webnovel

Bab 3 - Memutuskan Tujuan

"Apa kau tidak penasaran, siapa yang sudah membuat hidupmu seperti ini?"

Bagai gemuruh muncul di dalam benakku, tak bisa kulakukan apa yang telah dipelajari oleh master untuk tersenyum, aku justru mengerutkan kening dan menatap tajam pada Tuan Leco.

"Untuk apa?" tanyaku.

Terdengar dengusan dibali senyum Tuan Leco.

"Untuk apa, huh? Kau tidak penasaran dengan siapa yang sudah membunuh kedua orang tuamu?" tanya Tuan Leco.

Mungkin saja kedua alisku kini telah menyatu mendengar pertanyaannya.

"Membunuh orang tuaku?" tanyaku.

"Ya, siapa lagi kalau bukan pahlawan manusia itu."

Pahlawan manusia yang telah membunuh kedua orang tuaku? Bagaimana bisa seorang pahlawan membunuh makhluk yang tidak bersalah?

"Kau pasti sudah tahu, di dunia ini memiliki tiga jenis makhluk. Makhluk hidup seperti manusia, hewan, dan tumbuhan. Makhluk murni seperti ras murni vampir murni, ada juga goblin, werewolf, elf. Lalu yang terakhir adalah hollow."

Tuan Leco kembali menjeda penjelasannya. Tapi, itu yang membuatku semakin penasaran.

"Hollow?" tanyaku.

"Ah benar, hollow atau disebut juga sebagai monster. Mereka biasanya hidup di bawah tanah, tapi akhir-akhir ini mereka mulai memunculkan diri di malam hari," jelas Tuan Leco.

"Tapi, bukan tentang mereka yang ingin aku katakan padamu. Kau bisa tanyakan pada Cassius tentang mereka– tujuanku ke sini hanyalah kau."

Tuan Leco mengangkat wajahnya, dia menunjuk wajahku dengan tangan kanannya. Terlihat cincin yang penuh di setiap jarinya, lalu dapat kulihat bekas jahitan yang ada di setiap buku-buku jarinya.

Tanganku ikut bergerak menunjuk wajahku. Kedua alis terangkat, mataku menatap wajah Tuan Leco.

"Aku?"

"Tentu saja. Karena kau ada disini, aku terpaksa ke tempat ini lagi," ungkapnya.

"Tapi, kenapa?" tanyaku.

Tuan Leco sempat menutup mulutnya dengan rapat. Senyumnya kian melebar hingga kedua matanya menyipit.

Sejenak, keheningan menguasai ruangan ini sebelum Tuan Leco kembali mengeluarkan suaranya.

"Rambut cokelat dan mata merah. Wajah yang manis untuk ukuran anak laki-laki berumuran 12 tahun. Kau tahu, apa yang kusuka darimu?" tanya Tuan Leco.

Jujur saja, aku tidak bisa menebak isi pikirannya.

Pertanyaan Tuan Leco begitu acak.

Lantas, aku pun mengikutinya. Aku menggeleng menjawab pertanyaannya tersebut.

"Vampir murni tidak memiliki rambut cokelat, sedangkan kau– yang jelas-jelas memiliki elemen angin dan salah satu kekuatan mutlak vampir ada dalam dirimu sudah menjelaskan kalau kau itu vampir murni. Kau tahu maksudnya?"

Aku kembali menggeleng, meski begitu, aku tahu jawaban apa yang dimaksudnya.

Tapi … kenapa bisa dia tahu elemen dan kekuatan yang ku miliki?

"Kau mengetahui jawabannya, tapi kau menggelengkan kepala. Bahkan, senyum yang biasa diturunkan tiap vampir murni saja kau tidak bisa."

Tuan Leco beranjak dari tempat duduknya. Dia berjalan menjauh dariku dan mengalihkan pandangan tepatnya menatap patung yang dimana beberapa bagiannya telah rusak.

"Kutanyakan satu hal padamu, Vladis Aaron Laius."

Suaranya yang terkesan ramah tadi kini telah berubah menjadi dingin.

Aku kembali meneguk ludah. Perasaan tidak enak menggerogotiku. Debar jantung tidak karuan membuat tubuhku terasa tidak nyaman.

"Apa tujuan hidupmu?" tanya Tuan Leco.

Tubuhku membeku di tempat. Debar jantung yang tidak karuan, darah yang berdesir hebat seakan mampu meledakkan kepalaku.

Sempat mataku melebar menatap Tuan Leco dan mulut terbuka.

"Tujuan hidupku?"

Katakan saja, aku mengulang pertanyaan Tuan Leco dari tadi, itu karena aku tidak tahu harus menjawab apa.

Apa pertanyaan seperti itu sudah bisa dikatakan wajar oleh anak berumur 12 tahun?

"Ya, tujuan hidup. Kau memasuki mansion ini, kau menjadi murid dari pria yang bernama Cassius itu. Bukankah seharusnya kau memiliki tujuan hidup?" tanya Tuan Leco.

Itu memang benar. Harusnya aku memiliki tujuan hidup.

Tentu saja aku memilikinya, tapi memulainya saja aku tidak tahu.

"Ada," jawabku.

Tuan Leco yang tadinya hendak mengangkat suara dalam sekejap berubah menjadi diam. Dia berjalan mendekati sofa dan mendudukinya lagi.

"Kalau begitu, katakan. Aku akan mengarahkanmu," ucap Tuan Leco.

Dia mengatakan akan mengarahkanku, menunjukkan jalannya, akan tetapi apa yang didapatkannya setelah itu?

"Kenapa kau ingin membantuku?" tanyaku.

"Sederhananya, karena aku ingin," ungkapnya.

Itu bukan jawaban yang kuinginkan ….

"Kalau lebih jelasnya, itu karena kau seperti patung itu."

Tuan Leco menunjuk ke arah kanan. Spontanitas membawa mataku menuju ke arah yang ditunjuk oleh Tuan Leco.

Patung seorang pria yang mengenakan topeng. Aku tidak tahu patung apa itu, tapi itu terlihat memiliki makna dia memiliki banyak muka.

Pandanganku beralih menatap Tuan Leco; penuh tanya, sampai-sampai sebelah alisku terangkat dengan tatapan tidak mengerti.

"Patung yang memiliki banyak topeng. Aku juga tidak tahu patung apa itu– apa ada kaitannya dengan dewa atau tidak, tapi yang jelas, dirimu ada di sana," tuturnya.

"Aku tidak mengerti apa maksudmu, tuan," balasku, jujur.

Tuan Leco terkikik geli. "Itu karena kau masih kecil. Aku tertarik membantumu karena kau menarik. Kekuatanmu yang unik dan penampilanmu bukan seperti vampir murni pada umumnya. Aku penasaran, seperti apa kau nanti."

Entah mengapa, aku merasa Tuan Leco terlalu banyak bicara. Mungkin saja, kalau diajak berdebat, orang-orang tidak akan bisa mengalahkannya.

Bahkan sekarang, aku tidak tahu harus bicara seperti apa.

Ada banyak pertanyaan yang muncul di benakku, dan saat ini, aku juga kebingungan memikirkan tujuanku yang seharusnya sederhana.

Helaan napas menarik perhatianku, Tuan Leco lah pelakunya.

Dia menunjukkan raut wajah sedihnya, dengan dagu yang ditopang lagi ke atas kedua punggung tangannya.

"Apa kau tidak penasaran dengan kematian kedua orang tuamu?" tanya Tuan Leco. "Padahal, aku sangat yakin kalau kau akan tertarik."

"Aku penasaran, tapi aku tidak yakin kalau yang membunuh itu seorang pahlawan," balasku.

Nada suara ku kian mengecil. Bagaimana bisa seorang anak kecil melawan orang dewasa.

Kedua tangan yang diletakkan ke atas lutut ini kukepalkan dengan erat. Kedua bahu menjadi terangkat dan aku menundukkan pandangan.

Sempat, keheningan kembali menguasai ruangan ini. Terlihat seperti Tuan Leco sedang mencari jawaban.

"Yah … wajar saja anak kecil sepertimu mengatakan pahlawan akan selalu berada di sisi kebaikan," ucapnya.

Tuan Leco beranjak dari tempat duduknya lagi. Berjalan mendekati cahaya dan menatap langit biru dari balik jendela mansion yang begitu besar.

"Tapi, tidak selamanya pahlawan itu benar. Contohnya saja kebakaran yang menghabiskan satu keluarga kerajaan itu, menyisakan satu orang anak kecil," jelasnya.

Dadaku bergemuruh begitu mendengar ucapannya.

Api yang melahap habis satu keluarga kerajaan yang dimaksudnya seakan sedang menyindirku.

"Dia datang ke kerajaan vampir hanya untuk menghabisinya, membunuh vampir dengan sihir api mereka dan mengatakan–"

Tuan Leco menarik napas.

"Oh, dewi! Keadilan ada di tanganmu! Kejayaan manusia akan tiba pada masanya dan para vampir ini akan habis di tangan kebenaran!"

Dia membalikkan tubuh, berputar seperti sedang menjalankan drama.

"Api membawa kejayaan! Menuntun kebenaran dan melindungi manusia dari para vampir keji! Maka dari itu! Semoga– kau! Raja vampir yang keji mati dengan cara yang seharusnya!"

Api membawa kejayaan. Mengatakan bahwa mereka lah yang benar.

Debar jantungku semakin cepat hingga sulit bagiku untuk bernapas. Amarah yang besar tiba-tiba muncul dari dalam diriku.

Aku tahu siapa yang Tuan Leco maksud.

Tuan Leco menurunkan tangannya. Kini, dia telah memperbaiki posisi berdiri menjadi sewajarnya.

"Dan … raja vampir mati di hunus pedang. Saat itulah, api menjalar ke satu kerajaan vampir murni."

Sudah cukup.

Orang tuaku mati dengan cara yang tidak wajar dan–

Sial.

Prang!

Kesabaranku habis hingga tanpa sengaja, aku melepaskan sedikit amarahku dan membentuknya menjadi kekuatan.

Tanpa diinginkan, tiap kaca jendela yang ada di dalam ruang tunggu ini pecah karena tekanan yang begitu kuat keluar dari kekuatan ini.

Aku menunduk, mencoba untuk terus menahan emosi, tapi semakin ku coba, semakin terus terpikirkan olehku penyebab mereka mati.

Sekilas, aku teringat akan apa yang diajarkan oleh master.

Tersenyum meski kau sedang marah.

Kucoba untuk tersenyum, tapi tidak bisa. Pada akhirnya, aku menutup wajahku dengan kedua tangan.

Melalui sela jari, aku memandang Tuan Leco dari kejauhan.

Dia menyunggingkan senyum, meskipun wajahnya terluka terkena beling kaca.

Itu cukup pantas didapatinya.

"Jadi, apa kau masih mau membiarkan mereka berjaya?" tanya Tuan Leco.

Sebutan 'mereka' yang jelas tertuju pada pahlawan yang menganggap dirinya berada di jalan yang benar ….

Aku pun mengangkat wajahku. Kali ini, senyum muncul disaat amarah menguasaiku.

"Tidak. Akan kubalas dendam orang-orang yang mati dibunuh oleh mereka," balasku.

Clang!

Terdengar suara nampan yang jatuh dan suara gelas yang pecah beradu menjadi satu. Akan tetapi, aku tidak peduli sampai mendengar suara yang begitu menekan dari Master Cassius.

"Apa yang baru saja kau bicarakan pada Vladis?"