webnovel

BAB 16

Kedua netra Rahel membulat penuh melihat obat-obatan yang serupa berada di dalam tempat sampah. Satu tangan Rahel membungkam mulutnya yang mengangga karena terkejut.

"Aku tidak sebodoh itu, Rahel. Mungkin dulu aku selalu menuruti kemauan Sofia. Tapi setelah aku tau jika Sofia menusukku dari belakang, aku tidak akan pernah bisa mempercayainya lagi." Sekilas Nico melihat pada obat-obatan yang berada di dalam tempat sampah kemudian menatap pada Rahel yang masih tercengang dengan tersenyum kecil.

"Maaf Tuan, saya hanya ....!" Rahel meremas ujung baju yang ia kenakan.

"Hanya kasian padaku?" Lelaki dengan balutan handuk itu menautkan kedua alisnya, membuat netranya sedikit menyipit menghunus pada Rahel.

Rahel mengigit bibir bawahnya. "Bukan begitu Tuan. Saya hanya takut jika Tuan terjebak lagi dalam permainan Nyonya Sofia," tutur Rahel. "Karena yang saya tau obat yang diberikan pada Tuan itu sangat berbahaya sekali untuk penglihatan Tuan," imbuhnya dengan wajah penuh kecemasan.

Nico menyugar rambutnya ke belakang. Entah mengapa, Nico kini lebih sering tersenyum dan ramah pada Rahel semenjak Rahel mengetahui jika dirinya hanya sedang berpura-pura buta.

"Terimakasih, sudah memperhatikan saya. Tapi lebih baik kamu fokus saja mengurus Alisa. Biarkanlah saya menyelesaikan permainan ini sendiri," tutur Nico seperti ingin menegaskan.

"Ba-baik Tuan!" balas Rahel lega. Gadis muda itu nampak sangat gugup sekali berhadapan dengan Nico.

"Oh, iya, di mana Alisa?" celuk Nico.

"Non Alisa!" Rahel menepuk keningnya hendak memutar tubuh menuju ke arah pintu keluar.

"Kenapa Rahel?" seru Nico.

"Maaf Tuan, saya lupa, saya tadi menitipkan baby Alisa pada Mang Ujang." Rahel bergegas pergi meninggalkan kamar Nico tanpa mendengarkan lebih lanjut beo Nico.

"Mang Ujang!" Wajah Nico terlihat berpikir mendengar nama supir pribadi Sofia yang berada di rumah di saat jam bekerja.

_____

Setelah selesai menyantap makan malam Nico berjalan ke arah anak tangga. Tidak ada siapapun di rumah besar itu. ART yang beberapa saat lalu menyiapkan makan malam untuk Nico pun seperti raib dan tidak kelihatan lagi batang hidungnya di lantai bawah. Sementara Sofia, hingga pukul delapan malam, wanita itu tak juga kunjung pulang dan memberikan kabar pada Nico tentang keberadaannya.

"Tuan!"

Langkah Nico yang menaiki anak tangga pun terhenti. Saat suara Bibik tiba-tiba memanggil namanya.

"Iya Bik," sahut Nico.

"Barusan Nyonya menghubungi, kalau malam ini Nyonya tidak bisa pulang ke rumah," tutur Bibik menatap ke arah Nico yang masih terhenti di anak tangga.

"Kenapa memangnya, Bik?" seloroh Nico, nampak memasang indra pendengarannya.

"Katanya Nyonya mendadak harus pergi luar kota, Tuan, untuk urusan pekerjaan." Nico sebenernya melihat dengan jelas gurat kebohongan pembantu rumah tangganya. Namun, Nico memilih untuk diam dan berpura-pura tidak tau dan mempercayai ucapannya.

"Kenapa Sofia tidak menghubungiku langsung, Bik!" tanya Nico dengan wajah heran.

"Tadi Nyonya sudah menghubungi nomor Tuan, tapi nomor Tuan tidak bisa di hubungi. Jadi Nyonya menghubungi lewat telepon rumah," jelas Bibik.

Nico mengangguk-angguk, dengan wajah mengerti. "Baiklah kalau begitu!" ucap Nico kembali menaiki anak tangga menuju lantai atas kamarnya.

Nico menguci pintu kamarnya, berjalan cepat menuju sebuah lemari brangkas yang berada di sudut kamar. Lalu mengeluarkan laptop kerja dari dalam brankas tersebut.

Dengan lincah jemari Nico melacak keberadaan ponsel Sofia, bukan Nico namannya jika ia tidak mengetahui keberadaan Sofia. Lelaki lulusan dari luar negeri itu terlalu pandai untuk melakoni pekerjaan detektif.

"Hotel Nasution, Bekasi!" guman Nico tersenyum sinis melihat data yang muncul pada layar laptop, menunjukannya posisi ponsel Sofia saat ini sedang berada.

"Tenyata kamu di sini, sayang!" guman Nico tersenyum sinis. "Lakukanlah semuanya seperti kemauan kamu, sebelum aku mendepak kamu pergi dari kehidupanku," desis Nico mengakhiri ucapnya, sorot matanya tertuju pada layar laptop yang berpedar.

Satu tangan Nico mengambil ponsel yang berada di samping laptop. Setelah menekan tombol memanggil Nico menempelkan benda pintar itu ke dekat telinganya. Beberapa saat terdengar tiga kali nada sambung sebelum akhirnya suara seorang lelaki menjawab panggilan Nico.

"Iya, Tuan, bagaimana?"

"Sekertaris Aris, apalagi aset-aset saya yang sudah Sofia lepaskan. Saya ingin aset-aset itu kembali pada perusahaan BIG COOPERATION secepatnya," cetus Nico.

"Masih ada beberapa Tuan, sampai saat ini saya masih terus mengusahakan agar aset-aset itu segera kembali bernaung di bawah perusahan Big Cooperation."

"Bagus. Setelah aset-aset itu kembali tolong segera kabari saya agar saya bisa melakukan tindakan yang lainya," ucap Nico penuh penekanan.

"Baik Tuan, secepatnya saya akan mengurus semuanya," balas Sekertaris Aris sebelum menutup panggilan Nico.

Nico mendengus berat, menyadarkan tubuhnya pada bangku. "Satu persatu, sayang. Bersabarlah!" ucap Nico tersenyum sinis menatap sebuah foto wanita yang baru saja Sekertaris Aris kirimkan.

"Mayang Septiani, nama yang cukup bagus." Nico memainkan jari telunjuknya mengetuk-ngetuk pada meja, dengan wajah berpikir.

"Tuan!"

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan pintu itu terdengar memburu. Bergegas Nico menutup laptopnya dan berlari ke arah pintu.

"Tongkat, mana tongkat!" Langkah Nico terhenti, saat menyadari tidak ada tongkat bantu di telapak tangannya. Bergegas Nico memutar tubuhnya kembali dan menyambar tongkat bantunya sebelum ia melangkahkan kaki menuju pintu kamar, takut jika Bibik yang berada di luar pintu itu.

"Rahel!"

Nico menatap lega melihat wanita yang berdiri di luar pintu kamarnya adalah Rahel.

"Tuan, Alisa kejang Tuan!" seru Rahel panik. Keringat membasahi wajah Rahel.

Deg!

"Apa, Alisa kejang!" cetus Nico panik. Lelaki dengan setelan piama itu segera menyerobot keluar pintu.

"Tuan!" lirih Rahel menunjuk pada netranya. Memberikan kode pada Nico yang sudah berlari sedikit menjauh dari pintu kamar.

"Ish!" Nico berdecak kesal. Ia kembali memutar tubuhnya menghampiri Rahel. Lalu menggandeng tangan wanita itu.

"Cepat, kita harus segera menolong Alisa!" seru Nico dengan wajah panik memburui Rahel yang berpura-pura menuntutnya.

Benar saja sudah ada Bibik di kamar Alisa, memangku tubuh bayi mungil itu. Rasanya, Nico ingin sekali memeluk tubuh mungil Alisa yang mengejang. Akan tetapi ia tidak mungkin melakukan hal itu di depan Bibik.

"Rahel, ayo cepat bawa Alisa ke rumah sakit!" seru Nico tidak sanggup menyaksikan putrinya kesakitan. Rahangnya mengeras, akan tetapi ia harus tetap berpura-pura.

Rahel mengambil alih Alisa dari gendongan Bibik. Gadis muda yang nampak sangat menyayangi Alisa itu terlihat panik bercampur ketakutan.

"Bik, bilang sama Mang Ujang untuk segera menyiapkan mobil!" seru Rahel.

Netra Alisa mendelik, seluruh tubuhnya mengejang, dengan suhu tubuh yang panas sekali.

"Cepat Bibik!" teriak Rahel yang panik. Dengan langkah cepat Bibik pun berhambur keluar pintu.

Nico segera menghampiri Alisa dan Rahel. "Rahel, badannya panas!" seru Nico panik setelah meletakkan telapak tangannya pada kening Alisa.

"Tapi aku sudah memberikannya obat penurun panas, Tuan!" ucap Rahel sekilas melihat pada Nico.

"Astaga, Alisa! Kamu harus bertahan sayang!" guman Nico dengan wajah tidak kalah cemas.

"Tuan, Rahel, mobilnya sudah siap!" ucap Bibik dari ambang pintu kamar Alisa.

____

Bersambung ...