Tania dan Cantika terpaku menatap lembaran kertas yang ada dihadapannya. Dihadapan mereka masing-masing, tergeletak manis soal Fisika yang masing-masing berjumlah 200 soal. Lebih gilanya lagi, antara soal Tania dan Cantika tidak ada yang sama satupun.
"Sejak awal perkenalan, Bapak sudah menjelaskan bahwa tidak akan mentolerir siswa yang ngobrol sendiri saat jam pelajaran. Apalagi nilai kamu, Tania. Tidak pernah beranjak dari nilai 5. Terus, masih bisa kamu ngobrol sendiri saat pelajaran Bapak? Sereceh apapun ilmu menurut kamu, kamu harus belajar untuk menghargainya. Ini hadiah untuk kalian berdua, kumpulkan besok lusa pagi sebelum bel masuk."
Kata-kata terakhir Pak Hadi, berhasil membuat Tania tersentak. 200 soal fisika harus selesai dalam 2 hari itu benar-benar sebuah siksaan bagi Tania. 5 soal saja membutuhkan waktu 1 jam bagi Tania untuk menyelesaikannya. Dan ini 200. Rasanya Tania mau pingsan di ruang guru saat itu juga.
"Pak, ini sangat berlebihan, Pak Hadi. Saya hanya ngobrol sebentar saja, bagaimana hukumannya bisa sekeji ini, Pak. Sungguh Pak, ini benar-benar tidak adil. Teman-teman lain pasti ada juga kok yang seperti ini. Yang ngobrol seperti aku dan Cantika, tetapi mereka tidak pernah mendapatkan hukuman seberat ini dari Pak Hadi."
"Apa perlu Bapak jelaskan kalau ini sudah kesekian kalinya kalian ngobrol sendiri. Apa perlu Bapak jelaskan kalau kalian suka pamit ke kamar mandi tetapi ternyata pergi ke kantin? Hm ... ?" Pak Hadi menatap mereka dengan tatapan yang menantang. Tentu saja nyali Tania langsung ciut, karena apa yang diucapkan Pak Hadi itu benar adanya. Jadi, akhirnya hanya menjawab dengan cengengesan.
Sedangkan Cantika, tentu saja anak itu hanya diam dan mengakui kesalahannya. Dia tak pernah protes kalau dia memang merasa bersalah. Ya, itu pertama kali dia mendapatkan hukuman dari guru. Mungkin, hukuman itu tidak akan berat bagi Cantika. karena Cantika cukup ahli dalam bidang fisika, sangat beda jauh dengan Tania. Nilai terbaiknya hanyalah 5, itupun setelah minta contekan ke Cantika.
"Kalau tidak ada yang kalian protes lagi, silakan kembali ke kelas. Kalau kalian nanti merindukan hadiah seperti ini lagi, silakan melakukan hal yang sama. Dijamin kalian akan mendapatkan hadiah yang lebih menyenangkan."
"Tidak, Pak. Terimakasih. Kami permisi dulu," ucap Tania sambil meraih kertas soal itu dengan tangan kanannya, lalu tangan kirinya meraih tangan Cantika dan mengajaknya untuk segera pergi meninggalkan ruang guru yang entah kenapa saat itu terasa sangat mencekam.
***
Bel pulang sekolah sudah berbunyi. Beberapa siswa sudah keluar dari kelas. Namun, Tania Hanya duduk di bangkunya sambil menatap nanar kertas soal yang berisi 200 soal Fisika itu. Bagaimana bisa dia menyelesaikan soal itu dan mengumpulkannya besok lusa pagi? Huft ... Hukuman dari Pak Hadi benar-benar tidak berperi kemuridan.
"Tan, Ayo pulang."
"Ish, ini gara-gara kamu, Can. Gara-gara kamu yang ngajakin ngobrol tentang Kak Belva, Aku harus mengerjakan soal ini? Ah ... Sebel. 5 soal aja sudah membuat kepalaku botak. Bagaimana 200 coba?"
"Kamu Sudah baca benar-benar belum soalnya? 100 soal pertama itu tingkatannya mudah. Jadi kita masih punya banyak waktu, siang ini, nanti sore, nanti malam dan besok pulang sekolah sampai malam nya lagi kamu masih bisa mengerjakan. Masih banyak kan waktunya." Cantika benar-benar berbicara dengan santai seperti di pantai. Sedangkan Tania,
Otaknya benar-benar ngebul. Mau bagaimanapun, fisika memang benar-benar momok buat Tania.
"Au ah, lemes." Tania mengerucutkan bibirnya lalu menempelkan kepalanya di atas bangku.
"Hai." Terdengar suara lembut menyapa mereka berdua. Ya, suara itu akan terdengar lembut ketika ada Cantika, tetapi jika yang ada hanya Tania, tidak ada suara lembut seperti itu. Yang ada hanya suara jutek. Ya, itu suara Belva.
"Eh, Kak. Udah mau pulang?"
Wajah cantika langsung berbinar ketika melihat kekasihnya datang
"Iya. Kamu dijemput?"
"Iya."
"Ya udah, kalau begitu aku mengantarkan makhluk mengenaskan itu pulang ya? Kasian sekali hidupnya sampai kepalanya di tempelkan ke bangku begitu."
Dada Cantika langsung berdesir. Sejujurnya dia tidak ikhlas membiarkan Tania selalu dibonceng oleh Belva. Sebenarnya cantika tidak rela mereka sering menghabiskan waktu bersama, meskipun hanya sekedar belajar. Bukan tanpa alasan. Cantika tahu, cinta bisa hadir kapan saja ketika kita sering bersama, dan Cantika sangat menghawatirkan itu.
"Cantikku, boleh kan aku mengantar Tania pulang?" tanya Belva. Cantika yang tadinya bengong langsung tersentak.
"Eh, Iya. Boleh kok, nggak apa-apa."
"Kalian lebay banget sih. Kayak mau pamit ke luar angkasa aja," ujar Tania yang masih pada posisi semula. Kepalanya masih terasa penuh gara-gara tugas 200 soal.
"Bangun! Ayo pulang sekarang!" Belva masih berdiri di depan bangku mereka. Tangan kirinya dia masukkan ke saku celana. Tangan kanannya ia gunakan untuk memukul kepala Tania dengan kotak pensil Tania yang belum dimasukkan ke dalam tas.
"Ih, Kak Belva kebiasaan banget sih mukul kepala. Tambah mengecil nih otak aku nanti." Tania mengusap-usap kepalanya lalu dia segera bangun.
'Kebiasaan? Jadi sudah menjadi kebiasaan kak Belva memukul kepala Tania dengan lembut begitu? Sudah sedekat itukah kalian?' batin Cantika.
Cantika menatap Tania. Tidak dapat dipungkiri ada rasa cemburu di hatinya. Kedekatan Tania dan Belva sungguh membuat Cantika iri. Karena jujur saja, hubungan Cantika dan Belva hanya diwarnai dengan ke Jaiman. Jadi kurang terasa kedekatannya.
"Ish, Awas ya Can. Jangan macam-macam sama pacarku. Aku mau pulang dulu, kalian langsung pulang ya? Jangan ke mana-mana. Sampai jumpa besok kak Belva," ucap Cantika lalu dia segera beranjak dari duduknya.
"Hati-hati ya?" Belva mengelus rambut Cantika lembut, dan sang pemilik rambut menghadiahinya dengan senyuman yang berhasil membuat beberapa siswa laki-laki klepek-klepek dibuatnya.
"Lebay," ucap Tania sambil menatap mereka penuh dengan rasa iri.
"Iri, bilang boss!" Ledek Cantika sambil menjulurkan lidah lalu dia segera meninggalkan kelas.
"Ish, gaya pacaran kalian itu alay. Jaim jaim kayak orang dulu aja, mana nyaman pacaran seperti itu." Tania masih tampak lesu. Otaknya masih teracuni 200 soal, belum bisa membuat dirinya ceria seperti biasa.
"Iri banget sih, ayo aku antar pulang. Sekarang!"
"Kak. Kak Belva mau bantu aku?"
"Apa?"
Tania mengibas-ngibaskan soal Fisikanya dihadapan Belva.
"200 soal Fisika. Aku benar-benar bisa mabuk ini kak. Tolong lah, aku tahu kak Belva jago fisika. Tolong ya kak, please?"
"Memangnya kamu siapa, sampai aku harus mau membantumu."
"Jadi siapapun bagi kak Belva, aku mau, asal kak Belva mau membantuku. Please kak. Tolong." Tania memohon sambil menelungkupkan kedua tangannya di depan dada.
Tania tampak begitu menggemaskan ketika memohon seperti itu. Sejenak, Belva tertegun. Lalu dia mendekatkan wajahnya ke wajah Tania.
"Boleh, asal kamu mau jadi ..." Belva menjeda kalimatnya. Matanya menatap Tania dalam. Tatapan itu benar-benar membuat jantung Tania seakan mau loncat. Bagaimana bisa Tania bersikap biasa saja, bagaimana bisa Tania menahan debar yang ada di dalam dadanya. Tatapan Belva, membuat Tania tak ingin pergi, dari Belva, dan dati hatinya.