Seruni duduk di depan kaca riasnya, dengan air mata yang terus turun membasahi pipinya. Ia merasa sangat sakit hati dengan pernyataan yang didapatinya beberapa saat ke belakang, sungguh berharap jika hal tersebut bukanlah kenyataan.
Bagas berdiri di ambang pintu. "Seruni!" teriaknya dengan suara keras nan tegas.
Seruni yang tengah duduk dengan bahu bergetar karena isakan tangisnya, berlanjut terkejut dengan suara keras itu. Ia menoleh ke belakang dan melihat Bagas dengan kedua tangan yang menekuk ke samping.
"Ada apa lagi kamu, Mas? Jangan harap saya bisa menerima semua ini, dan ikhlas untuk diperlakukan seperti itu," ucap Seruni dengan suara lirih.
Bagas berjalan masuk dengan langkah kaki lebar. Ia dengan amarahnya berniat untuk meminta Seruni mengiyakan saja apa yang dikatakan olehnya ini, dan menyetujui semua rencana yang sudah dibuat bersama Marni.
"Kenapa? Kamu tuh kenapa tidak bilang 'iya, saya tidak masalah, Mas!' Kalau seperti itu kan sungguh sangat simple," jelas Bagas yang memberitahukan bagaimana caranya Seruni untuk mengatakan sesuatu yang membuat hatinya senang.
Pasalnya, dengan penolakan yang dilakukan oleh Seruni, Bagas merasa muak. Ia merasa jika rencananya tetap akan dijalankan, meskipun tanpa restu dari istrinya tersebut.
Namun, ada beberapa hal yang membuatnya tidak bisa melakukan hal tersebut dengan mudah, dan semua itu memang ada di kendali Seruni secara penuh.
Seruni menatap Bagas dalam-dalam. Ia bangkit dan menghampiri suaminya tersebut, menyentuh bagian dadanya yang gagah tersebut. "Kenapa kamu melakukan ini pada saya? Kenapa kamu melupakan Nara?"
"Saya tidak akan pernah melupakan kalian berdua!"
"Lalu? Apa rencana kamu untuk menikahi wanita itu, tidak menyakiti kami berdua?"
"Saya masih bertanggung jawab atas kalian. Bisa tidak Seruni, jangan mendramatisir keadaan? Saya menikahinya karena cinta, dan tidak ingin terus-menerus berada di hubungan yang seperti itu," terang Bagas yang kembali melukai hati dari Seruni.
Seruni tidak kuat dengan apa yang dikatakan oleh Bagas sekarang, hingga bisa menggeleng ketika mendengar ucapan yang begitu ringannya terlontar dari mulut suaminya tersebut.
Menghapus air matanya dengan tangan dan mencoba untuk menarik napas dalam-dalam. Seruni melangkah mundur untuk pergi dari hadapan Bagas, karena apa pun yang didapatnya hari ini tidak begitu mudah untuk diterima dalam hatinya.
Bagas yang melihat Seruni hendak pergi dari hadapannya ini, buru-buru untuk mengejar dan mencekal salah satu pergelangan tangan istrinya tersebut.
"Apa pun yang ingin kamu lakukan nanti, saya tidak perduli! Minggu depan adalah acara pernikahan antara saya dengan Marni, jangan mencoba untuk menghalanginya," bisik Bagas dengan tegas dan aura dinginnya.
Seruni bergeming, sedangkan Bagas melenggang pergi untuk turun ke bawah dan menemui Marni--kekasih gelapnya tersebut.
"Rasanya sakit Tuhan," keluh Seruni, seraya memegang bagian dadanya yang terasa sesak.
Terduduk di lantai, dengan air mata yang masih saja membanjiri pipinya. Disaat Seruni menangis, tiba-tiba ada tangan mungil yang menyentuh wajahnya dengan lembut.
"Mama kenapa menangis?" tanya Nara yang masih mengusap pipi milik Seruni dengan telapak tangan mungilnya.
Seruni membuka matanya dan melihat sang anak dengan wajah polos tengah menatap dirinya dengan kondisi sekacau ini. Ia berusaha untuk tersenyum, dan langsung saja mendekap tubuh mungilnya tersebut.
"Mama tidak apa-apa, Nak. Peluk Mama yang erat ya, sayang," bisik Seruni dengan suara paraunya.
Nara yang tidak mengerti apa pun, dan masih bingung dengan ibunya yang tengah menangis itu, hanya bisa mengikuti untuk memeluknya dengan erat.
Membelai surai hitam dengan tangan mungilnya, dan berusaha menenangkan ibunya agar tidak menangis lagi. "Mama, jangan menangis lagi ya. Nara tadi melihat jika Ayah keluar dengan wanita yang ada di bawah, sebenarnya dia siapa ya, Ma?"
Seruni diam saja mendengarkan pengaduan dari Nara sekarang ini. Ia belum mampu untuk membahas semua yang terjadi pada hari ini, pikirnya 'pasti hanya mimpi saja, dan tidak mungkin jika Bagas mampu mengkhianati cintanya dengan cara jahat.'
Namun, sialnya semua ini bukanlah mimpi sama sekali, dan Seruni mau tidak mau harus menerima jika semuanya ini adalah nyata.
"Sayang, Mama ingin pergi tidur, mau tidak kamu ikut juga?"
Nara mengangguk dan langsung membantu Seruni untuk bangun. "Nara mau, Ma! Ayo, Nara bantu Mama bangun."
Seruni terkekeh pelan. "Iya, sayang!"
Melihat senyum Nara yang seperti itu, setidaknya di tengah rasa sesak yang dirasakan olehnya, kini hati merasa ada penawar. Hingga, luka yang diberikan oleh Bagas sedikit berangsur untuk lupa, meskipun hanya sekejap, tapi tidak masalah.
"Ayo, sayang! Kita tidur di kamar kamu saja, ya." Seruni mengajak Nara untuk tidur di kamarnya.
Nara begitu semangat untuk mengajak Seruni masuk ke dalam kamarnya yang tidak begitu jauh letaknya.
Sesampainya di dalam kamar milik Nara, ia langsung saja berlari untuk menuju pembaringan dan merebahkan tubuhnya di sana. Membuat tingkah lucu hingga Seruni bisa tersenyum, meskipun sedikit dipaksakan.
"Sayang! Apa kamu sudah lelah dan ingin cepat tidur?" tanya Seruni pada Nara yang mengangguk cepat.
"Tentu saja, apalagi jika Nara tidur sembari dipeluk sama Mama," ungkap Nara yang menepuk sisi kosong dari pembaringannya tersebut, agar Seruni segera menghampirinya dan tidur tepat di samping. "Ayo, Ma! Nara sudah tidak sabar untuk dipeluk sama Mama."
"Sebentar, sayang! Mama pasti tidur di samping kamu kok, tenang ya." Seruni melangkahkan kakinya untuk menuju jendela kamar Nara yang menghadap keluar, dan melihat pemandangan di sana. Tidak ada siapa-siapa, hingga memutuskannya untuk segera tidur di samping anaknya.
Nara memperhatikan Seruni yang sedang melangkah menuju arahnya, dengan senyum yang lebar terpampang pada wajah lugunya.
Seruni duduk dan menyandarkan punggungnya pada dipan. Ia melirik ke arah Nara yang sedari tadi terus memperhatikannya, dengan bibir yang mengulas senyum.
"Katanya kamu ingin tidur, sayang?" Seruni bertanya pada Nara yang masih saja menatapnya dengan pandangan intens. "Kamu kenapa? Mama perhatikan kok dari tadi menatap terus?"
"Mama kenapa bisa sesedih ini?"
"Mama sedih? Tidak sayang!"
"Mama, setahu Nara ... orang yang menangis pasti tengah sedih," ungkap Nara dengan lugu seraya menatap wajah Seruni cukup serius. "Jadi, kenapa Mama sedih? Soalnya ... sejauh ini, Nara tidak pernah melihat Mama menangis seperti itu."
Seruni mengusap matanya yang kembali mengembun."Sayang, tidak semua orang yang menangis menandakan kesedihan, ada juga loh yang bahagia."
Nara masih belum cukup dengan jawaban yang diberikan Seruni. "Mama, tidak perlu berbohong ya. Kan Mama sendiri yang mengajari Nara agar tidak bohong, kenapa Mama melakukan itu?"
"Sayang! Sekarang kamu tidur ya, Mama sudah ngantuk sekali," elak Seruni yang tidak ingin membahas apa yang terjadi di hari ini.
Nara menatap wajah Seruni dengan mata yang sendu. "Nara harap, Mama benar-benar menangis karena bahagia, bukan karena sedih ya."