Setiap hari, Nadira akan pulang lebih cepat dari biasanya. Terhitung sejak dia mulai menjadi guru les untuk murid kembarnya itu. Memang hanya beberapa mata pelajaran yang dikuasai oleh Nadira, tapi itu sudah cukup baginya dan Ali-Alex.
Sebenarnya kedua remaja itu termasuk murid yang pandai. Mereka cepat menguasai materi yang ada walau hanya dengan membaca sendiri. Tapi karena sang ayah yang ngotot agar kedua anaknya mendapatkan les tambahan, Nadira tidak bisa menolak.
Lagi pula, tidak ada ruginya Nadira menerima pekerjaan sampingan ini. Malah ada banyak keuntungan yang dia dapatkan dengan menjadi guru les si kembar.
Misalnya, Nadira bisa bersantai dan beristirahat ketika mengajar les. Ya, memang begitu karena Nadira bebas melakukan apa saja di rumah ini. Dengan catatan tidak ada Daniel Sebastian tentunya. Bukan bermaksud kurang ajar, hanya saja Nadira merasa segan untuk berleha-leha. Toh si kembar juga tidak mempermasalahkannya.
Selain beristirahat dengan bebas, kadang Nadira juga bisa bermain dengan si kembar. Seperti sekarang ini, mereka sedang berbelanja bulanan dan Nadira dipercaya oleh tuan rumah untuk menjaga si kembar berbelanja. Tentu saja dilakukan setelah waktu les tambahan selesai.
"Aku suka berbelanja kali ini. Kita kaya keluarga." ucap Alex bersemangat.
"Real family." tambah Ali.
"Maksudnya real family?" Nadira merasa bingung dengan ucapan Ali.
"Kami jarang bertemu Mom sama Dad. Bahkan untuk hal sepele seperti berbelanja seperti ini, kami tidak pernah melakukannya." jelas Alex dengan ciri khasnya.
"Apa asyiknya berbelanja seperti ini?"
"Bagi kami ini asyik. Kami tahu rasanya melakukan apa yang orang lain lakukan juga. Kami juga jadi lebih dekat satu sama lain."
Itu seperti tamparan bagi Nadira. Dari dulu Nadira merasa berbelanja adalah hal yang menyebalkan karena dia dan sang ibu hanya di pasar tradisional yang kumuh. Berbeda dengan sekarang. Tapi, Nadira bisa paham apa yang dimaksudkan oleh Ali dan Alex.
Benar, bagi kebanyakan orang, kegiatan berbelanja itu hal yang biasa. Bahkan bukan hal yang istimewa untuk dilakukan bersama anggota keluarga. Berbeda halnya dengan si kembar yang jarang memiliki waktu bersama kedua orangtuanya.
"Don't worry. Sekarang ada Ibu yang akan menemani kalian berbelanja." Nadira berusaha membesarkan hati kedua muridnya itu.
"I wish you will be our Mom."Alex berkata dengan tulus dan serius.
Kalau boleh jujur, Nadira jelas tidak akan menolak dengan permohonan Alex. Siapa yang tidak ingin memiliki dua anak remaja yang tampan dan pintar seperti mereka? Well, dengan bonus suami yang tampan juga tentunya.
Sayangnya Nadira harus realistis. Fakta bahwa dirinya akan menjadi ibu bagi si kembar adalah kehaluan yang hakiki. Dilihat dari sudut manapun tidak akan pernah bisa terwujud. Tapi, Nadira juga tidak tega kalau harus mengatakan hal itu kepada mereka.
"Ibu yakin, kalian akan memiliki keluarga yang harmonis suatu saat nanti. Kalau tidak sekarang, mungkin nanti ketika kalian memiliki keluarga sendiri."
Tidak ada yang lebih baik selain kalimat itu. Paling tidak itu yang dipikirkan Nadira, tidak tahu bagaimana dengan pemikiran Ali dan Alex.
Ketika selesai berbelanja, hari sudah gelap. Sebentar lagi waktunya makan malam bagi si kembar. Memang mereka tidak megeluh lapar, tapi Nadira tidak tega kalau tidak mengajak mereka makan. Dan lagi, Nadira tahu kalau mereka terakhir kali makan adalah tadi siang.
"Dad akan menjemput kita sebentar lagi." perkataan Alex membuyarkan lamunan Nadira. "Mungkin kita bisa sekalian mampir makan malam. Ibu mau makan dimana?"
"Kalian ingin makan dimana?" Nadira bertanya balik.
"Kenapa perempuan itu ribet? Tinggal jawab saja pertanyaannya." keluh Ali dengan wajah yang menyebalkannya itu, tapi tetap terlihat tampan.
"Does it matter if we eat Japanese food?" usul Alex, terlihat jelas kalau dia mulai sebal dengan tingkah kakaknya.
"Good idea." jawab Nadira, berusaha agar tidak terlihat terlalu bersemangat.
Masakan Jepang adalah favorit Nadira. Kalau sekarang ada yang ingin menraktirnya makanan itu, Nadira dengan tegas tidak akan menolak. Malah, ini terasa seperti mendapatkan durian runtuh kan?
***
"Kalian udah kayak keluarga bahagia lho." perkataan Ami membuat Nadira mendongakkan kepala.
Kali ini, dirinya dan Ami sedang menikmati mie ayam langganan mereka. Tenang, mereka sudah selesai mengajar, jadi tidak akan mengganggu jam kerja mereka.
"Maksudnya?"
"Belanja bareng, memasak untuk mereka, juga menghabiskan weekend bersama. Apalagi sebutannya kalau bukan kamu punya hubungan spesial dengan mereka?" tanya Ami bersemangat menyampaikan hipotesanya.
Untungnya mulut Nadira sudah kosong dari mie ayam, kalau tidak, tentu mie akan berceceran karena Nadira sekarang tertawa.
"Ngehalu, Buk?" ejek Nadira setelah bisa menguasai dirinya.
Sedikit cerita, Nadira menceritakan kepada sahabatnya tentang apa yang dirinya dan keluarga Sebastian lakukan minggu kemarin. Secara khusus Ali dan Alex mengajak dirinya berkemah. Siapa yang bisa menolak acara yang berkaitan alam? Nadira adalah pecinta alam ketika sekolah dan kuliah dulu.
Nadira dengan polosnya menceritakan kegiatannya selama menjadi guru les si kembar. Selain mengajar, Nadira juga membantu berbelanja dan memasak untuk makan malam. Itu hal yang biasa Nadira lakukan, dan ketiga pria Sebastian itu tidak ada yang merasa keberatan sama sekali.
"Sekarang ngehalu dulu, siapa tahu besok-besok jadi ibunya si kembar kan." balasan Ami jelas membuat Nadira tidak bisa berkutik.
"Nggak usah terlalu berharap. Aku cukup sadar diri lho nggak memenuhi kriteria menjadi istri untuk bapak mereka." ketika mengatakan hal itu, hati Nadira serasa dicubit.
Well, fakta bahwa dirinya tidak selevel dengan seorang Daniel Sebastian adalah benar. Nadira tidak akan mengelak ataupun merasa sedih akan hal itu. Yang membuatnya merasa sedih adalah pemikiran bahwa dirinya akan kehilangan si kembar. Tidak bisa dipungkiri, sekarang Nadira sudah sangat menyayangi kedua remaja itu.
Dua remaja asing yang membuat dirinya nyaman dan menjadi diri sendiri. Bersama Alistair dan Alexander memang membuatnya merasa bahagia. Ditambah lagi keduanya tampak membaur dengan kehadiran Nadira.
Kalau ditanya apakah Daniel ikut bergabung ketika dirinya ada di rumah, jawabannya adalah iya. Tapi jelas ada pembatas antara dirinya dan juga Daniel ketika bergabung. Seolah ada tembok tak kasat mata ya membuat mereka tidak bisa lepas. Itu wajar, karena pemikiran orang dewasa itu tidak sesederhana pemikiran anak-anak kan.
"Yakin nih? Gimana kalau si Bapak nggak masalah, yang penting anak mereka diurus?"
Asli, Nadira tidak tahu bagaimana jalan pemikiran temannya yang satu ini.
"Nanti juga ketahuan gimana." jawab Nadira santai.
Benar, untuk saat ini Nadira tidak bisa berkata bahwa dia tidak memikirkan tentang ayah dan anak itu. Tapi terlalu memikirkannya juga tidak baik.
Setelah pembicaraannya dengan Ami waktu itu, pikiran Nadira tidak bisa fokus. Terlebih ketika dia berada di rumah keluarga Sebastian. Tempat yang sangat dekat dengan si Kembar, juga dengan Daniel Sebastian.
Berulang kali dia melakukan kesalahan. Termasuk ketika sedang menyiapkan makan malam. Bukannya membalik gorengannya, Nadira malah melamun saja. Kalau saja Daniel tidak mencium bau gosong, tentu saja tindakan Nadira ini bisa membakar rumah.
"Anda terlihat sangat lelah." ucap Daniel ketika sudah bisa menguasai dapur.
"Maaf, saya melamun. Maaf sudah mengacaukan makan malamnya." Nadira tampak merasa bersalah.
"Semuanya baik-baik saja?" pertanyaan Ali dan Alex terdengar sangat khawatir.
Mereka berdua sedang menyelesaikan pekerjaan rumahnya di kamar masing-masing. Mungkin karena mencium bau gosong dari masakan Nadira, jadi mereka berdua turun untuk melihat apa yang terjadi.
"It's okay, Kids. Miss Nadira tampaknya kelelahan. Gimana kalau kita pesan makan malam dari luar saja?" nada suara Daniel terdengar renyah. Tentu saja dia tidak ingin kedua anaknya menjadi khawatir.
Tanpa banyak kata, Alex segera menarik tangan Nadira dan mendudukkannya di sofa. Tidak ada keraguan ataupun rasa risih, Alex langsung memijit pundak Nadira. Sang kembaran, Ali, juga langsung memijit tangannya tanpa ragu.
"Maaf, kami merepotkan Miss Nadira terus." suara Alex terdengar sedih.
Jelas Nadira merasa ini bukan hal yang tepat untuk mereka lakukan, karena Nadira bukanlah siapa-siapa mereka.
"Hei, kalian jangan begini. Ibu nggak papa kok." Nadira berusaha keras untuk menghidari mereka. Apalagi Nadira sepertinya mendapat tatapan dari sang empunya rumah.