11 Kemana Anda?

Sepanjang siang sampai malam, Miss Nadira tidak datang. Jangankan datang, memberi kabar saja tidak. Bahkan ponsel Miss Nadira tidak aktif.

"Kenapa kalian murung? Ada masalah di sekolah?" tanya Danny ketika mendapati dua putranya duduk dengan lesu dan memasang wajah kusut. Mereka sedang berkumpul setelah makan malam.

"Miss Nadira tidak datang ke rumah, Dad."

"Padahal dia janji mau masak chicken pop bersama."

Mendengar penjelasan kedua putranya, Danny merasa ada hal buruk yang terjadi. Karena tidak biasanya guru favorit kedua putranya itu ingkar janji. Yah, paling tidak itu yang diketahui oleh Danny selama ini.

"Kalian sudah mencoba menelepon?"

Keduanya menganggukkan kepala.

"Udah, tapi ponselnya mati." jawaban Alex membuat Danny semakin yakin kalau ada sesuatu yang terjadi.

"Mungkin Miss Nadira sedang ada urusan penting. Jangan terlalu sedih, toh kalian akan bertemu besok kan?" hibur Danny.

Bisa ditebak kalau ucapan Danny tidak memberi efek apapun bagi keduanya. Rasanya sedih, melihat penghiburannya tidak ada artinya bagi kedua putranya yang tetap memasang wajah sedih dan murung.

"Hei, jangan terlalu sedih. Besok kalian ketemu, jadi bisa tanya kenapa Miss Nadira nggak datang. Oke?"

Tidak ada yang bisa mereka lakukan selain menganggukkan kepalanya.

Ketika sampai disekolah keesokan harinya, Ali dan Alex langsung menuju ruang guru. Mereka hanya ingin memastikan guru favorit mereka sudah datang. Yah, sekedar ingin melihat wajahnya saja.

Sayangnya mereka harus kecewa karena yang mereka cari tidak ada. Meja Miss Nadira kosong. Tidak ada tanda-tanda sang pemilik meja sudah hadir.

"Mungkin Miss Nadira telat." ucap Ali, membesarkan hati sang adik.

Apa yang menjadi keinginan mereka untuk bisa melihat guru favorit mereka tampaknya harus terkubur. Berhari-hari setelahnya, mereka masih belum bisa menemui Miss Nadira. Bertanya kepada guru lainnya, mereka berkata kalau Miss Nadira mereka sedang cuti.

"Nggak usah dicari, bentar lagi juga resign Bu Nadira." ucapan salah satu guru itu membuat keduanya merasa terkejut.

"Why?" tanya Alex.

"Para wali murid jelas nggak mau anak mereka diajar oleh Miss Nadira. Salah-salah nanti bapak mereka dirayu sama Miss Nadira."

"Apa maksud Anda?" Ali bertanya dengan nada yang tinggi. Merasa tidak suka guru favritnya mendapat ucapan yang tidak baik seperti itu.

"Miss Nadira nggak gitu." bela Ali.

"Karena kalian belum mengerti. Ayah kalian udah kerayu sama Miss Nadira."

"I don't care."

Alex jelas masih mau menambahi ucapan Ali, tapi Ali langsung menarik tangan adiknya sembari menggelengkan kepalanya.

Sepulang sekolah, keduanya sepakat untuk mengunjungi Miss Nadira dirumahnya. Siapa tahu mereka bisa bertemu dengan dengan guru favorit mereka dan menanyakan apa yang sebenarnya terjadi.

Nasib belum berpihak kepada mereka. Rumah itu sepi. Ketika bertanya ke tetangga Miss Nadira, mereka juga tidak tahu keberadaan sang guru.

Dengan berat hati mereka pulang.

"Kalian belum bertemu dengan Miss Nadira?" tanya Danny. Sebenarnya dia tidak membutuhkan jawaban karena sudah tahu jawabannya. Apalagi didukung dengan wajah mereka yang kusut.

"No, Dad." jawab Alex lesu.

"Dad akan coba mencari tahu."

Tidak ada yang bisa mereka lakukan saat ini selain menunggu.

Kalau ada yang bilang bahwa patah hati itu menyakitkan, mungkin yang Ali dan Alex rasakan lebih menyakitkan. Ditinggal oleh orang yang mereka sayangi juga lebih menyakitkan. Meski itu bukan hubungan romantis.

***

Danny akhirnya mengambil cuti untuk menemui Miss Nadira. Sengaja ke sekolahan dan meminta keterangan dari para guru lainnya karena orang yang dicari tidak berhasil dia temui.

"Miss Nadira mengajukan cuti selama seminggu. Ada yang bisa saya bantu?" tanya guru piket yang menemui Danny.

"Kapan kira-kira Miss Nadira mulai masuk?" tanya Danny.

"Seharusnya Senin depan sudah masuk."

Setelah berpamitan dengan guru piket, Danny segera kembali ke mobilnya. Rasa penasaran masih menyelimuti pikirannya, dan pertanyaan kenapa Miss Nadira menghilang menjadi hal yang membuat Danny merasa pusing. Bahkan lebih pusing dari pada membahas pekerjaan.

Suara beberapa orangtua wali murid yang sedang menunggui anak mereka pulang, membuat Danny merasa semakin pusing. Suara mereka terdengar berdengung ditelinganya.

"Aku yakin, guru itu pasti kena sanksi dari komite sekolah." suara yang terdengar sangat sinis terdengar.

"Iya. Kalo nggak kena sanksi, nanti kita protes aja." suara kedua menanggapi. Terdengar sangat mengompori suara pertama.

"Ya gimana, kita juga nggak mau laki kita kesambet sama guru itu. Biar dikata dia masih single juga nggak gitu kelakuannya."

"Jeng, pelakor tuh sekarang banyak aksinya. Mungkin dia jadi guru karena pengen nyari jalan pintas aja."

"Jadi guru cuma kedok aja, biar bisa mantau mana orangtua murid yang potensial."

Awalnya Danny tidak paham dengan apa yang mereka bicarakan. Danny malah merasa terganggu dengan suara menggosip para orangtua wali murid itu. Sampai dia mendengar petunjuk yang membuat Danny akhirnya bisa memahami apa dan siapa yang mereka bahas.

"Kasihan si kembar kalau sampai dapat ibu sambung kayak guru itu. Untung anakku nggak dapet guru itu."

"Iya, alus banget motifnya. Jadi guru les tambahan biar bisa melancarkan aksinya."

Setahu Danny, di sekolah ini hanya ada satu anak kembar yang menjadi murid. Tak lain dan tak bukan adalah anaknya. Lalu kenapa mereka membahas tentang guru les dan juga pelakor?

Dengan cepat Danny memeriksa ponselnya. Membuka aplikasi chat dan memilih grup yang memang sering dia abakaikan karena terlalu ramai. Itu adalah grup orangtua wali murid di kelas Ali dan Alex berada.

Ada ribuan chat yang belum dia baca selama beberapa hari ini. Agak penasaran kenapa grup yang kadang sepi itu tiba-tiba menjadi ramai.

Melelahkan memang, harus membaca chat dari awal, tapi Danny tidak menyesal sedikitpun, karena dia akhirnya tahu hal buruk apa yang menimpa guru favorit kedua putranya.

Tanpa pikir panjang, Danny langsung meninggalkan area sekolah. Melupakan niatnya untuk menunggu jam pulang Ali dan Alex.

Tujuannya hanya satu, Miss Nadira. Hari ini, dia harus menemukan sang guru dan meminta penjelasan. Kalau perlu, dia akan berbicara di komite sekolah agar nama baik sang guru bisa dibersihkan.

***

Daniel Sebastian memarkirkan mobilnya. Mengamati keadaan sekitar, lalu turun dari mobil dan berhenti di depan pagar rumah.

Beberapa kali memencet bel, tidak ada sahutan dari sang pemilik rumah. Ketika hampir menyerah, tiba-tiba saja pintu rumah terbuka. Keluarlah sosok perempuan yang sudah tidak muda lagi, yang diasumsikan Danny sebagai ibu dari Miss Nadira.

"Ada yang bisa dibantu?" tanyanya ramah.

"Permisi, bisa saya bertemu dengan Miss Nadira?" jawab Danny ramah.

"Oh, Nadira. Belum pulang sekolah anaknya. Anda siapa ya?"

"Saya Daniel. Teman Nadira." jawab Danny sedikit berbohong.

Ada alasan Danny berbohong. Sepertinya beliau tidak mengetahui kalau Nadira tidak bekerja. Hal itu dibuktikan dengan ucapannya tadi kalau Nadira belum pulang sekolah. Ditambah lagi, Nadira ternyata pergi mengenakan pakaian lengkap untuk bekerja.

Anyway, Nadira muncul beberapa detik setelah Danny menyebutkan bahwa dia adalah teman Nadira.

"Nad, ini temenmu datang. Pas banget kamu pulang."

Meski sesaat, Danny bisa melihat kalau Nadira terkejut. Tapi dengan lihainya perempuan itu menyembunyikan keterkejutannya.

"Ada yang bisa dibantu, Pak Danny?" tanya Nadira ramah.

"Suruh masuk dulu atuh. Nggak sopan ngobrol di depan pagar." sela ibu Miss Nadira.

Meski agak canggung, tapi Nadira mempersilahkan Danny untuk masuk. Tidak masuk ke dalam rumah, karena saat ini hanya ada Nadira dan sang Ibu. Danny yang memahami itu tidak keberatan.

Ketika sang Ibu menyajikan minuman beserta camilan, lalu masuk ke dalam rumah, Danny langsung melancarkan aksinya.

"Boleh saya tahu kemana Anda beberapa hari ini? Ali dan Alex mencari Anda. Juga menagih perihal memasak bersama."

Entah apa yang sedang dirasakan oleh Nadira, yang jelas Danny bisa membaca bahwa wajah yang biasanya dipenuhi dengan senyum itu sekarang terlihat sedih dan tidak bersemangat.

"Maaf, saya ada urusan beberapa hari ini. Jadi tidak bisa datang mengajar les." ucap Nadira berbohong.

"Boleh saya mengajak Anda berbincang di tempat lain?" tanya Danny hati-hati, tidak ingin bermaksud lancang. "Jangan berpikir aneh, karena ini benar-benar berbincang."

Tampak Nadira yang memikirkan ucapan Danny. Menimbang apakah dia harus ikut atau tidak. Tapi pada akhirnya Nadira memilih untuk ikut.

avataravatar
Next chapter