webnovel

METEOR

Laura terjebak dalam kehidupan hitam seorang Arjuna Zander Alzelvin.Penuh teka-teki, fakta, hingga cintanya di pertaruhkan. Arjuna tau makna kehilangan, di jauhi, hingga di kucilkan. Arjuna hadir dalam hidup Laura, memberi hal baru, canda tawa, dan mengajarkan perjuangan yang sesungguhnya.

hiksnj · Action
Pas assez d’évaluations
41 Chs

34. Sisi rapuh

Yang menyendiri dan bersedih butuh teman dan rengkuhan akan keluh kesah berat beban masalahnya. -Anonim

🍁🍁🍁

Juna yang menunggu Laura datang pun sudah sekitar 10 menit. Meskipun Juna jadi bahan cubitan gemay ceunah dari para fans-nya di posisi finger print absensi.

"Aww, imut banget sih. Jadi pingin bawa pulang!" pekik suara cempreng itu, tangannya berusaha mencubit pipi Juna, tapi cowok itu menyingkirkannya dengan halus. "Kalian bisa pergi, gak usah modus ke saya," tekannya dingin.

Tentu saja mereka memilih pergi daripada terkena amukan singa yang baru keluar dari goa persembunyiannya.

Juna menghela nafasnya. "Masa iya gak datang? Gue aja nunggunya kayak kepastian si doi ungkapin perasaan aja,"

Jaka, Satya, Sam dan Alvaro baru saja datang. Mereka heran mendapati Juna hanya berdiri di samping finger print absensi bak patung macan yang kerap kali di jadikan hiasan rumah.

"Eh, ada si bos. Nungguin siapa nih?" tanya Sam dengan nada menggoda, menaik turunkan alisnya. 'Siapa tau ada yang kepincut sama pesona gue. Ye kan?' batin Sam cekikikan sendiri.

"Bau-bau kekhawatiran calon gebetan gak masuk nih," Alvaro mengendus-ngendus. "Eh, tapi kalau emang masuk apa gak, kenapa gak samperin temennya aja? Siapa tuh namanya, brambang yo?"

Jaka menjitak kepala Sam. "Brambang-brambang. Itu bawang Al!" koreksi Jaka geregetan.

Radit dan Adit datang dengan dagangan es selendang mayangnya.

"Kalian gak mau beli? Pagi-pagi yang seger-seger dulu atuh," tawar Adit. Pastinya mereka akan membeli lebih, dan memborong untuk Sam tukang makan.

"Beli lah. Gue dua bungkus aja ya dit," Sam menyodorkan uang 50 ribunya. "Kembaliannya, ambil aja yak. Buat uang jajan adik panti lo,"

"Makasih ya Sam," ujar Radit tak enak hati. Sam begitu baik, meskipun gesrek tingkahnya, playboy cap kelas ikan arwana, tapi dermawannya itu cukup membantu finansial keuangan di panti asuhan.

"Gue juga, tapi nanti aja ya pulang sekolah. Mau beliin buat adik gue. Nih uangnya, dua ta dit," Satya memberikan uang 20 ribu pada Adit.

"Adik lo seneng banget ya sama es?" tanya Radit. Satya memang selalu beli di saat pulang sekolah.

Satya mengangguk. "Seneng banget. Lo tau di kulkas? Isinya es kotak-kotak kecil itu. Jadi kalau minum gak pakai es, gak seger katanya,"

Bram menerobos kelima anggota Meteor itu yang menghalangi jalannya untuk absensi.

Dengan gerakan terburu-buru, Bram berdecak saat finger print itu selalu menceramahi coba lagi.

"Sabar Bram. Tangan lo basah kali," celetuk Alvaro. Mau bagaimana pun, absensi itu penting terutama sebelum bel masuk berbunyi, daripada nantinya tercatat otomatis dan terdata sebagai siswa yang terlambat.

Ini adalah kesempatan Juna untuk bertanya.

"Laura masuk?"

Bram menoleh. Menggeleng. "Gak tau," jawabnya acuh. Sejak kemarin Laura tidak mengabarinya sama sekali, tentu membuat emosinya bangkit. Takut terjadi apa-apa dengan sahabatnya ini.

"Jawab yang jujur. Masuk gak?" tanya Juna sekali lagi. Berharap, Laura masuk dan bukannya Alpha seperti ini yang dimana otomatis akan di berikan poin 2.5.

Bran menghela nafasnya. "Gak!' tekannya malas. Setelah berhasil absensi, Bram pergi daripada meladeni pertanyaan Juna yang tiada habisnya.

Alvaro menepuk bahu Juna dua kali. "Sabar bos. Mungkin besok baru masuk,"

"Kuy lah ke kelas. Dua menit lagi bel nih," Satya tak ingin telat masuk kelas. Bisa-bisanya nanti sang wali kelas akan bertanya ini-itu. Sudah bel masih saja berkeliaran di luar kelas.

"Let's go besties!" seru Sam riang.

Jaka memiting Sam gemas. "Lo kira kita cewek?" tekannya kesal.

"We are boys handsome," jawab Alvaro dengan sigap. Sam pura-pura muntah. Wajah Alvaro berubah datar.

"Emang bener toh kita cogannya SMA PERMATA. Iya kan?"

Tak ada yang menggubris dan memilih pergi.

"Sungguh, teganya teganya teganya teganya," nyanyi Alvaro memegangi dadanya seolah sesak, sakit tak berdarah.

🍁🍁🍁

Laura yang tengah memejamkan matanya pun merasa terganggu dengan keributan yang sudah memekakan telinga di pagi hari.

Laura menatap jam dindingnya. Sudah jam 8. Dan tidak ada yang membangunkannya?

Laura panik, apakah ia bersekolah saja? Atau membolos?

"Udah aku bilang! Jangan ambil uangku yang ada di lemari! Tuh, sampai habis! Ludes sama dompetnya sekalian!" teriak Brian dengan amarah memuncak bak naik-naik ke puncak gunung saja.

Cica tersenyum remeh. Selama ini ia tidak di nafkahi.

"Seharusnya kamu yang harus sadar diri mas! Aku ini istri kamu! Selama ini kamu gak nafkahin aku! Uangnya selalu buat Laura terus!" sanggah Cica tak mau kalah. Biarpun hanya 20 ribu, masih belum cukup untuk merawat dirinya juga.

"Nyalahin aku huh?! Masih kurang?!" Brian mengeluarkan sisa uang di saku celananya. Menghamburkan uang yang tersisa seratus ribu saja itu. "Nih! Makan tuh uang! Lagipula, kamu gak bisa mengatur keuangan dengan baik!" Brian sudah cukup sabar menghadapi sifat Cica yang tak mau mengalah, keras kepala, dan pemarah.

Laura mengurungkan niatnya untuk keluar dari kamar. Dirinya sudah siap dengan seragam putih abu-abunya.

"Cukup, kalian jangan berantem lagi. Laura capek," ia terduduk di pintu dengan air matanya yang mulai keluar. Dengan terisak, Laura terus menekan dadanya. Rasa sakit itu muncul kembali.

"Kalau kalian terus berantem gini. Mending aku mati, mati," ujarnya terisak, biarlah ia pergi selamanya. Toh pasti tak ada beban lagi yang akan mereka pikul.

Ponselnya berdering. Nama Bram tertera disana. Sahabatnya itu video call.

Dengan cepat, Laura menghapus air matanya. Berusaha terlihat baik-baik saja.

Bram melemparkan senyumnya. "Kenapa gak masuk ra? Terus, itu kamu udah makai seragam. Kenapa? Sok atuh cerita sama aku,"

"Kamu tau sendirilah Bram. Tadinya, aku mau berangkat ke sekolah, meskipun udah jam delapan. Tapi aku gak mau bolos dan kena poin lagi," jawabnya menunduk. Tak berani menatap mata Bram lekat, cowok itu akan menyadarinya bahwa ia telag menangis.

"Oh, yaudah. Kamu bilang aja ke walikelas sakit. Suratnya bisa nyusul besok, daripada kamu kena poin ra," kata Bram khawatir.

"Tapi Bram. Di sekolah kita kan gak boleh malsuin tanda tangan orang tua," ujar Laura takut. Mau bagaimana pun motif siswa bebal hobi bolos, guru akan tau perbedaan tanda tangan asli dan palsu. Memang sekolahnya menerapkan peraturan dan tata tertib yang tak main-main agar mendidik siswa-siswi berbudi luhur bermutu unggul.

"Yaudah, kamu masuk aja. Tapi lewat gerbang belakang ya. Untung aja tadi jamkos sampai istirahat, coba kalau gak. Bakal di omelin sama sekretaris kamu," kata Bram lega. Sedang ada rapat dadakan.

"Makasih ya Bram. Tapi, temuin aku disana ya? Soalnya, kak Juna pasti ada disana juga. Nyari siswa yang mau bolos dan keluar-masuk seenaknya," pintanya lirih.

"Pasti. Buruan berangkat ra," titah Bram tak sabaran.

Laura mengangguk. "Sampai ketemu nanti,"

Dan dirinya memilih keluar melalui jendela kamar. Kali ini ia akan hutang lagi pada ojek langganannya.

🍁🍁🍁

Sesampainya di gerbang belakang sekolah, Bram memang menunggunya.

"Bram!" panggil Laura, cowok itu menoleh ke arahnya.

"Cepetan ra. Sebelum Juna kesini," ujar Bram tak sabaran.

"Iya-iya," Laura berlari kecil menghampiri Bram.

"Tas lo mending di tutupin pakai jaket gue aja ra. Nih," Bram melepas jaketnya, demi keamanan agar para lambe nyinyir saudaranya turah tak perlu tau dan mengkritik pedas seenaknya.

"Iya, makasih Bram," Laura memakai jaket Bram terburu-buru.

"Ke kelas dulu, baru kantin,"

Laura tak menggubris, raganya memang disini, tapi jiwanya di rumahnya. Masih terngiang kejadian tadi pagi.

Bram mengguncang bahu Laura, sahabatnya ini melamun.

"Ra? Kamu ada masalah? Cerita ke aku, jangan kamu pendam sendiri,"

Langkah keduanya terhenti.

Laura mulai sesenggukan, matanya berkaca-kaca. Bram memeluknya.

"Bram, aku bener-bener gak kuat. Aku mati aja Bram. Aku beban, kehadiranku gak guna Bram!" racaunya. Hatinya benar-benar lega setelah mengungkapkan uneg-uneg (curhatan) pada Bram.

Bram melepas pelukannya. "Ra, kamu jangan ngomong gitu,"

Dan Juna yang menyaksikan itu semua. Sungguh sesak dan sakitnya ia ikut merasakan derita Laura.

"Tapi, kayaknya Bram itu sandaran kamu ya Ra? Sampai aku, sebagai pacar kamu di lupain?" lirih Juna parau. Cemburu, sesak, hingga kecewa bercampur menjadi satu. Ia bukanlah siapa-siapa Laura meskipun dirinya yang mengklaim cewek itu sebagai pacarnya.

🍁🍁🍁