webnovel

Mimpi

PENGUMUMAN! Buku 1 TAMAT [Berlanjut ke Buku 2 dengan Judul MIMPI: Takdir Yang Hadir] Catatan: Buku ini akan dibagi jadi 3/trilogi. Buku 1: MIMPI (Isi 202 bab) Buku 2: MIMPI: Takdir Yang Hadir (Segera!) Buku 3: MIMPI: Akhir Sebuah Takdir (Belum) . . SINOPSIS: Renji Isamu. Pria 29 Tahun. Biseksual. Novelis BL selebriti nomor 1 Di Jepang. Tampan, berdompet tebal, professional, namun sebenarnya tidak bahagia. Renji terbiasa melakukan one night stand. Dengan lelaki. Dengan perempuan. Dengan teman. Dengan pelacur. Baginya semua sama saja. Di masa lalu Renji tidak seperti itu. Hanya saja kekecewaan yang mendalam telah merubahnya. Karena sang ayah membenci dirinya yang bisa mencintai laki-laki juga, Renji terpisah dari Veer dan keluarganya dari Jerman. Dia lalu melarikan diri ... Dan kemudian hidup seorang diri di Jepang. Di Jepang Renji jatuh cinta lagi dengan Jean. Seorang gadis. Tapi, lagi-lagi dia jatuh patah. Dan saat dia akan serius dengan Haru, seorang lelaki, kenyataan telah menamparnya keras-keras. Dua kali gagal pernikahan. Renji tidak ingin menjalani kehidupan romansa dan persetan dengan segalanya. Namun, pada suatu hari Renji bertemu dengan Ginnan Takahashi. Seorang gigolo. Pelacur pria di sebuah bar 24 Jam. Mereka bertemu tanpa sengaja. Mereka saling menatap tanpa rencana. Dan mereka jatuh cinta dengan begitu banyak cerita. . . . NB: Biseksual adalah kecenderungan bisa mencintai laki-laki maupun perempuan sekaligus. . . IG: @mimpi_work (CEK DAN FOLLOW. BERISI VISUAL PARA TOKOH DAN SETTING DI DALAM NOVEL)

Om_Rengginnang · LGBT+
Pas assez d’évaluations
220 Chs

Bab 24: Kenangan

10 tahun lalu…

Mari kita kembali ke masa 10 tahun lalu. Tepat ke fase yang Renji pertanyakan. Usia Ginnan masih 20 saat itu. Dia kuliah jurusan Desain Grafis di Universitas Kyoto pada tahun kedua.

Penampilan Ginnan masih polos seperti lelaki seumurannya. Pipiya bulat, rambutnya tak bersemir, dan hubungannya dengan Yuki masih sepanas biasanya. Setiap hari, dia memiliki rutinitas menunggui wanita itu di luar pintu ketika jam pulang.

Aku sudah di sini. Keluarlah.

—Ginnan

Tak ada lima menit, Yuki sudah menepuk bahunya dari belakang. Wanita itu tersenyum manis dengan menyingsingkan rambutnya. Membuat anting bunga disana terlihat dengan kilaunya yang terang.

Seketika Ginnan pun ikut tersenyum. "Kau memakainya?"

Yuki menampar bahunya gemas. "Tentu saja. Hadiah darimu tak boleh sia-sia..." katanya senang. "Oh, ya... yakin mau menemaniku panahan hari ini?"

Seperti biasa, mereka lalu berjalan keluar kampus berdampingan.

"Yeah..." cengir Ginnan. Dia mengambil tas selempang Yuki dan membawakannya sekalian. "Kudengar kau naik level. Kalau kulewatkan tidak bagus kan?"

Senyum Yuki pun melebar, namun dia hanya menggeleng pelan tanpa mengatakan apapun. Di persimpangan jalan, Ginnan sering mengajaknya berhenti untuk membeli Creepe. Tapi kali ini Yuki malah menggandeng tangan lelaki itu ke penjual es krim. "Kesini sebentar..." ajaknya.

Ginnan pun tertarik dengan ekspresi kaget yang susah dijelaskan. "Hei! Katamu—"

"Mau es krim cokelat?"

Ginnan belum sempat menolak saat Yuki memesan dua es krim. Si penjual pun cengar-cengir melihat pasangan kekasih itu. "Aku beri ekstra satu kali ini. Karena aku gemas... haha..." tawanya sembari menambahkan rasa vanila.

Salah tingkah, Ginnan pun menerima es krim itu. "Terima kasih..." katanya. Lalu mengeluarkan beberapa yen untuk membayar.

Yuki menatap Ginnan dengan kikikan. Wanita itu terlihat puas dengan apa yang dia perbuat. Dia tahu Ginnan memiliki pengaturan uang yang sangat detail. Pemasukan, pengeluaran, jatah kost per bulan, bahkan uang jajan sehari-hari telah dirinci penuh teliti. Kemarin mereka sudah makan es krim. Jadi Ginnan pasti ingin Creepe hari ini. Tapi sekarang lelaki itu takkan memeluk harapannya.

"Aku juga berterima kasih, ya..." kata Yuki. Sepanjang jalan dia menyenggol bahu Ginnan agar lelaki itu melupakan. "Lihat? Bukankah penjual itu memberimu dua es krim?"

"Buat apa?" gerutu Ginnan. Dia menatap es krim-es krim itu dengan kesal. "Satu saja sudah bosan. Memang kau mau memakannya?"

"No! Aku kan sedang diet..."

"Kau sedang diet tapi masih saja beli ini."

Yuki tertawa. "Kalau tidak mau, berikan ke orang saja."

"Orang asing? Siapa?"

"Siapa lah... siapapun pasti suka coklat."

Hidung Ginnan mengerut. "Yang mau kuberikan rasa vanila."

"Ya ampun..."

Ginnan cemberut tapi tetap memakan keduanya. Yuki sampai mati-matian tak tertawa keras melihat ekspresi kekasihnya itu. Sepanjang jalan Ginnan berusaha menghabiskan. Pertama cokelat, kedua vanila. Yuki pun mengepalkan tangan untuk menyemangati.

"Habiskan... habiskan..." kata Yuki. "Aku ingin sekali melihatmu lebih gemuk."

"Apa-apaan..."

Bibir Ginnan masih comot krim putih saat itu.

"Kan kalau kupeluk nanti jadi lebih hangat."

DEG

Ginnan membuang muka. Langsung tergagap. "T-Terserah saja..."

Yuki menggandeng tangannya lagi. Mereka menyeberang zebra cross sebelum melewati rute kecil di tepi trotoar. Rute itu dihiasi tanaman-tanaman pot sampai ke tempat les panahan yang sebesar toko kue. Tak ada plang yang terpasang disana. Hiasannya bahkan bebungaan. Tapi jika kau sudah melangkah masuk ke dalam... ada sekitar 50 orang yang berjejer dengan busur setinggi orang dewasa. Latihan. Suara bidikan yang melesat ke target sahut menyahut di udara.

"Ha!"

JLEB!

"Ha!"

JLEB-JLEB-JLEB!

"HA!"

Dan begitu seterusnya.

Ginnan duduk di kursi penonton saat Yuki berganti seragam Kyudo. Dia menatap ke sekitar dan mengambil beberapa foto. Niatnya mengabadikan kenangan, justru ada satu lelaki yang menangkap basah dirinya tiba-tiba. "Berikan ponselmu," perintahnya.

(Nb: Kyudo adalah panahan Jepang. Biasanya panah yang dipakai sangat besar dan dengungan talinya saat melesat bernama Tsurune)

Lelaki itu terlihat masih sangat muda. Mungkin umurnya masih belasan, namun tingginya sudah menjulang melahap tubuh Ginnan.

Ginnan bahkan mendongak meski sudah beranjak berdiri. "Maaf..." katanya. "Niatku tadi hanya mengambil gambar random. Sumpah..."

Lelaki itu sudah merebut ponsel Ginnan. Membukanya, melihat-lihat foto yang lain juga, sebelum mengembalikan dengan lemparan ke dada. Ginnan nyaris mengumpat saat berusaha menangkap benda itu.

"Kau pacar Yuki ternyata..." kata lelaki itu. Lantas menatap Ginnan dari atas ke bawah, lalu kembali ke atas lagi. Dia mendengus tersenyum. "Hmph, cantik seperti perempuan. Yuki benar-benar menyedihkan..."

DEG

"Apa katamu?!"

"Bukan apa-apa," katanya. "Hanya saja dia bodoh menolakku hanya demi lelaki sepertimu."

Ginnan mengepalkan tangan meski sudah ditinggalkan. Lelaki itu kembali mengisi selongsongnya dengan anak panah dan membidik sasaran yang lain. Begitu saja. Seolah tak pernah terjadi apa-apa.

Yuki kembali sesaat kemudian. Wanita itu menyengir lebar sambil bertolak pinggang. "Bagaimana seragamku? Cantik?"

Ginnan pun tersenyum meski hambar. "Ya. Sangat."

"Kalau aku?"

Yuki mengibaskan rambutnya yang dikuncir tinggi.

Ginnan baru tersenyum tulus kali ini. "Lebih dari sangat."

Yuki selalu suka dipuji, bahkan dalam hal sekecil apapun. Terlebih jika diperhatikan. Semakin Ginnan fokus melihatnya, bukannya gugup, Yuki justru semakin fokus membidik sasarannya. Yang Ginnan tidak suka, tempat latihan wanita itu ada di sebelah lelaki muda tadi. Dia bilang sudah ditolak, tapi Yuki tidak terlihat terganggu dengan keberadaannya. Mereka tampak akrab. Sampai-sampai tidak sungkan berbagi minuman saat jam istirahat.

Yuki baru kembali padanya setelah berganti pakaian lagi.

"Bagaimana performaku? Bagus?"

Ginnan memberikan handuk kecil, "Tentu saja. Kau yang terbagus."

Yuki baru memukul bahunya kali ini. "Tidak percaya... dasar..."

Ginnan tersenyum. "Yang kulihat hanya kau. Tentu kau yang terbagus..."

"Haaa... begitu..."

Sore itu, harusnya mereka langsung pulang. Sayang lelaki muda tadi tidak membiarkannya berjalan lancar. "Yuki-chan..." panggilnya.

Yuki pun menoleh, padahal mereka berdua sudah sampai di gerbang depan. "Ya?"

Lelaki muda tadi berlari. Di depan Yuki dia menunjukkan sebuah benda mungil dalam kepalan. "Antingmu. Tadi terjatuh di sebelahku."

Yuki tampak kaget. "Oh, ya? Wah..."

"Bilang apa?"

Ginnan tetap diam. Dia hanya mengawasi tiap tingkah lelaki muda itu.

"Terima kasih..." kata Yuki. Dia mengambil anting itu dan memberikannya ke Ginnan. "Pasangkan lagi, mau kan?"

"Hm.." kata Ginnan. Mendadak panas dan mengatakan hal yang tak terpikirkan. "Tapi nanti saja. Sekarang ayo kita pulang."

"Apa?"

Ginnan menerima anting itu, menatap lelaki muda tadi, lalu menggandeng Yuki pergi. "Kita bisa terlambat makan malam.."

"Eh? Tapi... tapi aku kan belum—"

Ginnan tak peduli. Dia tetap bersikukuh menyeret Yuki hingga masuk bis dan pulang ke tempat kost mereka. Resah, Yuki pun menghempas tangannya sangat kasar.

"Hei!"

"Kau ini kenapa?" bentak Yuki. Wajahnya memerah, begitu pun Ginnan. Nafas mereka bersengalan. "Tadi tidak kenapa-napa kan? Sekarang malah seperti ini... katakan ada masalah apa sebenarnya?"

Ginnan meremas anting itu dalam kepalan. Ditatapnya Yuki, matanya yang tegang, begitu pun seluruh otot di tubuhnya. Dia ingin berteriak mengenai segala kelakuan lelaki muda tadi, tapi tak sanggup. Yuki tidak salah apa-apa. Jadi kenapa harus dilakukan?

Hampir semenit bersitegang, akhirnya Ginnan justru memeluk Yuki. Sangat erat. Seolah itu hari terakhir mereka melakukannya dan membuat wanita itu tergugu bisu. Ginnan menghirup aroma manis dari leher itu dan membelai rambutnya yang lembut.

Suara Ginnan tercekat. "Maaf..."

Yuki diam.

"Aku tak bermaksud begitu. Aku hanya tidak suka melihat lelaki tadi."

Seketika ekspresi Yuki berubah. "Apa?"

"Siapa lah. Dia yang latihan di sebelahmu."

Yuki pun melepas pelukan Ginnan, diam sebentar, lalu tertawa. "Astaga... serius?" katanya tak habis pikir. "Memang dia baru saja melakukan apa padamu?"

Ginnan tampak tak kalah terkejut.

Kenapa Yuki terlihat biasa saja?

.

.

.

NB: Saya sarankan membaca author's note juga pada tiap bab. Karena di sana ada hal-hal yang cukup penting untuk diketahui.

Visual Ginnan, Aoki, dan Yuki saat memanah Kyudo ada di IG khusus novel saya :")

Follow ya... @mimpi_work

Om_Rengginnangcreators' thoughts