webnovel

METEOR

Laura terjebak dalam kehidupan hitam seorang Arjuna Zander Alzelvin.Penuh teka-teki, fakta, hingga cintanya di pertaruhkan. Arjuna tau makna kehilangan, di jauhi, hingga di kucilkan. Arjuna hadir dalam hidup Laura, memberi hal baru, canda tawa, dan mengajarkan perjuangan yang sesungguhnya.

hiksnj · Action
Not enough ratings
41 Chs

35. Kerasnya hidup

Entah Tuhan itu adil atau gak, aku selalu berada di roda terbawah. -Laura

🍁🍁🍁

Bram baru menyadari wajah Laura yang begitu pucat.

Bram membingkai pipi Laura. "Kamu sakit? Ke UKS aja ya?"

Laura menggeleng lemah. "Aku baik-baik aja kok," kilahnya, tapi rasa pusing dan denyut jantung yang tak beraturan membuat dirinya terhuyung, pandangannya menggelap. Terakhir yang ia dengar adalah teriakan Bram meminta di panggilkan PMR.

🍁🍁🍁

Memang jamkos selalu membuat para siswa suka kelayapan. Tapi untuk 7 cogan itu, memilih konser di kelas, berdagang untuk Radit dan Adit, belajar untuk Satya, begajulan untuk Sam dan Alvaro, Jaka dan Juna? Hanya duduk terdiam menonton aksi konyol sahabatnya itu.

"Teruntuk cewek-cewek yang suka K-Pop mari kita nyanyi Dynamite! Dit, musiknya dong," Sam sudah berada di posisi paling depan, entah sejak kapan cowok itu berjalan.

"Gue dagang Sam. Lo gak liat?" kesal Adit yang tengah kewalahan mengambili satu-persatu uang dari para pembelinya, di kelasnya sendiri, hingga tetangga dan yang jauh pun mengerumuni dirinya dan Radit.

"Eh, gue duluan dong! Haus nih," ketus salah satu cewek yang tengah protes, dia paling depan namun terhuyung sana-sini kesana dan kemari.

"Sabar dong. Gue juga antri nih daritadi," sahut cewek di sebelahnya.

Rara dan Rina baru saja memasuki kelas SEBELMA.

Saat akan duduk dan terlebih melewati Juna dulu, Rara mulai bergosip.

"Duh, Laura emang suka pingsan gitu ya? Kasihan banget, katanya sih badannya panas, pucet banget dia. Pas di bopong sama petugas PMR katanya ringan banget," kata Rara membuka penggosipannya. Juna, Jaka dan Satya pun mulai menguping.

'Laura pingsan? Sakit? Harus ke UKS nih,' batin Juna di liputi rasa cemas. Ia beranjak, namun Satya mencekal tangannya.

"Lo ke UKS?" tanya Satya sudah tau.

Rara pun menggentikan langkahnya, ia berbalik menatap Juna. "Eh, ngapain ke UKS? Laura mau pulang, di anter mobil sekolah,"

Juna menatap Rara bingung. "Terus? Sekarang mobilnya udah jalan?"

"Belum, walikelasnya masih ngambil tasnya Laura dulu di kelas," tambah Rina. "Buruan samperin sekarang Jun!"

Juna berlari keluar kelas, pandangannya menelisik mencari mobil milik sekolah yang biasanya terparkir di depan kelas 11 Mipa 1.

Namun, mobil milik sekolahnya itu mulai menjauh. Juna terlambat.

'Maaf Ra. Aku gak bisa selalu ada di sisi kamu. Aku emang gak becus jagain kamu. Aku gak berguna,' batin Juna penuh sesal. Selalu saja Bram yang menang, dirinya selalu tersisihkan seakan tak di izinkan berada di dekat Laura.

Sedangkan Laura yang setengah sadar pun, terus mengeluh kesakitan. Bu Setyaningrum yang memangku kepala Laura di pahanya pun tak tega.

"Sabar ya nak. Sebentar lagi sampai, di tahan dulu sakitnya," ujar bu Setyaningrum sambil mengusap kepala Laura. Muridnya ini terus mengeluh sakit di bagian dada kirinya.

"Bu, aku gak kuat. Aku-" suara Laura tercekat, ia terpejam kembali.

Bu Setyaningrum tak henti mendoakan Laura untuk kesembuhannya.

"Kamu pasti kuat Laura. Pak! Ngebut sedikit! Kasihan Laura, nanti orang tuanya khawatir," ia sudah menghubungi orang tua Laura, ayahnya berkata agar Laura segera di bawa pulang.

"Baik bu," ucap sang supir mengangguk. Ia bahkan khawatir akan kondisi murid teladannya SMA PERMATA itu. Selalu pingsan, mengeluh sakit, dan masih banyak lagi. 'Kamu pasti sembuh Laura, pasti Tuhan akan memberikan kesembuhan bagi hambanya yang sakit,' batinnya pilu.

🍁🍁🍁

Saat sampai di rumah Laura, bu Setyaningrum menggendong Laura bridal style.

"Assalamualaikum!"

Pintu terbuka, Brian langsung mengambil alih putri tunggalnya itu.

"Waalaikumsalam. Mari bu, masuk,"

"Gak usah pak, makasih. Saya harus ngajar dulu, permisi," bu Setyaningrum pamit.

Brian membawa putrinya ke kamar. Menidurkan pelan-pelan.

Brian mengusap pelipis Laura yang berkeringat. "Kamu kenapa lagi nak?" tanya Brian dengan nada paraunya.

Cica yang baru saja dari luar melihat mobil sekolah Laura dengan tulisan SMA PERMATA di bagian kaca belakang mobilnya.

"Wah, pasti ada yang gak beres nih," Cica melangkah tergesa memasuki rumahnya.

Saat sudah di kamar Laura, anak tunggalnya itu tengah di suapi bubur oleh Brian. Enak sekali, pikirnya.

"Oh, jadi pura-pura sakit biar bisa tiduran di rumah dan makan bubur? Iya? Jawab?!" bentak Cica marah, Laura memang ada seribu alasan bak lagu dangdut saja.

"Seharusnya kamu tanya keadaan Laura. Bukan datang malah marah-marah," tukas Brian dingin.

"Terserah aku dong mas. Sini kamu!" Cica menarik paksa tangan Laura. Brian berusaha menghalanginya.

"Kamu jangan kasar dong! Laura lagi sakit!" ketus Brian menyingkirkan tangan istrinya itu.

"Sok manja! Pura-pura sakit," gerutu Cica dengan bersidedap dada.

"Gini aja deh, Laura ikut aku. Sayang, kita tinggalin rumah penuh penderitaan ini," Cica meraih tangan Laura lembut, hanya akting saja. 'Toh aku gak sudi tinggal disini lagi. Selalu aja menderita,' sungut Cica dalam hati.

Dengan terpaksa dan kondisinya masih belum pulih, Laura berdiri. "Tapi, gimana sama ayah? Ayah disini sendirian," Laura tak rela meninggalkan ayahnya. 'Jika aku di hadapkan pilihan, lebih baik aku tinggal dengan ayah daripada ibu,' ingin sekali Laura mengucapkan kata-kata itu, namun tertahan dan kelu.

Brian menggeleng. "Gak, kamu jangan tinggalin ayah," tukas Brian tegas. Ia berdiri di tengah-tengah Laura dan Cica. "Kalau kamu yang pergi, silahkan. Pintu keluar ada disana," Brian mempersilahkan Cica pergi.

Cica menarik tangan Laura kembali, kali ini ia mencengkram pergelangan Laura lebih kuat.

"Ayo, kita pergi darisini," Cica menyeret Laura, Brian meraih tangan Laura yang bebas. "Gak! Laura tetap disini, kalau kamu yang gak betah pergi aja. Gak usah libatin Laura juga!" sentak Brian marah. Mau hidup dengan siapa dirinya? Laura saja sudah cukup untuk mengisi kehidupannya tanpa Cica sekalipun.

Cica menarik tangan Laura, hingga anaknya itu ia dekap. "Jangan halangin aku! Urus aja hidup kamu sendiri," Cica mempercepat langkahnya, menuju kamar Laura dan mengambil tas yang sudah ia siapkan untuk minggat (pergi).

Cica memasukkan asal beberapa pakaian Laura. "Nih, cepetan kamu bawa. Lewat jendela sana," titah Cica tak sabaran. Tak ada pergerakan dari Laura, anaknya itu masih mematung dengan pandangan kosongnya.

"Malah ngelamun. Lewat jendela sana! Gak denger apa yang ibu omongin barusan?!" gertak Cica mengagetkan Laura.

"I-iya bu," Laura melangkah menuju jendela kamarnya. 'Terus aku tinggal dimana? Masa iya kolong jembatan? Tega banget sih ibu. Mending disini sama ayah,' Laura masih tak rela. Ia berusaha mencari tempat persembunyian agar ibunya itu tidak ikut menyeretnya pergi dari rumah ini.

Laura bersembunyi di balik tembok, sesekali mengintip apakah ibunya itu sudah keluar, nyatanya belum setelah ia mendengar perdebatan kembali dengan ayahnya.

"Mana Laura? Pasti kamu suruh pergi duluan kan?" Brian menelisik dari segala sudut, hanya satu yaitu jendela yang terbuka. "Kenapa gak lewat depan? Takut?"

Cica gelagapan. "Y-ya terserah aku dong mau lewat mana. Bukan urusan kamu! Minggir!" Cica mendorong Brian hingga suaminya itu terhuyung, ia memilih pintu depan agar Brian tidak menaruh curiga padanya juga Laura.

Brian menyusul langkah Cica. "Jawab aku! Dimana Laura!" Brian tak ingin terjadi apa-apa pada putri tunggalnya yang sudah lemah itu. Pasti Cica akan memperlakukannya lebih buruk tanpa dirinya.

Cica diam. Ia mempercepat langkahnya, mencari angkot yang lewat. Tapi juga ikut mencari Laura, entah dimana anaknya yang berusaha kelayapan itu.

'Hm, awas aja ya kalau kabur,'

Laura keluar dari tempat persembunyiannya, sepertinya ibunya sudah pergi. Saat ia ingin masuk kembali ke dalam rumah, ibunya masih disana dengan ayahnya yang terus mencecar pertanyaan tentang keberadaan dirinya.

Karena langkahnya kurang hati-hati, Laura tak sengaja menginjak ranting pohon dan dedauan kering menimbulkan bunyi. Ibunya itu menoleh, menghampirinya dengan mata melotot. Laura pastikan omelan tanpa jeda alinea dan rem akan meluncur.

"Jadi daritadi kamu sembunyi? Iya? Pinter banget, kamu ya," Cica menarik tangan Laura, kakinya lama-lama bisa kesemutan menginjak kediaman suaminya ini. Terlalu banyak masalah hidup, debat, hingga ia tak di nafkahi.

Laura terseok. "G-gak kok bu. Laura tadi udah nungguin ibu disana," kilahnya.

"Gak usah cari alesan," Cica menyetop angkot dan mendorong Laura masuk. Brian terusa saja menggerutu tak terima Laura ia bawa.

"Pak, jalan aja!" sentak Cica emosi.

Sang supir yang tak mau kena semprot pun menjalankan angkotnya.

Selama perjalanan, hanya tatapan sinis, heran, hingga bisik-bisik tetangga bak lagu dangdut saja itu bersahutan tanpa henti.

"Korban KDRT atau gimana sih?" tanya seorang ibu yang memangku belanjaannya, dari pasar.

"Kayaknya sih. Haduh, jangan sampai ketular ke kita ya," sahut pria berkepala empat dengan ayam jantan lengkap akan tas khusus ayamnya pula.

Cica yang mendengar itu pun merasa tersindir. "Nyindir gue?" ia menoleh dengan tatapan se-tajam silet saja.

"Oh, situ merasa?"

"Iyalah, kalau ngomong sini langsung. Gak usah bisik-bisik nyinyir!" ia mudah sensi sejak zaman SMA-nya dulu, terutama hubungan Antariksa yang terus langgeng dengan Rinai meskipun saling diam dan kurang akur.

"Duh, gitu aja marah ya?"

"Udah bu, gak usah di ladenin," ucap Laura mengusap bahu sang ibu. "Hidup tanpa gosip dan bisik-bisik kayak ambulan tanpa uwiw-uwiw," lirih Laura dengan polosnya. Andai saja Juna tau, pasti di bawa ke KUA dan mengucapkan 'sah' daripada di gondol (ambil) cowok lain.

🍁🍁🍁