webnovel

10. Yakin (?)

Ana mulai memakan makanannya. "Lihat di ujung sana ...," ia menunjuk ke arah toko di seberang jalan, "gadis yang berdiri di sana terlihat murung dan sedih." Ravi mengikuti arah pandangnya--benar, ada seorang gadis di sana. Ia pun terus menatap ke depan. "Andai dia sadar jika dia tak sendirian, dan tahu betapa alam sedang berusaha untuk menghiburnya. Genangan air di hadapannya berharap ia bercermin di sana, dan akan mengatakan bahwa gadis itu harus sadar betapa berharga dirinya ... cobalah untuk tersenyum, maka dia cantik seperti itu."

"Kamu pandai merangkai kata-kata?" Ravi menoleh, memandangnya takjub.

"Aku penulis, ya, amatiran." Ana juga menoleh, balas menatap Ravi. "Aku suka memerhatikan hal-hal kecil, dan bersyukur akan itu. Sangat banyak hal yang menarik jika kita peka, dan hal-hal itu begitu menghibur dan membuat bahagia meski sederhana."

Untuk sesaat, Ravi terpana. Ia begitu mengagumi gadis ini, yang sebenarnya tak banyak berubah sedari dulu. Namun, harus ia akui, gadis ini tumbuh dengan baik, dan semakin luar biasa. Ia selalu berbeda dengan gadis-gadis lain.

Ravi menoleh ke depan. Pemandangannya memang terlihat tenang dan nyaman, dan sedikit romantis. Perasaan senang muncul dalam dirinya, dan rasa semangat. Inspirasinya seketika hadir. "Apa aku boleh melukis di sini?"

"Tentu!" seru Ana senang. Ia kembali memakan makanannya. "Aku akan sangat senang melihatmu melukis," jawabnya santai. Ketika menyadari ucapannya barusan, ia tertawa kecil. "Maksudku ... aku akan menyukai karya lukisanmu."

***

"Maaf, jika jalan-jalan kita hanya seperti itu." Ravi berucap meski pandangannya fokus ke arah jalan karena sedang menyetir. "Tapi jujur aku menyukainya. Hal-hal sederhana seperti tadi membuatku nyaman dan seperti katamu ... lebih bersyukur dengan sekitar. Sudah lama aku tidak merasakan perasaan seperti itu."

Ana mengangguk sambil melihat hasil lukisan Ravi tadi di kertas seukuran buku tulis biasa, yang diberikan untuknya. Ia mengagumi gambar yang dilukis pria itu dengan pensil--terlihat suasana setelah hujan, air menggenang di jalan dan atap yang basah di pertokoan yang di depannya ada sepasang kekasih sedang duduk di bangku menikmati suasana.

"Syukurlah jika kamu menikmatinya."

"Zeana ... kamu masih belum banyak berubah," ungkapnya sambil sesekali melirik gadis itu. "Kamu sederhana dan berbeda. Selalu berkesan ketika bersamamu," pujinya.

"Mengapa tiba-tiba berkata seperti itu?" Ia tertawa kecil, memiringkan kepala, menoleh ke arah Ravi. "Apa ini bujukan agar mau menikah denganmu?" candanya.

Ravi menggeleng kecil. "Itu pujian yang tulus." Ia tersenyum. "Kalau kamu terpengaruh untuk menerimaku, itu baik."

"Lihatlah, ujung-ujungnya selalu itu." Ia menggeleng, lalu tersenyum kecil. "Jadi, mengapa ibumu ingin bertemu denganku sekarang?"

Ravi terdiam, ia tak langsung menjawabnya. Ia menghentikan mobil di depan sebuah restoran yang tidak terlalu ramai. "Ibuku ingin berbicara serius dengan calon menantunya." Sebelum turun, ia menatap Ana dengan penuh harap. "Aku harap ... ah, tidak. Aku serahkan semuanya padamu."

Ana turun dari mobil dengan alis yang menyatu. Ia selalu merasa jika ada hal yang disembunyikan oleh pria itu. Ia pun mengikuti langkah Ravi memasuki restoran. Terlihat ibunya telah datang dan duduk di salah satu kursi di sana.

"Ibu, maaf terlambat," sapa Ravi.

Ibunya tersenyum senang sambil menggeleng. "Ibu baru datang, Nak." Ia lalu menoleh menatap Ana yang melemparkan senyuman ramah. "Silakan duduk, Nak."

Ana menurut, ia cukup kaget karena Ravi langsung izin pergi meninggalkan mereka untuk mengobrol berdua saja. Hal itu membuatnya gugup. Apa kira-kira yang akan disampaikan oleh Ibu Ravi kepadanya?

"Zeana ... maaf tante menyita waktunya," ungkapnya berbasa-basi dengan senyuman.

"Tidak, kok, Tante." Ana berusaha mengontrol diri agar tidak gugup. "Aku senang bertemu dengan Tante."

Ibu Ravi menatap Ana serius, walau senyuman tak hilang dari wajahnya. "Apa tante boleh bertanya sesuatu? Tetapi maaf sebelumnya, mungkin akan membuat Zeana sedikit tidak nyaman."

"Silakan, Tante." Ana tersenyum lebar. "Tidak apa-apa. Akan aku jawab."

Ibu Ravi terlihat berpikir berat, ia menjadi sedikit ragu, tetapi harus segera memastikan hal ini sebelum terlalu jauh melangkah. "Apa Zeana dan Ravi saling mencintai?"

Ana terdiam sebentar, memikirkan pertanyaan itu. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya juga menghantuinya setelah Ravi meminta ia untuk menikah dengannya. Kepalanya tertunduk, kemudian menelan ludah. Responsnya yang seperti itu membuat Ibu Ravi sedikit cemas.

"Aku ...," ia mengangkat wajah, menatap sendu, "pernah mencintainya, Tante."

"Pernah?" Kedua alis Ibu Ravi terangkat, ia heran dengan jawaban itu. "Bagaimana dengan sekarang, Nak?"

Kedua bibir Ana mengatup kuat, ia juga tidak tahu. Setelah berpikir sejenak, ia berujar yakin, "Tidak ada alasan untuk berhenti mencintainya." Senyuman kecil--walau terlihat sedikit ragu--terlukis di wajahnya. "Ana senang bisa bertemu dengannya di masa depan seperti ini. Di saat kami telah dewasa, bukan mengenakan seragam sekolah lagi." Tawa kecil lolos dari bibirnya.

Suana cukup tenang di tempat ini walau sekarang jam makan siang. Orang lain terdengar mengobrol ringan dan pelan. Tidak ada kebisingan yang mengganggu. Pelanggan lain didominasi pegawai kantoran yang sibuk makan seperti dikejar waktu. Hanya sesekali berbicara, setelah itu fokus pada makanan masing-masing.

"Tante ...," Ibu Ravi bergedik ngeri kemudian, seperti sedang berusaha menghilangkan sesuatu hal dari pikiran, "jika Zeana yakin dengan Ravi, tante harap pernikahan ini segera dilaksanakan. Mengingat kalian sudah layak untuk menikah, atau ada hal yang mengganggu Zeana?" Ia bertanya tulus, layaknya seorang ibu yang peduli kepada anaknya.

Kedua sudut bibir Ana tertarik ke atas. "Tidak ada, Tante." Pandangannya beralih ke kaca jendela lebar di dekatnya. Terlihat Ravi bersandar di mobil sambil menatap ke arahnya, wajah pria itu cukup cemas bercampur penasaran. Mungkin pria itu juga tidak tahu apa yang akan dibicarakan oleh ibunya. "Apa sekarang Ravi boleh masuk, Tante?" tanyanya dengan tawa kecil. "Mari kita makan bersama."

"Oh, iya." Ibu Ravi turut tertawa kecil. "Hm, tetapi tante ingin memastikan sekali lagi, berarti pernikahan ini bisa dilanjutkan?"

Ana kembali memandang wanita di hadapannya. Ia tersenyum kecil, lalu mengangguk. "Meski kehadirannya yang tiba-tiba dan langsung melamarku seperti mimpi, tetapi aku percaya padanya, Tante. Aku sangat-sangat mengenalnya sedari dulu."

"Semasa sekolah?" tanyanya memastikan. "Apa dulu kalian sedekat itu?"

Sebelah tangan Ana menggenggam gelas bening berisi air es. Bukankah semua ini seperti dongeng? Tiba-tiba dilamar oleh cinta pertama sewaktu sekolah dulu, dan kebetulan ia juga masih terus mengingat pria itu? Ini keberuntungan yang langka, mengingat mereka sempat berpisah lama. Ia pun mengulum senyum. "Kami dulu sangat dekat, hingga akhirnya berjarak begitu saja, tetapi sungguh, Ravi pria yang baik, Tante."

***

Ana melihat jam di layar ponsel. Sudah lima belas menit berlalu semenjak selesai makan siang dengan Ibu Ravi tadi, dan Ravi izin untuk mengantarkan ibunya pulang. Jarak rumahnya tidak jauh dari sini, sehingga Ana tetap tinggal dan menunggu di restoran. Makanan di atas meja sudah berganti menjadi makanan manis seperti kue cokelat.

Ia hanya menatap kue itu sambil menusuk-nusuknya dengan garpu. Tiba-tiba ada hal yang mengganggunya.

"Hai! Maaf membuatmu lama menunggu." Ravi langsung duduk di seberang Ana. Senyumannya cerah sekali, seperti telah menerima kabar baik. "Aku dengar dari ibu, kamu menyetujui pernikahan kita? Jadi kita bisa mulai mempersiapkannya?"

Ana tersentak, semuanya cukup dadakan sekali meski ia sudah menunggu-nunggu hadirnya momen ini. Zaman sekolah adalah awal mula dan terakhir kali ia memiliki perasaan kepada seorang pria. Sewaktu kuliah dan sampai saat ini ia memilih menutup hati, karena ia tidak mudah tertarik dengan orang lain dan memilih fokus pada impian. Tiba-tiba perasaan hampa itu muncul, ditambah desakan keluarga: ia harus menikah, setidaknya mencoba membuka hati dan menemukan seseorang. Siapa sangka cinta pertamanya ini datang bagai baru turun dari langit, dan melamarnya?

"Aku pikir juga begitu, Vi ...," belum sempat menyelesaikan kalimatnya, sorakan senang dari pria itu terdengar, "tetapi ... aku boleh bertanya sesuatu?"

"Apa pun," jawab Ravi tanpa ragu seakan-akan ia rela melakukan segalanya asal Ana mau menikah dengannya. "Aku pasti menjawabnya." Ia tersenyum, bahkan sebelumnya senyuman itu masih jarang terlihat.

Mulanya Ana takut, tetapi akhirnya memberanikan diri. "Siapa itu ... Risa? Aku pernah melihat fotomu dengannya di sosial media. Katanya ... kalian pasangan?"

Air muka Ravi sontak berubah drastis. Senyumannya luntur, namun hanya untuk beberapa detik. Ia menarik sudut bibirnya kembali. "Dia mantanku. Hanya mantan," jawabnya yakin yang semakin menyiratkan bahwa ia adalah pembohong ulung. "Tenang saja, Risa tidak mau menikah denganku."

"Karena itu kamu melamarku?"