"Pahlawan. Di mana pun kau berada, kau tidak bisa lepas dari genggamanku. Majulah atau orang-orang terdekatmu yang akan kubunuh." Keluarganya mati dibunuh pahlawan dan meninggalkannya seorang diri. Menumbuhi dendam untuk menghancurkan sang pahlawan, dimulai dari hal yang kecil dia melakukan pembunuhan berantai. Tapi, tidak pernah diketahui jejak-jejak pembunuhannya. Dialah pria yang tidak memiliki nama. Identitas aslinya sudah dibuangnya jauh-jauh. Sudah banyak dia berganti nama, bahkan penampilannya pun juga berubah-ubah. Dia terus mengincar sang pahlawan, mencari tahu keberadaan sang pahlawan. Tapi seseorang menyeretnya ke dalam masalah besar, dimana dirinya harus dilibatkan menjadi pahlawan baru dan menjadi Hunter yang dikenal masyarakat. "Kejahatan yang sebenarnya ada pada pria ini. Orang yang telah membuat manusia menjadi monster dan menyiksa kita semua."
Ini cerita yang tak mungkin bisa ku ubah.
Ketika seluruhnya berwarna merah, si jago merah yang ada di sekitarku.
Menghancurkan, melahap apapun yang dilewatinya. Menjadikan apapun yang dimakannya menjadi abu.
Teriakan orang minta pertolongan begitu memenuhi pendengaranku. Tapi, apa yang bisa kulakukan? Karena saat itu, aku juga meminta pertolongan dengan air mata berdarah.
"Tolong!"
"Tolong! Siapapun!"
"Ini pedih! Tolong selamatkan aku!"
"Tolong ibuku! Ayahku! Mereka ada di dalam!!!"
Namun, semua orang hanya bisa berteriak. Melihat aku– anak yang berumur 7 tahun ini, lalu mengabaikannya. Karena, mereka semua juga merasakan sakit dari terkena api.
[]
Di tempat yang begitu gelap, meringkuk dalam kegelapan, tidak tahu kapan cahaya tiba, aku tidak bisa berharap banyak.
Meminta pertolongan, namun tak pernah ku dengar suara seseorang yang ada di sekitar sini.
Seolah aku sendiri setelah satu keluarga dibantai habis oleh manusia yang menyangka kami lah dalang dari kekacauan tersebut.
Apa aku telah mati?
Secara perlahan aku membuka mata. Kegelapan yang biasa ku lihat kini telah berubah menjadi tempat yang tidak dikenal.
Masih dengan pandangan yang buram, tapi aku dapat melihat cahaya dengan remang.
Hanya ada dua pertanyaan yang kini muncul di benakku.
Di mana aku dan bagaimana dengan keluargaku?
"Hei, nak? Kau tidak apa?"
Seorang pria dewasa berdiri di depanku. Dia mengenakan jas berwarna coklat yang bagian belakangnya panjangnya sampai ke lutut.
'Sudah berapa tahun berlalu?' pikirku.
Aku menengadah. Menatap pria tersebut.
Namun, mataku sukses membulat ketika melihat warna matanya yang sama denganku.
Merah seperti darah.
Ketika mulutku tercengang melihat matanya, bahkan taring yang panjang dan runcing itu tak bisa disembunyikan, aku hendak mengeluarkan suara. Akan tetapi, tenggorokanku terasa kering.
Pria itu tersenyum.
"Kau kehabisan suara. Mengalami hari-hari yang sulit seperti ini pasti membuatmu menderita. Ikutlah denganku," ajaknya.
Pria tersebut mengulurkan tangan, memberi bantuan untukku berdiri.
Tapi, aku mengabaikannya begitu saja. Mataku terfokus pada telapak tangannya yang pucat– seperti tidak ada darah yang mengalir.
Pandanganku beralih menatap pria itu dalam diam. Dengan senyum yang mampu membuat matanya menjadi sipit.
Aku tidak butuh bantuan, aku hanya butuh penjelasan tentang bagaimana bisa aku menemukan ras yang sama denganku di ranah manusia ini.
"Sepertinya kau terkejut melihat mataku, huh? Tapi itu tidak masalah, matamu merah dan kita merupakan ras yang sama. Ku harap, kau mau menerima uluran tangan ini, karena tanganku sudah terasa capek," tuturnya.
Segera, aku meraih tangannya ketika mendengar sambungan katanya.
"Aku akan memperkenalkan diriku setelah ini," sambung pria tersebut.
[]
Sudah 5 tahun aku hidup tanpa orang tuaku dan sudah 4 tahun aku menjalankan kehidupan yang lebih keras setelah diajak pergi oleh pria yang satu ras denganku.
Sekarang, dengan pedang yang menghunus ke depan, tatapan yang terkunci pada salah satu orang yang ada di depan sana, tersenyum penuh misteri yang tak dapat kubaca isi pikirannya, aku mencoba untuk melawannya.
Ini pertama kalinya aku bertarung dengan menggunakan pedang di lapangan khusus berlatih pedang.
Kulangkahkan kaki untuk melesat ke tempatnya, akan tetapi hanya dengan sikapnya yang tenang itu, dia menghindar dengan bergeser ke samping.
"Vladis, kalau seperti ini posisimu, mereka bisa saja menyerang lututmu."
Pedang yang sedang ku genggam kini melayang ketika pria itu menendang bagian belakang lututku. Cukup keras tendangannya hingga aku terjatuh dan mendapati pedang asli yang tertancap tepat di depan mataku.
Spontan, aku pun terlonjak dan justru menabrak kaki seseorang yang terasa kuat bagai besi.
"Jangan pernah tunjukkan wajah lemah kita. Senyum adalah kuncinya, biarpun kau marah, biarpun kau sedih, maka senyum menutupi semuanya."
"Bagaimana bisa aku tersenyum kalau kakiku sakit begini, Master."
Aku menggerutu sambil meringis kesakitan memegang lutut yang tadinya pria tersebut tendang.
Pria yang ada di belakangku, dengan senyum lebarnya sampai matanya menyipit itu bernama Bartholomew Cassius. Pria tua yang telah menolongku satu tahun aku terlantar karena kehilangan keluarga saat tragedi berdarah. Dan sekarang menjadi guru belajar berpedang.
"Tersenyum atau aku akan menganggapmu lemah, Tuan Muda," ucapnya.
Aku tidak tahu alasan dia memanggilku dengan sebutan 'Tuan Muda' dan itu cukup membuatku terganggu.
Keningku mengernyit, berusaha untuk menjawab ucapannya.
"Aku–"
"Jangan pernah kerutkan keningmu."
"Ah! Aku tahu!"
Tidak pernah sempat ku tanyakan pada Master alasan dia memanggilku dengan sebutan 'Tuan Muda'. Setiap kali bertanya padanya, dia pasti mengalihkan pembicaraan.
Segera, tubuhku bangkit dan tanganku meraih pedang yang tertancap ke atas tanah tadi. Aku menarik pedang tersebut, lalu menghunuskannya ke arah Master.
Meskipun selalu lupa untuk tersenyum, Master tidak pernah memarahiku– kecuali, aku berbuat kesalahan besar seperti melanggar peraturannya.
Aku melangkahkan kaki. Melesat ke depan dan menyerangnya secara brutal.
Tidak peduli dengan aturan-aturan yang dikatakan Master, sekarang menang adalah caranya.
Namun, ketika tanganku bergerak untuk segera menebas ke arah dekat dadanya, raut wajah Master dalam sekejap berubah menjadi serius.
Senyumnya memudar, lalu tanpa mengayunkan pedang yang ada di tangan kanan itu, tangan kirinya bergerak menuju kepalaku.
"Apa–"
Aku sempat terkejut melihat Master tidak menghindari seranganku, membuat tubuhku goyah untuk menyerangnya dan justru mendapatkan sentilan ke kening.
Brak!
Tubuhku terpental jauh, berguling di atas tanah, lalu punggungku menghantam dinding di mansion ini.
Aku terbatuk dengan asap yang mengepul di sekitarku. Untungnya, ketahanan fisik serta regenerasi yang sudah ada sejak aku lahir membuatku sedikit merasakan sakit.
'Dia benar-benar serius!' pikirku.
Terdengar suara langkah kaki mendekat. Siapa lagi kalau bukan pria menyeramkan itu.
"Fokuskan pada tujuanmu, jangan pernah goyah jika musuh tiba-tiba mundur, lalu– aku sedikit sedih melihat cara bertarung mu yang berantakan," ungkapnya yang mampu menusuk hati.
Dia berjalan mendekatiku, lalu mengulurkan tangannya. Lagi-lagi senyum yang kuterima.
"Bagaimana caranya tersenyum seperti itu?" tanyaku.
"Untuk sekarang, tetaplah latihan. Kau akan bisa kelak masalah secara bertubi-tubi datang padamu," jelasnya.
Itu terkesan ambigu, sempat membuatku mengerutkan kening dan kembali mendapati jentikan dari jari Master.
Begitu aku berdiri berkat bantuannya, Master melepaskan tangannya lalu berbalik berjalan menjauh dariku.
Tampaknya, Master menyuruhku untuk lanjut latihan, padahal aku sudah cukup sulit untuk mengatur napas saat ini.
'Masih lanjut?' pikirku.
Pada akhirnya, aku terus menatap rambut putih dari pria itu dalam diam. Sambil membersihkan pakaianku yang kotor terkena pasir.
Aku berjalan untuk menyusul mendekatinya, tapi langkahku semakin lambat ketika melihat seorang pelayan datang mendekati Master lalu berbisik padanya.
Begitu pelayan tersebut menjauh, Master mengangguk. Pelayan itu berbalik meninggalkan Master sambil menunduk memberinya hormat.
"Ada apa?" tanyaku sambil melangkahkan kaki mendekatinya.
Master berbalik, raut wajahnya memang tetap terlihat tenang, tapi tatapannya kurasakan begitu tajam.
"Umurmu sudah berapa?" tanya Master secara mendadak.
Sebelah alisku terangkat mendengar pertanyaannya.
"12 tahun," balasku.
"Kalau begitu, ikut aku. Seseorang sedang menunggumu di ruang tunggu," ungkapnya.
Seseorang sedang menungguku?
Tidak mungkin ada orang yang mau berjumpa denganku. Tapi, jika memang ada, siapa?
"Siapa?" tanyaku.
Alih-alih menjawab, Master Cassius justru memilih melangkah meninggalkan lapangan ini. Pedang yang tadinya ia tunjukkan untuk bertarung padaku hasilnya sama sekali tidak digunakannya. Kini, pedang antik itu telah dimasukkan ke dalam sarungnya.
Sedangkan aku, mengerjapkan mata karena pertanyaanku tak kunjung dijawab dan tersadar Master sudah melangkah jauh dariku.
Secara tergesa-gesa, aku pun bergegas berjalan menyusulnya. Menuju ruang tunggu yang dikatakan oleh Master Cassius tadi.
[]