jijik, meludah. "Kalian sudah terpengaruh oleh makhluk rendahan yang terlalu ribut berkata-kata dan lupa berbuat. Sejak kapan nama menjadi sesuatu yang penting?"

"Kalau begitu, biarkan aku memanggilmu Dubiksa!" Dirya menggeram.

Dirya melayangkan pukulan tangan kanan, musuh melompat berkelit ke kiri dengan ringan. Tendangan yang berikut hanya menyentuh udara kosong. Pukulan selanjutnya menimbulkan kemarahan, apalagi setelah bertubi luput sasaran. Mereka saling mengejar, menyerang dan bertahan. Dalam kepekatan malam yang membutakan, dua sosok bergerak cepat menimbulkan lintasan warna terang.

Sosok hitam itu tertawa.

"Hanya seperti ini kekuatan prajurit Salaka?" ia mengejek. "Bahkan pasukan pangeran tak mampu menghadapi prajurit rendahan para Dubiksa."

"Kami belum mengerahkan kemampuan terbaik kami," geram Dirya.

"Malam akan segera berlalu, Salaka!"

"Aku adalah prajurit Pangeran Salaka!" Dirya berteriak murka. "Beraninya kau menghina pangeran kami?!"

"Bagiku sama saja! Salaka-mu hanya makhluk lemah tak berguna! Kau Salaka atau bukan, sama saja!"

"Keparat Dubiksa!"

Dirya mengejar sosok hitam, menghajarnya, memukulnya sekuat tenaga. Menendang, menggelincirkan pijakan kaki, menyerang tengkuk. Sosok itu begitu liat dan tak mudah ditaklukan. Dirya melihat sekeliling. Balwa dan seluruh Cadar Perak tak tampak. Semua telah menjauhi arena pertempuran dan bekerja sesuai arahan. Syukurlah, pikir Dirya.

"Kau takut? Mencari pertolongan?" terdengar tawa nyaring yang mengganggu.

"Aku tak punya waktu meladeni terus-menerus," Dirya menggeram. "Urusanku masih banyak!"

Dirya meraba lengannya, mengambil senjata rahasia yang disembunyikan : menaburkan tepat di muka hingga sosok itu terjungkal. Memuntahkan isi perut dan menggelepar dalam rasa sakit.

Dirya mencengkram tengkuk musuh.

"Sebutkan namamu!"

Ia tertawa keras dengan dada terguncang hingga semakin memuncratkan muntahan.

"Kau tahu namaku…mengapa tak kau sebutkan sendiri??" ejeknya.

Dirya mencekiknya hingga musuh terengah.

"Kau tak akan mati dengan tenang kalau menolak menyebutkan namamu!" Dirya mengancam, memperkeras serangan.

"Kau pikir… kau menang?!" erang sosok hitam, dalam sakit dan keinginan menolak kematian.

"Sesombong ini Dubiksa!" bentak Dirya. "Namamu! Sebutkan namamu!"

"Kau tahu, Prajurit Salaka?" sosok hitam itu membelalakkan mata, menuju kematian yang menyakitkan namun menolak menanggalkan jubah keangkuhan, "…tugasku … membuat hewan-hewan bersuara lebih lantang, lebih awal!"

🔅🔆🔅

Plak.

"Salaka!" Candina berteriak.

Dirya bersimpuh, memohon pengampunan. Walau pipinya memerah, ia mengaku bersalah.

"Maafkan hamba, Pangeran Salaka!" ia berucap penuh sesal.

Balwa dan pasukan di belakangnya mengikuti.

"Kau menyia-nyiakan salah satu senjata terbaik," desis Salaka. "Sudah kuperingatkan : hindari Pasukan Hitam. Gunakan serbuk perak sesuai arahan!"

"Hamba menahannya agar Balwa dapat membawa pasukan lebih jauh ke lingkaran kedua Dahayu," Dirya berusaha menjelaskan.

Salaka menahan napas.

Dirya menceritakan pertemuannya yang singkat dan pertarungan yang kemungkinan dapat dihindari. Tentang sosok hitam yang menolak menyebutkan nama dan pesan terakhir yang tampaknya memiliki teka teki untuk dipecahkan.

"Dia menolak menyebutkan nama, Pangeran," Dirya melaporkan.

"Kita sudah tahu siapa dia," gumam Salaka.

Dahayu malam itu sama seperti ruang kelas gambar yang dipenuhi berbagai peralatan siswa yang sangat tertarik membuat sketsa. Hanya mereka yang memiliki mata tajam yang dapat mengawasi, Dahayu bukan sebuah kelas biasa.

"Candina?" panggil Salaka.

"Ya?"

"Kau tahu apa makna kokok ayam dan anjing menggonggong lebih awal?"

Candina menelan ludah bagai gumpalan duri seukuran bola ping-pong, ia mengangguk perlahan kemudian.

"Bergabunglah dengan Sonna dan bergeraklah segera!"

🔅🔆🔅