Tania hampir saja terhuyung. Untungnya dia masih bisa menjaga keseimbangan. Tangannya memegang pipinya yang terasa panas. Mata Tania tiba-tiba menghangat. Di pipi chubby memang tidak terasa begitu perih, Namun, hatinya begitu sakit mendengar perkataan yang tidak seharusnya diucapkan oleh seorang ayah, apalagi saat itu di depan umum. Tania sekuat tenaga menjaga agar air mata agar tidak menetes
"Papa, apa maksud papa?"
Tania berbicara dengan gemetar. Lalu ia menggigit bibirnya, berharap air mata itu tidak lolos di hadapan sang ayah.
"Cukup kamu bodoh dalam hal pelajaran saja. Jangan kau tambah kebodohanmu dengan melakukan hal-hal yang memalukan seperti ini, Tania!"
Mata Ayah Tania masih melotot. Suaranya keras dan begitu menusuk. Kekecewaan meliputi dirinya, hingga mata hatinya terbutakan.
"Papa bahkan tidak pernah bertanya padaku apa yang terjadi. Apa salahnya bertanya? Ingin mengetahui keadaanku saja Papa tidak pernah, bagaimana bisa papa tiba-tiba menuduhku tanpa alasan seperti ini? Papa tidak pernah peduli padaku, papa hanya mempedulikan wanita perusak_"
PLAK.
Belum selesai Tania berbicara, tangan papanya kembali mendarat di pipinya untuk yang kedua kali.
Belva yang sejak tadi mengamati mereka langsung berlari menuju ke Tania.
Saat itu Tania tidak bisa lagi menahan air matanya. Air matanya tumpah. Tidak ada yang berani menolongnya. Siapa yang akan menolong seorang anak yang sedang membuat ayahnya marah. Ya, begitulah pikiran orang. Semua mata tertuju pada Tania, mereka sudah memandang rendah tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi, termasuk ayah Tania.
"Om, Ada apa ini?" Belva mendekati sambil merangkul bahu Tania.
"Jadi kamu laki-laki yang sudah berbuat kurang ajar kepada anakku?" Ayah Tania langsung meninggikan suaranya saat melihat Belva.
"Kak, bawa aku pergi dari sini. Melawan orang ini kita tidak akan pernah ada benarnya. Ayo kita pergi dari sini," ucap Tania sambil meraih tangan Belva, lalu mengajaknya berlari menuju ke motor Belva dan pergi meninggalkan Ayah Tania yang saat itu sedang berteriak mencegah kepergian Tania tetapi tidak digubris.
Sepanjang perjalanan, Tania masih sesenggukan. Ini kedua kalinya Tania menangis di hadapan Belva. Dia tidak peduli dengan anggapan orang-orang yang melihatnya menangis di sepanjang jalan. Dia hanya tidak habis fikir, bagaimana bisa ayahnya berpikir yang macam-macam dan sampai menamparnya hanya karena melihat dia membeli test pack? Tidak bisakah dia menanyai baik-baik dan memastikan apa yang terjadi?
Tania memang tidak pernah terlihat baik di mata ayahnya. Bagi ayahnya, Tania hanya seorang gadis pecicilan yang tak bisa apa-apa dan tak memiliki keahlian apa-apa. Tania hanyalah seorang anak yang nilai rapornya selalu merah. Tania adalah seorang anak yang hanya melakukan apa yang dia mau. Itulah Tania di mata ayahnya.
"Maafkan aku," ucap Belva lirih sampai hampir tak terdengar. Tania hanya sayup-sayup mendengar suara itu.
Tentu saja Belva merasa bersalah. Semua itu karena Belva. Andai saja Belva tidak mengajak Tania untuk membeli test pack itu, tentu saja Tania tidak akan terkena masalah dihadapan ayahnya.
Itu pertama kalinya Belva mengucap kata maaf di hadapan Tania. Dan itu pertama kalinya Tania tidak menggubris ucapan Belva. Dia masih menikmati rasa sakit itu.
Belva. Ingin rasanya Dia mengusap air mata Tania. Ingin dia mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja, tapi dia tidak mampu melakukannya. Dia hanya menyediakan punggung bidangnya untuk Tania menyandarkan kepalanya.
"Kamu mau makan bakso?" Hanya itu kata-kata yang bisa dikeluarkan oleh Belva di sela suara deru motor dan hembusan angin.
Tidak ada jawaban dari belakang. Hanya suara isakan tangis yang terdengar di telinga Belva. Seperti itulah wanita, ketika hatinya sudah terlanjur terluka, mengeluarkan kata-kata pun terasa sulit baginya.
Belva hanya menghela nafas panjang, dia tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan agar Tania menghentikan Isak tangisnya. Laki-laki itu hanya melajukan motornya dengan segera menuju ke rumahnya. Mungkin di rumahnya nanti, Tania bisa merasakan ketenangan dan hatinya bisa sedikit terobati. Semoga.
"Sudah sampai. Ayo turun dulu!" ucap Belva ketika mereka sudah sampai di depan rumah Belva.
Belva masih bisa mendengar isak tangis Tania. Dia masih sesenggukan. Belva seakan bisa merasakan rasa sakit yang dirasakan oleh Tania. Ya, ayahnya sendiri menuduh dia melakukan hal yang menjijikan, bahkan dibarengi dengan menyakiti fisik serta dilakukan di hadapan banyak orang. Hati anak mana yang tidak sakit diperlakukan seperti itu.
"Rambutan! Turun dulu. Nanti di dalam terusin lagi nangisnya. Ayo turun dulu."
Tania segera menghapus air matanya. Dia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Dilakukannya berkali-kali agar air matanya tidak turun terus-menerus.
"Aku nggak bisa masuk ke rumah kak Belva dalam keadaan seperti ini."
"Kenapa nggak bisa? Santai aja. Ayo masuk."
Tania kembali menepuk-nepuk pipinya. Berharap air matanya benar-benar stop mengalir. Lalu dia segera turun dari motornya Belva.
Setelah Tania turun, Belva ikut turun dari motornya dan mengajak Tania untuk segera masuk.
Setelah mereka mengetuk pintu, Bu Hanum muncul dengan wajah yang cerah ceria seperti biasanya.
"Selamat sore, Tante!" ucap Tania yang tetap berusaha untuk bersikap ceria dan menyuguhkan senyum meskipun saat itu matanya masih sembab dan wajahnya masih terlihat merah.
"Hai, sayang. Kamu kenapa?" Mama Belva langsung menyadari mata Tania yang sembab.
"Nggak apa-apa, Tante. Tania lagi sakit perut aja. Tante, Tania langsung izin ke kamar mandi ya?"
"Eh, iya. Silahkan!" Meskipun masih sedikit bingung, Mama Belva mempersilahkan Tania untuk ke kamar mandi. Tania langsung berlari menuju ke kamar mandi. Dia menyalakan kran wastafel, lalu gadis itu terduduk di pojok lantai kamar mandi yang sangat bersih dan kering, jadi tidak takut seragamnya basah.
Tania memeluk lututnya, dan menundukkan kepalanya. Kembali ia tumpahkan air matanya di sana. Matanya kembali menghangat, dadanya masih terasa sesak. Tania, yang saat itu rindu dengan kehadiran sang ayah, harus mendapatkan kejutan berupa tamparan dua kali. Ya, tamparan yang seharusnya tidak diterima. Bagaimana bisa seorang ayah berfikir buruk tanpa mencari kebenaran terlebih dahulu?
Dan yang membuat Tania sakit, saat itu sang ayah bersama dengan seorang wanita yang jauh lebih muda dan jauh lebih cantik dari ibunya. Mungkinkah wanita itu adalah orang yang sudah merebut ayahnya dari sang mama? Mungkinkah wanita itu orang yang sudah membuat papanya pergi dari rumah dan sampai rela berbuat kasar ke mamanya?
Tania rindu suasana rumah yang dulu. Tania Rindu ayahnya yang penyayang, yang selalu menyapa keluarganya setiap pagi dengan senyum dan kecupan di pucuk kepala. Tania sangat merindukannya. Saat ini, hanya air mata yang bisa memahami perasaan Tania.