webnovel

Bab 15

Roti berisi coklat dengan segelas susu belum tersentuh sedikitpun oleh Sofia. Sorot matanya tertuju pada Nico yang tengah menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Tidak ada yang berbeda sama sekali dengan lelaki buta itu, sorot matanya bahkan gerak geriknya.

"Ah, mungkin ini hanya ketakutan Sam saja. Aku rasa Mas Nico masih sama seperti kemarin. Tidak ada yang berbeda," batin Sofia menepis segala ketakuatan yang memenuhi benaknya. "Tapi kenapa dia tidak menanyakan rumah Sekertaris Aris yang telah aku jual," batin Sofia penuh tanya.

"Sayang!" Panggilan Nico membuyarkan lamunan Sofia yang baru saja hendak menyantap potongan roti yang sudah ia potong dalam ukuran kecil.

"Iya, Mas!" netra Sofia seketika tertuju pada Nico.

"Sayang, sepertinya kita sudah lama sekali tidak pergi jalan-jalan. Bagaikan kalau akhir pekan nanti kita berlibur ke Bandung. Di sana kan ada vila dan perkebunan kita."

Seketika kerongkongan Sofia tercekat, perut yang sedari tadi keroncongan tiba-tiba terasa kenyang.

"Bandung!" sergah Sofia, wajahnya terkejut.

"Iya, kita kan sudah lama sekali tidak pergi liburan keluarga. Kita ajak Alisa dan Rahel, ya!" Semburat senyuman tersungging dari kedua sudut bibir Nico.

Sofia semakin gugup, sorot matanya menatap pada Nico. "Mas, aku masih troma dengan kecelakaan itu Mas," dusta Sofia berucap dengan suara memelas. Nico tersenyum kecil.

"Aku benar-benar tidak bisa melupakan kejadian hari itu, Mas. Hari di mana Mas Nico harus kehilangan ...!" Sofia terisak, meskipun Nico dapat melihat jika wanita yang duduk di hadapannya hanyalah sedang berpura-pura sedih.

Nico menghela nafas panjang. "Baiklah jika kamu tidak mau!" balas Nico dengan nada lesu.

Sofia tersenyum lebar. "Maafkan aku ya, Mas, rasa trouma itu benar-benar belum bisa hilang dalam ingatanku," tutur Sofia dengan suara bergetar.

"Iya sayang, Mas paham kok!" Nico mengukir senyuman pada kedua sudut bibirnya.

"Untung saja, Mas Nico tidak memaksaku. Kalau dia terus memaksa, aku tidak tau harus berbuat apa lagi," batin Sofia.

_____

Langkah Rahel terhenti di ambang pintu saat melihat Sofia nampak sedang berbicara serius dengan supir baru Nico yang bernama Jodi. Tidak seperti biasanya, Sofia nampak berbicara seserius dengan Jodi.

"Rahel!" gadis itu melonjak, terkejut saat suara Bibik tiba-tiba muncul dari dalam ruangan.

"Bibik!" seru Rahel pada wanita yang berjalan ke arahnya.

"Apa yang sedang kamu lakukan?" Wanita itu menarik sedikit tubuhnya ke arah pintu utama rumah yang terbuka, nampak Sofia sudah selesai berbicara dengan Jodi dan sedang berjalan ke arah mobil yang terparkir.

"Ini lagi mau mengajak Alisa jalan-jalan," balas Rahel, melihat pada Alisa yang berada di troli (kereta bayi).

"Oh, ya sudah!" Bibik memutar tubuhnya.

"Bibik mau kemana?" tanya Rahel mengikuti kepergian wanita paruh baya itu.

"Mau memberikan obat ini pada Tuan Nico."

Netra Rahel tertuju pada obat-obatan yang berada di tangan Bibik. Sesaat netranya berkerut, menatap aneh.

"Sebentar, Bik!" Rahel menghampiri Bibik, meraih beberapa tablet obat yang ada di tangan ART rumah Nico.

"Bik, apakah obat-obatan ini tidak salah untuk Tuan Nico?" Rahel mengerakan tablet obat yang ada di tangannya seraya menautkan kedua alisnya, heran.

"Memangnya apa yang salah, Rahel!" Bibik sepertinya tidak suka, ia menyambar tablet obat tersebut dari tangan Rahel.

Rahel terdiam dengan wajah terdekat. "Iya sih, Bik. Tapi setau aku bukan itu obat-obatan untuk orang buta!" lirih Rahel mengigit bibir bawahnya.

"Halah, lulusan sekolah dasar saja Sok tau," cerocos Bibik memicingkan matanya pada Rahel. "Sudah kamu urus saja itu Alisa, pengetahuan pas-pasan saja sok mengerti," gerutu Bibik sebelum meninggalkan Rahel yang hanya terdiam.

Alisa nampak senang berada di taman yang ada di luar rumah Tuan Nico. Melihat hijaunya dedaunan membuat Alisa berceloteh riang. Sementara Rahel, gadis muda itu nampak sangat gelisah sekali, beberapa kali ia membuang pandangannya pada pintu rumah Tuan Nico yang tertutup rapat.

"Kemana Bibik, harusnya dia kan ke pasar hari ini!" gerutu Rahel melihat ke arah pintu.

"Rahel," celetuk lelaki berusia empat puluh tahunan yang tiba-tiba membuat Rahel terkejut.

"Mang Ujang!" seru Rahel tergeragap.

"Kamu ngapain di sini? Ajak Non Alisa masuk sana, kasian di sini banyak nyamuk," ucap Mang Ujang sekilas melihat pada bayi lucu yang ada di kereta bayi.

Suara derit pintu menjadi tanda, secepat kilat ekor mata Rahel melihat ke arah pintu yang sudah sedari tadi ia tunggu-tunggu. Wanita dengan setelah rok dibawah lutut itu akhirnya pergi meninggalkan rumah membawa tas belanja.

"Yes, akhirnya Bibik pergi juga. Aku harus memberi tahu Tuan Nico jika obat-obatan yang Bibik berikan padanya, justru hanya akan membuat penglihatannya semakin rusak," batin Rahel bersemangat.

"Rahel, kok melamun saja, sih?" Mang Ujang menepuk pundak Rahel, mengangetkannya.

"Iya, Mang!" seketika Rahel mengalihkan tatapannya pada Mang Ujang. Meskipun sesekali ia melirik pada kepergian Bibik yang hampir sampai di pagar besi rumah Nico.

"Rahel, sana bawa masuk, Alisa. Takut di gigit nyamuk kalau di sini," ucap Mang Ujang mengingatkan.

Melihat Bibik sudah menghilang masuk ke dalam angkot yang melintas. Rahel bergegas mengambil kesempatan itu untuk memberi tau Nico.

"Mang aku titip Alisa sebentar ya!" ucap Rahel memburui, bergegas ia lari ke arah pintu rumah.

"Rahel, kamu mau kemana?" teriak Mang Ujang.

"Sebentar Mang, perutku mules!" sahut Rahel yang hampir sampai di ambang pintu utama rumah.

Dengan langkah cepat Rahel menaiki anak tangga menuju kamar Nico. Nafas Rahel hampir saja putus, beberapa kali ia mengatur nafasnya yang tersengal sebelum mengetuk daun pintu kamar Nico.

"Tuan, Tuan Nico!" seru Rahel dengan nada suara memburu. Diikuti suara ketukan.

Hening tidak ada jawaban dari dalam kamar. Rahel yang sudah tidak sabar memutar gagang pintu kamar Nico. Terdengar suara gemericik air yang tengah mengalir dari dalam kamar mandi.

Rahel mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, "Itu dia obatnya!" seru Rahel akhirnya menemukan obat-obatan yang ia cari berada di atas nakas samping ujung ranjang. Dengan cepat Rahel mengambil obat itu.

"Rahel, sedang apa kamu?" celetuk Nico yang muncul dari balik pintu kamar mandi.

Dada bidang, rambut yang sedikit basah, roti sobek-sobek membuat Rahel menelan salivanya beberapa kali.

"I-itu, Taun!" Rahel terbata.

"Rahel!" Panggil Nico yang mendekat ke arah Rahel seketika membuat wanita itu tersadar dari rasa gugup.

"Tuan, Tuan harus tau, jika obat-obatan yang Nyonya berikan pada Tuan adalah obat yang dapat merusak penglihatan, Taun!" tutur Rahel, roti sobek-sobek yang basah itu sesekali membuat Rahel melirik kembali.

Nico melirik pada butiran obat-obatan yang ada di tangan Rahel lalu tersenyum kecil. Satu tangannya meriah pergelangan tangan Rahel yang terkesiap.

"Tuan, Tuan mau bawa aku kemana?" Rahel semakin gugup. Tuan yang selama ini ia anggap terlalu dingin pada karyawannya justru kini menarik pergelangan tangannya.

"Tuan, kita mau kemana?" seloroh Rahel, jantungnya memburu semakin kencang.

_____

Bersambung ....

.