webnovel

Bab 4.1 - Pengkhianatan

Di dunia ini. Dunia yang penuh dengan kekuatan. Yang mana yang terkuat dialah yang berkuasa, yang mana yang cerdik dialah yang selamat.

Dunia ini memiliki banyak ras. Sudah menjadi hal lumrah adanya rasis di tiap ras.

Manusia. Mereka yang terpilih mengalami kebangkitan dan mendapati sihir.

Makhluk murni. Makhluk yang memiliki kekuatan yang luar biasa dan regenerasi yang cepat dari manusia. Wujud mereka seperti manusia, tapi kekuatan dan kecerdikan mereka jauh berbeda dengan manusia.

Dalam makhluk murni tersebut, dibagi lagi menjadi banyak macam jenis.

Sudah 3 tahun sejak aku menerima tawaran dari pria aneh itu dan hari ini, dengan senyum yang muncul meskipun ada darah dimana-mana, aku menatap sinis pada makhluk yang ada di depanku.

"Apa yang kau lakukan?"

Dapat kudengar suara rintihan dari beberapa orang, tapi terdengar samar. Karena di luar sana, rintik air lebih terdengar jelas di ruangan yang begitu gelap ini.

Seseorang di hadapanku sedang duduk. Wajahnya penuh benci menatapku. Tubuhnya penuh darah, lalu terdapat beberapa memar di wajahnya.

Aku pun merasa puas ketika dia terus mengoceh dan mengoceh tidak berguna. Tidak peduli dengan mulutnya yang terus mengeluarkan darah setiap kali ia terbatuk.

"Jadi, ini yang aku dapatkan setelah membantumu?" tanyanya.

"Kau sudah tahu bahwa aku tidak melakukan kesalahan, bahkan aku tidak menyukai tindakanmu kali ini. Tapi– tapi dengan mudahnya kau membunuh orang-orang yang seharusnya bisa kita gunakan!"

Aku memilih untuk diam. Menatapnya dengan sudut bibir yang terangkat.

Melihat wajah penuh luka, tubuh penuh dengan darah– ya, itu darahnya, siapa lagi yang membuatku puas selain diriku sendiri?

"Tak ku sangka kau melakukan ini, Aaron."

"Siapa yang melakukan kesalahan pada siapa?" tanyaku.

Dapat ku lihat bahwa dia tersentak ketika aku mengeluarkan suara. Dia terlihat tertekan, padahal tadi dia bisa tertawa begitu keras.

"Kau bilang kau tidak melakukan kesalahan? Atas dasar apa kau mengatakan dirimu bersih? Tidak. Tidak ada manusia– bahkan, makhluk murni pun tidak ada yang suci," jelasku, panjang lebar.

Namun, alih-alih menjawab, pria yang bernama Xavi ini berdecak kesal. Dia geram, lalu kakinya menghentak seolah berharap dia bisa menendangku.

"Sialan! Anak kecil sepertimu mana tahu yang sebenarnya terjadi!!!" bentaknya.

Aku cukup terkesima ketika mulut berdarah itu masih sanggup mengeluarkan suara yang begitu lantang dan jelas. Matanya jelalatan itu masih terlihat semangat yang besar.

Sudut bibirku sedikit terangkat. Aku mendekatinya, bahkan sampai tepat di depan matanya. Aku sedikit membungkuk hanya untuk melihat wajah penuh darah itu dengan jelas, lalu tangan menyentuh lututnya.

"Kenapa?" tanyaku melihat dia hendak berbicara, tapi ditahan.

"Kau tidak bisa bicara setelah aku sedekat ini?" tanyaku.

Tanganku menekan lututnya. Semakin kuat dan kuat. Pada saat itu juga, ujung kuku jariku yang semula biasa saja perlahan berubah menjadi tajam dan berwarna merah darah.

Xavi merintih. Dia memberontak, tapi sayang sekali, tanganku terus menekan lututnya.

"Jika kau memberontak seperti ini, bukannya patah, tapi kakimu bisa lepas dari tubuhmu," ucapku.

Pria berambut coklat itu berhenti memberontak. Tapi, mata kuningnya yang menyala itu menyorot tajam kepadaku.

"Kau … apa Felice juga kau bunuh?" tanyanya. Nafasnya tersengal.

Kedua alisku terangkat ketika dia bertanya. Apa itu pertanyaan yang wajar ketika kematian ada di depan matanya?

Namun, setelah dipikir-pikir … Xavi mencintai Felice, huh?

Itu cukup menarik untuk memancing emosinya kembali.

Tanpa kusadari, aku sudah tersenyum mekar. Mata merahku mungkin sudah terlihat jelas di mata Xavi, yah … mungkin saja mengerikan.

"Menurutmu?" tanyaku.

Dapat kulihat dari mata yang menatap tajam padaku itu semakin lama semakin melebar. Keterkejutan yang luar biasa dari seorang werewolf murni sanggup membuatku tertawa terbahak-bahak.

"Oh, ya ampun, Xavi. Kau begitu mencintainya, huh? Ku pikir, demi teman, kau mau menepis rasa suka itu," kataku.

"Apa yang kau katakan? Kau membunuh Felice? Kau–"

"Ya, sudah terlihat jelas dari wajahku, bukan? Tidak mungkin kau tidak mengetahuinya. Seorang pemimpin serigala yang terkenal akan kepekaannya terhadap sekitar tidak mengetahuinya?"

Aku berbalik. Tapi, pada saat itu, pantulan cahaya dari sebuah benda di sampingku menarik perhatian.

Aku menoleh, melihat sebuah belati berkarat diletakkan di atas meja berdebu. Belati siapa itu?

Tidak tahu siapa pemiliknya, aku mengambil belati tersebut. Melihat bahwa terdapat bercak darah yang sudah mengering.

"Aaron. Apa ini memang tujuanmu?"

Suara Xavi terdengar gemetar. Kembali, kubalikkan tubuh hanya untuk melihat wajah frustasinya dan ternyata benar bahwa bulir air membasahi pipi Xavi.

Dia menggigit bibir bawah. Menatap sengit padaku yang sedang berdiri dengan bebas.

"Kau … sungguh makhluk tidak berhati nurani!" hardiknya.

Xavi terbatuk. Dia mengeluarkan darah. Sudah berapa banyak dia membuang darahnya hanya untuk menghardik? Dia benar-benar boros.

"Kelicikan mu akan membawamu ke malapetaka yang lebih dari ini!" rutuknya.

Namun, aku tidak peduli. Segera aku mengedikkan bahu lalu membalikkan tubuh.

Lebih seru melihat belati yang terkena bercak darah ketimbang melihat pemimpin werewolf murni yang sekarat masih berani menghardik.

"Xavi," panggilku.

Tidak baik membiarkan orang sekarat berlama-lama hidup.

Tanganku bergerak. Memegang belati, lalu mengibas angin. Aku kembali melihat belati yang terlihat unik itu. Tentu saja, ukirannya yang detail seperti milik dari keluarga bangsawan.

Kemudian, aku melempar belati tersebut sampai berputar, dan meraihnya lagi. Memainkan belati yang mudah dipegang itu menyenangkan.

Sambil memainkan belati, aku berbalik. Kakiku melangkah mendekati Xavi yang sedang menatap sengit padaku.

Bernafas saja dia kesulitan, kenapa dia masih berani untuk menghardik? Sungguh, seorang pemimpin werewolf yang hidup penuh semangat dan prinsip hidup yang kuat.

"Apa kau baik-baik saja?" tanyaku.

Aku melangkahkan kaki untuk mendekatinya lagi. Kemudian membungkuk. Aku melihat wajahnya lebih dekat, tapi dengan belati yang ku pegang tertuju pada rahangnya.

Pria berdarah werewolf murni ini tidak bisa berkata-kata. Dia menengadah untuk menghindari tusukan ujung mata belati ini sambil menggertak. Akan tetapi, sorot matanya tak pernah hilang dari tajamnya.

"Kau–"

"Jangan bicara. Nanti rahangmu tertusuk oleh belati ini," tegurku.

Begitu mendengar ucapanku, Xavi langsung mengatup bibirnya. Dia menutup mulutnya dengan rapat sampai-sampai tidak menyadari keringatnya muncul dari pelipis.

Aku pun kembali menyunggingkan senyum.

"Sudah berapa banyak aku mendengar rutukan itu. Toh, sampai sekarang aku masih hidup," ucapku.

"Tapi–"

Aku mendorong lagi belati yang ku pegang ke rahangnya.

"Tidak ada gunanya kau dan orang-orang bodoh itu merutuki hal yang tidak terjadi," sambungku.

Setelah beberapa kalimat aku ucapkan sampai berhasil membuat Xavi bungkam, aku menjauhkan belati ini darinya. Dan sampai aku menjauh darinya, dia tak lagi mengeluarkan suara.

Hanya tatapan penuh kebencian lah yang aku dapatkan. Dia gemeretak, urat di pelipisnya muncul, tapi suaranya tak kunjung keluar.

"Kau tahu kalau aku membenci manusia dan aku juga membenci monster-monster itu, bukan?" tanyaku.

Tak ada jawaban.

Xavi sepertinya membisu setelah aku menyodorkan belati ke rahangnya.

Yah, itu tidak masalah.

Kali ini, aku mengarahkan pandangan ke arah jendela yang terbuka lebar. Aku melakukannya karena secara tiba-tiba angin berhembus mengenai wajahku. Membuat rambut putihku bergerak dan menarik perhatianku.

Cahaya rembulan dari balik jendela lah yang menyinari ruangan yang gelap ini. Jika saja ini siang, warna darah pasti terlihat jelas di sekitar sini. Tapi, untungnya saat ini bulan menggantikan matahari, aku tidak pusing menahan diri melihat darah yang berserakan.

Aku melangkahkan kaki ke sembarang tempat. Tapi ternyata, kakiku berkehendak– mungkin saja ini perintah hati– untuk berhenti tepat di depan cermin retak.

Terlihat wajah yang memiliki kulit yang pucat, warna mata yang merah darah sedang menyala, kemudian rambut berwarna putih bergerak setiap kali angin berhembus. Dapat kulihat alisku yang tidak terlalu tebal juga berwarna putih, bibir berwarna merah jambu dan hidung yang berbentuk sempurna. Sudut mata yang tak lupa juga terlihat tajam membantuku untuk membuat musuh bertekuk lutut.

Perawakan yang sempurna untuk mendekati wanita.

Bahkan proporsi tubuh yang idealis. Aku tidak akan mengatakan seperti apa tubuhku, tapi ini lebih cocok untuk menjadi model– meskipun aku sama sekali tidak ada niat untuk bekerja menjual tubuh.

Sudah cukup untuk terpesona pada tubuh sendiri. Aku mengalihkan pandangan, menatap orang-orang yang telah ku bunuh. Begitu banyak sampai tempat ini lebih tepatnya disebut sebagai lautan darah.

"Apa kau iblis?"

Suara Xavi kembali menarik perhatianku. Dia satu-satunya makhluk murni yang belum ku bunuh.

Aku berbalik menatap Xavi yang duduk dengan tangan diikat dan tubuh diikat penuh tali. Sebenarnya, tidak perlu repot-repot untuk menggunakan tali, karena–

"JELASKAN PADAKU! APA KAU SEBENARNYA IBLIS!?"

Sialan. Dia benar-benar memancing emosi.

"Tidak seharusnya kau melakukan ini pada makhluk yang satu ras denganmu!" sambungnya.

Entah mengapa, mendengar kata ras yang sama dengan makhluk itu merubah suasana hatiku.

"Bukan salahku kalian terlahir bersama dengan ras yang kejam," balasku.

Dia terdiam. Mulutnya gemerta, matanya yang kuning semakin mengeluarkan aura yang pekat.

"Kau lah yang memilih jalan ini dan aku lah yang menjadi eksekutornya. Jadi, jangan mencoba untuk menghindar," lanjutku.

Dari balik kegelapan ini, dapat ku lihat Xavi yang menegangkan tubuhnya. Dia mencoba untuk terlepas dari kekuatanku dengan menggunakan kekuatan werewolfnya.

"Semua perbuatan itu ada konsekuensinya."

Sayangnya, begitu aku mengucapkan kata tersebut, dia tidak mendengar. Makhluk berdarah werewolf murni yang selalu menggunakan kekuatan juga instingnya itu terus mengeluarkan kekuatannya.

Secara fisik, tubuhnya mengeluarkan bulu-bulu di kulit. Kukunya menjadi tajam dan tangannya perlahan berubah menjadi kaki serigala.

Wujud serigala yang sebenarnya akan muncul dan sepertinya aku akan kesulitan mengurusnya.