webnovel

11. Ayo, Menikah!

Untuk beberapa detik, Ravi terdiam, berusaha menahan rasa keterkejutannya atas pertanyaan Ana tersebut. Gadis itu masih setia menatapnya, menunggu jawaban. Terlihat juga dari matanya jika dia takut kecewa dengan jawaban yang akan didengar.

"Aku melamarmu, karena aku membutuhkanmu, Zeana." Jawaban itu diutarakan dengan sungguh-sungguh tanpa maksud berbohong. Ya, memang karena butuh, dan ia tidak mau terlalu berbohong dengan kata-katanya. "Mari kita melanjutkan kisah di masa lalu, yang sempat tertunda," pintanya pelan.

Kening Ana sedikit berkerut. "Waktu itu di sudut belakang kelas, kamu menyuruhku agar melupakanmu untuk selamanya." Jari-jarinya mengetuk pelan meja, pikirannya menerawang ke masa silam. "Aku tahu agak bodoh tiba-tiba membahas hal itu, tetapi aku pikir kamu tidak pernah mencintaiku?"

"Aku mencintaimu," ujar Ravi cepat, membuat kedua alis Ana terangkat. "Dulu aku masih terlalu kecil, dan mungkin melakukan hal-hal bodoh yang melukaimu."

"Kalau kamu berjanji tidak akan melakukan hal-hal bodoh lagi yang melukaiku ... aku pikir kamu adalah pria yang tepat, Vi." Ana tersenyum kecil, penuh harap. Sedari dulu memang tidak ada lagi pria yang ia cintai, karena ia terbelenggu dengan kisah cinta masa lalu. Ia memang dibutakan oleh perasaannya, dan memiliki fantasi sendiri dalam urusan cinta. Tiba-tiba dilamar oleh pria yang selama ini diharapkan, mengapa tidak?

Sebelah tangan Ravi hendak meraih tangan Ana di atas meja, tetapi gadis itu mengelak, menjauhkan tangannya. Hal itu membuat Ravi tertawa canggung, ternyata gadis itu benar-benar masih sama. "Aku berjanji tidak akan menyakitimu, Na. Aku akan bersikap baik karena kamu sudah mau menerima lamaranku."

Ia merasakan angin segar. Akhirnya bisa mendapatkan seorang gadis yang bisa memenuhi permintaan ibunya. Masalah lain bisa dipikirkan belakangan. Hal yang paling penting untuk sekarang adalah bisa membahagiakan sang ibu yang sangat dicintainya. Alih-alih memberikan pelajaran pada Rava, abangnya.

"Kalau begitu ... ayo, menikah," ajak Ana sambil tertawa kecil. "Tapi karena keluargaku dan aku tidak memiliki banyak uang, mungkin ...."

"Tidak usah khawatir," tukas Ravi. "Masalah biaya sudah aku persiapkan. Kamu dan keluargamu jangan terbebani." Di dalam hati, ia ingin sekali bersorak. Ia diterima tanpa rasa curiga, dan sepertinya juga karena gadis itu masih mencintainya sampai sekarang. Ah, begitulah para gadis, terkadang masih terbenam dalam angannya sendiri. "Kita bisa segera mengurus persiapan pernikahan kita, 'kan?"

Ana mengangguk, ia bahagia sekali. Lagi-lagi semuanya seperti mimpi. Semua ini bagai kisah-kisah menakjubkan yang ada dalam sebuah novel. Mungkin juga ini cara Tuhan untuk menyatukannya dengan jodohnya. Ravi ... jodohnya?

"Pernikahan? Apa-apaan pernikahan?"

Mereka terlonjak kaget mendengar suara tersebut. Ternyata Inka sudah berdiri di dekat mereka dengan kedua tangan terlipat di depan dada. "Jadi ini maksudmu mengirim pesan sangat banyak kepadaku, Na?" Ia berjalan melewati Ravi, duduk di sebelahnya. "Aku butuh berbicara dengan Ana, kamu boleh pergi sekarang, Vi," suruhnya sambil menatap kesal pria itu.

Ravi tersenyum kecil, lalu berkata, "Inka ... dulu kita pernah satu sekolah—"

"Aku tahu, dan aku masih mengingat segalanya." Ia terus menatap pria itu, kini sangat lekat. "Aku butuh berbicara dengan sahabatku sekarang. Tolong tinggalkan kami," mohonnya.

"Baik, maaf." Ada sedikit perasaan cemas dalam dirinya jika nanti Ana sampai berubah pikiran, karena wanita cenderung lebih mendengarkan sahabat baiknya. "Aku pamit dulu." Ia tersenyum kecil ke arah Ana. Sebelum pergi, ia kembali memandang Inka. "Aku titip Zeana, Inka."

Inka mengangguk cuek, matanya terus memandang kepergian pria itu yang sudah menjauh.

Ana hendak berbicara, tetapi Inka lebih dahulu berkata, "Lihat, aku langsung ke sini!" Ia menunjuk ke luar jendela, ada mobil pick up dengan banyak barang di belakangnya. "Aku lupa di mana menaruh ponsel. Sewaktu menemukannya, semua pesanmu membuatku terkejut. Alhasil aku langsung membawa semua itu ke sini."

"Aku menyesal telah memberi tahu keberadaanku sekarang, sehingga kamu mengagetkan kami seperti tadi." Ana meminum jus jeruk di atas meja sambil takut-takut. Khawatir jika sahabatnya itu akan mengomel atas kejadian ini. "Jangan memarahiku, aku juga mau menikah."

"Dengannya? Ravi?" tanya Inka tak percaya. Ia mengambil sepotong kue di atas meja, lalu memakannya. "Ya, ampun, aku sudah kelaparan sebelumnya. Melihatmu semakin membuatku lapar dengan emosi yang meluap-luap," sinisnya dengan makanan penuh di mulut.

Ana menuangkan segelas air untuk temannya itu. "Apa salahku?" tanyanya tak percaya.

Setelah menghabiskan sepotong roti tersebut, Inka mengelap tangan dan mulut dengan tisu, lalu mengeluarkan ponsel dari dalam saku. Ia mengutak-atiknya sebentar, menyerahkan ponsel itu pada Ana sementara ia meminum minumannya.

"Ini apa?" tanya Ana melihat video singkat antara Ravi dengan gadis yang juga ia ketahui sebelumnya, ya, Risa. "Ini video lama?"

"Video baru." Ia mulai menatap serius sahabatnya yang terlihat bingung. "Ketika membaca pesanmu, aku bahagia, tetapi ... aku juga merasakan ada hal yang aneh, sehingga jiwa detektifku muncul." Ia beranjak dari tempat duduknya, berpindah cepat ke sebelah Ana. "Aku bahagia fantasimu menjadi kenyataan. Hanya saja aku tidak bisa mengabaikan prasangka kuat sebagai wanita."

"Kamu tidak memercayainya?" tanya Ana pelan. Sebenarnya ia juga merasa janggal pada awalnya. Namun, melihat kegigihan Ravi, mampu meluluhkan hatinya yang sedari dulu memang sudah mencintainya. "Dia memiliki niat baik padaku."

Inka mengangguk kuat. Kedua tangannya menggenggam lengan Ana, sehingga tubuh mereka berhadapan. "Video itu diambil beberapa hari yang lalu, aku mendapatkannya dari akun fans gila Risa yang suka melanggar privasi idolanya sendiri."

Ana melihat video itu sekali lagi. Video yang menampilkan suasana romantis di sebuah kafe. Ravi dan Risa seperti sedang membicarakan hal yang sangat serius dan penuh emosional. Tidak ada suara, hanya gambar yang diperbesar. "Tidak ada suara .... Kita tidak bisa menilainya."

"Tetapi itu artinya mereka masih berhubungan, 'kan?"

Baik Ana maupun Inka sama-sama terdiam. Jika memang semuanya terlalu tidak masuk akal, maka beruntungnya Ana seperti dihampiri keajaiban ... ia bahagia dengan ketidakmasukakalan ini. Bisakah hal baik ini menjadi miliknya?

"Bisa saja di video itu mereka putus karena Ravi mau menikahiku?" Dari nada suaranya, Ana berharap Inka menyetujui dugaannya, tanpa ada sanggahan atau fakta mengejutkan yang membuatnya kecewa. "Bisa jadi, 'kan?" Ia masih berusaha meyakinkan bahwa apa yang diinginkannya benar menjadi kenyataan.

Sebelah tangan Inka mengusap dagu dengan pelan sambil memandang datar sahabatnya itu. Ia berusaha membaca dari ekspresi dan tatapan mata, apakah akal sehat masih berfungsi pada wanita itu. Tidak. Ana sudah dibutakan oleh cinta. "Aku ...," ia menggantungkan ucapan, "berkata apa pun juga tidak akan berpengaruh padamu, 'kan? Karena kamu memilih untuk mempertahankan keyakinanmu dan takut kecewa?"

Jantung Ana berdegup kencang, ia tersentak. Rasanya pertanyaan itu terlalu menyedihkan untuk dibenarkan. "Bolehkah harapanku yang selama ini terpendam menjadi nyata?" Ia menatap penuh harap, seperti tak siap dengan jawaban lain selain apa yang diinginkan. "Dukung aku, ya, Inka?" Kepalanya tertunduk perlahan. "Sebenarnya selama ini aku masih mengharapkannya, dan diam-diam berdoa memintanya kepada Allah," akunya pelan.