Hari Senin itu hari yang serba terburu-buru. Rasanya semua orang merasa tidak sabaran. Mulai dari jalan yang macet dan jam yang terlalu mepet untuk berangkat kerja. Tenang, semua orang mengalaminya kok, termasuk Nadira.
Sepagi apapun dia berangkat bekerja di hari Senin, dia pasti akan terjebak macet di jalan. Membuat Nadiem uring-uringan sendiri di jalan karena waktu yang sudah semakin mepet dengan jam kerjanya.
"Kamu emangnya siap kita berangkat subuh?" balas Nadira, menanggapi dumelan kakaknya.
Masih ada waktu sekitar 15 menit lagi sebelum bel berbunyi, dan Nadira masih harus berjibaku dengan macetnya lalu lintas di jalanan. Apa dia harus menabung lebih banyak agar bisa membeli sebuah helikopter?
Tepat waktu ketika Nadira melompat turun dari motor Nadiem dan langsung berlari meninggalkan sang kakak. Tanpa salam dan perpisahan.
"Kapan adikku jadi lebih dewasa?" gumam Nadiem, memperhatikan adik kesayangannya berlari serampangan agar tidak terlambat.
Usaha Nadira membuahkan hasil. Tepat pada menit terakhir, dia berhasil masuk ke ruang guru dan melakukan absensi sidik jari.
Di ruang guru, pagi ini terlihat ramai. Yah, wajar, hari Senin memang hari yang sibuk.
Ketika Nadira masuk ke ruang guru, semua mata menatap kearahnya. Yang lebih parahnya lagi, ruangan yang tadinya ramai sekarang menjadi hening ketika dia masuk. Ada apa ini?
Baru saja Nadira ingin bertanya kepada Ami, bel tanda masuk berbunyi. Otomatis semua guru dan staff yang ada di sekolah itu langsung berhamburan keluar ruangan untuk mengikuti upacara bendera.
"Ada apa?" tanya Nadira, sengaja menahan Ami agar mereka berada di barisan paling belakang.
"HP kamu rusak? Mati? Atau memang sengaja mengabaikannya?" pertanyaan Ami bernada sangat sinis.
"Aku belum menyalakannya." jawab Nadira enteng.
Kebiasaan yang dianggap kebanyakan orang buruk itu, nyatanya tetap Nadira lakukan. Mematikan ponsel sampai dia masuk tempat kerja adalah hal yang dianggap buruk itu. Bagi Nadira, itu adalah sebuah keharusan karena tidak mau diganggu ketika sedang libur.
Sembari berbaris, Nadira mulai menyalakan ponselnya. Wajahnya seketika berubah ketika dia melihat notifikasi grup para guru yang ramai sejak semalam.
"Intinya?" Nadira mencari jalan pintas untuk mengetahui apa yang terjadi.
"Nanti aja, abis upacara." jawab Ami.
Bergosip ketika sedang upacara memang tidak baik. Bukan karena apa, hanya saja bergosip ketika sedang upacara sama saja membongkar rahasia. Semua orang juga tahu akan hal itu.
Upacara berjalan cepat, paling tidak itu menurut Nadira. Dia langsung menarik tangan Ami menuju toilet guru yang aman.
"Apa?" meski terlihat cuek, nyatanya Nadira tetap penasaran. Dan besar kemungkinan ini menyangkut dirinya.
"Aku nggak tahu ya hubungan macam apa yang kalian jalani, tapi para wali murid mengeluh tentang kamu yang dekat dengan salah satu orangtua murid. Mereka nggak mau anak-anak mereka dididik oleh guru seperti itu." jelas Ami panjang lebar.
"Dididik seperti apa? Itu tuh kayak gimana?" Nadira menuntut penjelasan yang lebih jelas.
"Ya gitu. Masa nggak paham sih?" Ami menaikkan nada suaranya, tapi tidak marah.
"Yang kayak gimana? Emangnya cara ngajarku gimana?"
Ami memegang pundak Nadira dan meremasnya. "Kamu merayu Mr. Sebastian. Itu anggapan mereka."
Kalau tidak melihat wajah Ami yang sedang serius, tentu saja Nadira akan tertawa sangat keras. Merayu seorang Daniel Sebastian? Bagaimana orang bisa memiliki pemikiran seperti itu?
Hey, kalau memang Mr. Daniel Sebastian bisa dirayu, tentu saja Nadira akan dengan senang hati merayunya. Dia memiliki banyak nilai plus dan juga memiliki pendukung yang valid.
"Mi, kita pernah ngobrol soal ini. Dan kamu tahu betul gimana kan?" entah apa maksud ucapan Nadira itu. Apakah penegasan atau sebuah pertanyaan.
"Ya aku tahu, tapi orang-orang kan belum tentu tahu. Juga belum tentu sepemikiran."
Apa yang Ami ucapkan memang ada benarnya. Selama ini Nadira hanya bercerita semua hal kepada Ami, karena dia hanya percaya kepada Ami seorang. Dan orang lain tentu tidak tahu bagaimana dan apa yang terjadi antara dirinya dan Daniel Sebastian.
"Terus gimana dong sekarang?" Nadira mulai memikirkan langkah selanjutnya.
Mau tidak mau, Nadira juga harus memikirkan tentang karirnya di dunia pendidikan ini. Jujur saja, Nadira tidak ingin mengorbankan bertahun-tahun waktunya untuk mengajar menjadi sia-sia. Padahal apa yang mereka permasalahkan itu hanya sebuah gosip belaka.
***
Hari ini seharusnya Nadira akan pulang bersama si kembar. Rencananya, mereka akan memasak di rumah keluarga Sebastian. Ada menu favorit kembar yang memang bisa Nadira buatkan untuk makan siang mereka. Sayangnya rencana itu harus tertunda karena Nadira dipanggil oleh komite sekolah.
"Kalian pulang dulu, nanti Ibu susul. Jangan lupa beli makan siang, karena sepertinya Ibu akan terlambat."
Wajah kembar yang terlihat sedih membuat Nadira merasa sedih juga. Dia yang membuat janji, dia juga yang mengingkari.
"Jangan terlalu lama, Miss. Kami menunggumu di rumah." ucap Alex sembari tersenyum.
Setelah mereka berpamitan, keduanya lalu masuk ke mobil dan melaju untuk pulang. Nadira menghela napas berat dan mulai berjalan memasuki gedung sekolah. Bukan menuju ruang guru, melainkan ke aula, karena sebentar lagi komite sekolah akan meminta penjelasan tentang gosip yang beredar tersebut.
Suasana tampak mencekam. Apalagi mereka semua yang hadir tidak menampakkan senyum sedikitpun. Nadira yang duduk di kursi merasa dirinya seperti tahanan yang akan diadili sebentar lagi.
Berulang kali menghela napas agar tidak terlalu gugup nyatanya tidak bisa membantu Nadira untuk merasa lebih tenang. Berbagai pikiran buruk berkelebat di otaknya. Dan yang terburuk adalah dipecat.
"Jadi, Miss Nadira, bisa jelaskan kenapa kalian bisa bersama?" tanya sang juru bicara komite, atau siapapun itu, langsung pada intinya.
"Maaf, tapi itu hanya kesalahpahaman saja. Saya bisa menjelaskan." Nadira yang merasa sangat gugup hampir saja menangis ketika mengatakan kalimatnya.
"Kami bertemu disana karena memang ada urusan. Dan lagi, saya adalah guru les tambahan untuk Ali dan Alex. Sama seperti beberapa orangtua murid yang meminta saya menjadi guru les mereka." jawab Nadira, berusaha setenang mungkin.
"Kalian tampak akrab."
"Ya, kami memang akrab. Terkadang mereka ke rumah saya untuk les tambahan atau berdiskusi bersama. Tidak hanya mereka berdua, beberapa murid lainnya juga ikut bergabung."
"Tidak ada hubungan lainnya selain guru-murid dan guru-wali murid?"
"Tidak. Kami profesional."
Sidang komite berjalan hampir dua jam, dan sudah banyak pertanyaan yang Nadira jawab. Tepat ketika jam menunjukkan pukul tiga sore, mereka mengakhirinya.
"Good job, Nad." sapa salah seorang guru yang hadir di sidang itu.
Meski sedikit lemas, tapi Nadira mampu bertahan untuk tidak menjatuhkan dirinya di lantai aula. Sungguh, meski hanya menjawab pertanyaan, tapi secara mental Nadira kelelahan.
Ami yang melihat sahabatnya berjalan perlahan, segera menghampirinya dan memeluk. Tidak hanya Nadira saja yang cemas dengan sidang ini. Ami yang tidak ada sangkut pautnya pun merasa tidak tenang.
"Aku anter pulang. Barang-barang kamu ada di mobilku." ucap Ami cepat.
Mereka berdua berjalan beriringan menuju mobil Ami. Tanpa membuang waktu, keduanya langsung menuju rumah Nadira, agar Nadira segera merasa aman.
"Mi, jangan bilang apa-apa sama orang rumah ya. Takut mereka nanti kepikiran."
"Tenang aja. Kita cari alasan kalau abis nge-mall, makanya pulang telat."
Begitulah Ami. Dia selalu tahu apa yang harus disampaikan kepada keluarga Nadira. Mereka bukan hanya sehari dua hari berteman, karena mereka sudah berteman sejak masih menjadi mahasiswa.
Kejadian ini jelas berdampak buruk pada Nadira. Banyak orangtua wali murid yang menarik anak mereka agar tidak les kepada Nadira. Dan di sekolah, banyak para guru yang memandang Nadira dengan tatapan merendahkan. Tidak hanya itu, ketika bertemu orang tua yang menjemput anak-anak mereka, Nadira tidak pernah lagi mendapatkan tatapan yang ramah.