"Tidak, Bu, mengapa Ibu bisa berpikiran seperti itu?" Ravi menatap lembut ibunya. Ia tersenyum kecil. "Ibu boleh bertanya langsung kepada Zeana," ungkapnya meyakinkan.
Mampus, entah hal apa yang membuatnya sepercaya diri ini. Namun, ia harus berhasil meyakinkan ibunya. Lagian tadi ia bisa melihat betapa bahagianya gadis itu. Besar kemungkinan, jika mungkin gadis itu masih mencintainya sampai sekarang. Entahlah. Hanya berharap saja, demi kelancaran rencananya.
"Baiklah, besok kalian akan pergi jalan-jalan untuk pendekatan, 'kan?" Ibunya mengusap lembut lengan Ravi sambil tersenyum. "Nanti beri ibu sedikit waktu untuk berbicara berdua dengan calon istrimu."
Ravi terdiam sebentar, ia sedikit kaget. Tidak ... ia harus terus maju dengan rencana ini, walau sudah terbayang berbagai kekacauan nantinya. Satu hal yang paling penting, ia bisa memenuhi permintaan ibunya. "Baik, Bu." Senyuman terukir di wajahnya. Ia lalu bertanya, "Ibu ... tidak akan melaporkan hal ini kepada abang, 'kan?" tanyanya memastikan.
Raut wajah ibunya langsung berubah, terlihat ragu bercampur khawatir. Ia berpikir sejenak, menimbang-nimbang keadaan sebelum akhirnya tersenyum sambil menggeleng.
***
Pagi ini sangat cerah, secerah senyuman Ana yang sudah berdiri di depan cermin--memperlihatkan seluruh tubuhnya dari ujung kaki sampai ke ujung kepala.
Sepatu boot hitam, gaun hitam semata kaki dengan luaran jaket levis di atas pinggang, jilbab pashmina dan tas menggantung di bahu. Ah, memang bukan tipe gadis feminin dengan gaya kelas atas seperti Risa.
Sebelum pergi, ia memberi makan kucing kesayangannya yang berwarna putih-kuning. Kucing inilah yang dimaksudnya ketika mengobrol dengan Ravi kemarin. Ia pun melihat jam di tangan yang menunjukkan pukul setengah sembilan pagi. Ya, ia dan pria itu berjanji akan bertemu pukul sembilan, setengah jam lagi.
Jarak sanggar melukis Ravi dari rumah Ana, hanya melewati dua halte bus. Memang tidak jauh. Ana pun menaiki bus, duduk di kursi paling belakang.
"Ana?" sapa seorang pria yang duduk di sebelahnya.
Ana menoleh, kedua alisnya terangkat kaget bercampur senang. "Geno? Kamu di sini? Kapan kamu balik dari Malaysia?"
Pria yang dipanggil Geno itu tertawa kecil, ia turut senang sekali. "Baru pulang kemarin," jawabnya. Ia menghadapkan tubuhnya, memandang Ana. Ia sangat merindukan gadis itu. "Kamu udah hilang kontak, pindah rumah, media sosial gak aktif, aku susah nyari kamu," omelnya. "Untung saja naluriku untuk mencarimu di bus itu tepat."
"Ha? Kamu mencariku?"
Bibir tipis pria itu tersenyum kecil, ia sedikit malu-malu. "Mari bertukar nomor ponsel," ajaknya sambil memberikan ponsel miliknya. "Aku harus segera balik untuk memastikan semua urusanku selesai di negara tetangga, baru nanti aku pulang dan menemuimu kembali."
Alis Ana sedikit mengernyit, tetapi ia tak terlalu memahami ucapan pria itu. Ia hanya sibuk mengetikkan nomor, lalu mengembalikan ponsel itu. "Apa kamu akan tinggal di sini untuk seterusnya?"
"Tergantung kamu nanti."
Kening Ana mengerut dalam. Ia berpikir sambil memandang wajah Geno. Kalau dilihat-lihat ternyata temannya ini belum banyak berubah. Wajah kecil dan hidung mancungnya masih membuatnya menarik, apalagi ketika tersenyum, matanya juga ikut tersenyum.
Perhatian mereka teralihkan ketika suara petir terdengar sangat keras. Tiba-tiba hujan turun dengan lebatnya. Geno membuka jaket yang ia pakai, lalu menyelimutinya ke tubuh Ana, membuat gadis itu kaget.
"Aku sudah memakai jaket." Ana hendak mengembalikannya, tetapi Geno menahan.
"Itu jaket gaya-gayaan. Kamu perlu tetap hangat."
Tawa Ana terdengar. "Memangnya aku telur ayam, perlu dihangatkan segala?" Ia kembali bertanya, "Bagaimana aku mengembalikannya nanti?"
Tatapan Geno melembut, lagi-lagi ia tersenyum kecil. "Untukmu saja. Siapa tahu nanti merindukanku di saat aku jauh," candanya. Namun, jika benar-benar diperhatikan, ada keseriusan di sana.
"Wah, ini halte pemberhentianku." Ana segera berdiri dengan semangat, ia tidak sabar untuk bertemu dengan Ravi. "Terima kasih, nanti kabari, ya!" serunya tanpa menoleh, setengah berlari keluar dari bus. Sementara itu, Geno terdiam melihatnya.
Hujan deras langsung menyambut Ana. Gadis itu berhenti sejenak di halte, memantau keadaan. Gedung sanggar Ravi tak jauh dari sini. Karena takut membuat pria itu menunggu, ia pun menutup kepala dengan jaket Geno, menyisakan sedikit ruang untuk matanya agar tetap bisa melihat jalan di depan. Lalu, ia berlari kecil di trotoar menembus hujan.
Saat akan sampai di gedung, tiba-tiba tubuh Ana ditarik kuat, membuatnya mematung dengan jantung berdegup kencang karena kaget. Ia mendongak, matanya melebar melihat wajah basah Ravi yang menatap datar. Kedua alisnya terangkat ketika ada sepeda di dekat mereka.
"Maaf, Kak, Bang," kata si pengendara sepeda cepat, kemudian kembali melajukan sepedanya menjauh.
Ravi menarik tangan Ana menuju teras gedung sanggar melukisnya. Di sana, Ana menatapnya, pakaian pria itu basah kuyup.
"Lain kali kalau jalan lihat sekitar. Orang tadi hampir menabrakmu." Ada kekesalan yang tertahan dari nada bicara Ravi, dan juga terpancar dari raut wajahnya. "Untuk apa membawa jaket lagi kalau sudah memakai jaket?" tanyanya datar ketika melihat jaket yang cukup besar itu.
"Ini jaket temanku, dia tadi memberikannya." Ana menatap Ravi penuh penyesalan. "Maaf, dan terima kasih telah menolongku. Aku tadi tidak mau membuatmu menunggu."
"Teman? Seorang pria?" Ia mengabaikan kata-kata Ana yang lain.
Ana mengangguk, ia tertawa kecil. "Teman sedari Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama, hanya saja sewaktu lulus Sekolah Menengah Pertama, dia harus pindah ke Malaysia. Alhamdulillah tadi bertemu."
"Mengapa kamu terlihat sangat senang?" tanya Ravi tak suka. Ia berjalan mendekat, memangkas jarak dengan Ana sambil terus menatapnya lekat. Ana menjadi gugup melihatnya. "Kamu tidak lupa, 'kan, kalau aku ingin menikahimu?" Ia sedikit menunduk, mendekatkan wajah pada Ana.
"A-a-aku ...."
Ravi merintih kesakitan. Ia memegang perutnya, tampak berpikir. "Sepertinya perutku sakit karena terkena ujung setang sepeda tadi."
"Oya? Mungkin saja memar," ungkap Ana cemas. Ia melupakan perasaan gugupnya. "Apa ada es batu di dalam?"
"Lengkap seperti rumah," jawab Ravi.
Ia sedikit heran melihat Ana terburu-buru memasuki sanggar dengan ekspresi khawatir. Ia segera mengikuti, dan memimpin gadis itu berjalan menuju salah satu ruangan di sana. Ruangan itu seperti kamar pribadi, sengaja sebagai tempat beristirahat. Ia duduk di ranjang, dan dengan cekatan, Ana memeriksa kulkas kecil di sana beserta lemari yang menempel di atasnya.
"Lihat, mana yang sakit?" tanya Ana membawa baskom kecil berisi es batu dan kain. Ia duduk di sebelah Ravi.
Ravi menyingkap sedikit bajunya, dan memeriksa perut. Ternyata benar, ada memar di sana yang terlihat jelas di kulitnya yang putih. Tanpa ragu, ia membuka baju dan menaruh di lantai. Lagian, pakaiannya sudah basah.
Mata Ana melebar melihatnya. Memang ada memar di perut Ravi, tetapi yang membuat jantungnya berdegup dan gugup setengah mati adalah tubuh atletis pria itu, membuatnya menelan ludah. "Ternyata kamu masih giat berolahraga?" tanyanya menahan rasa gugup. Ia tidak boleh terlihat seperti orang bodoh.
Ravi menyadari tatapan Ana, senyuman jail pun terlukis di wajahnya. "Kamu menyukai bentuk tubuhku?" tanyanya. Ia mendekatkan wajah ke Ana. "Kalau kamu menikah denganku, kamu bisa memiliki semuanya," bisiknya menggoda.
Wajah Ana seketika memerah. Ia memberikan baskom kecil itu pada Ravi. "Kompres memarnya sendiri," suruhnya.
Ravi menarik kembali wajah. Ia menumpukan badan pada kedua tangan yang ke belakang menekan ranjang. "Kamu yang kompres. Lagian memar itu karenamu," balasnya cuek.
Bibir Ana mengerucut. Pria itu terlalu mendominasi. Tidak apa, lagian di sini memang dirinya yang salah karena telah menyebabkan pria itu mendapatkan memar di tubuhnya. Ia menggeser duduk supaya lebih dekat, lalu mulai mengompres dengan merendahkan tubuh agar pas dengan perut pria itu.
"Pelan-pelan," suruh Ravi datar.
Mendengar itu, Ana mendongak. Ia sedikit kesal sehingga pipinya mengembung dengan bibir mengerucut. Ravi terdiam menatapnya, apalagi pipi gadis itu memerah, membuatnya terlihat sangat lucu.
Jantung Ravi pun berdetak cepat. Ia memandang bibir itu, dan menelan ludah. Ia membawa kepalanya lebih menunduk lagi, mendekatkan wajah dengan Ana.
Nyaris saja sebelum akhirnya dering ponsel Ana menyadarkan mereka. Ravi merutuki diri sendiri, entah apa yang terjadi dengan perasaannya. Sedangkan Ana segera menjauh dan menerima panggilan.
"Geno? Aduh, kenapa dadakan sekali? Aku berharap bertemu denganmu besok." Suara Ana terdengar senang bercampur kecewa.
"Baiklah. Hati-hati di perjalanan. Cari uang yang banyak di sana, dan jangan lupa untuk kembali, ya," pintanya kepada seseorang di seberang telepon dengan tawa kecil.
"Tentu saja. Aku akan menunggumu."
Ia mematikan telapon dengan senyuman mengembang. Ketika berbalik, ia kaget melihat Ravi berdiri di belakangnya. Pria itu menatapnya kesal dengan mata menyipit. "Jangan menyukai pria lain," ungkapnya, lebih terdengar seperti perintah.
"Aku menyukainya sebagai teman," balas Ana pelan. Entah mengapa ia merasa perlu mengklarifikasi hal itu kepada Ravi. Padahal, ia belum memberikan jawaban secara jelas perihal ajakan dari Ravi untuk menikah dengannya.
Ravi mengangguk. Ia berjalan menuju lemari kecil dan membuka laci di sana. "Kamu tunggu di luar, aku akan ganti pakaian."
***
Senyuman Ana mengembang. Ia menghirup dalam-dalam udara segar setelah hujan. Ia senang sekali. "Bagaimana kalau kita duduk di bangku trotoar sambil memakan camilan?" usulnya.
Alis Ravi bertaut. "Terdengar membosankan."
"Ets! Tidak kalau denganku." Ia melangkah senang sambil menyebar senyuman, menyapa setiap orang yang berselisih jalan dengan ramah. "Kamu tahu? Tidak penting apa yang akan dilakukan, tetapi dengan siapa melakukannya."
Ravi terdiam memandang gadis yang terlihat riang di sebelahnya. Mengapa gadis itu selalu terlihat ceria tanpa beban? Auranya sangat positif, sehingga menyenangkan memandang dan berada di sebelahnya. Bahkan, orang-orang asing yang disapanya membalas dengan senyuman karena melihat ketulusan di wajahnya.
"Apa kamu selalu seperti ini?"
Ana berhenti di depan pedagang kaki lima yang menjual aneka makanan seperti sosis dan telur gulung. "Aku seperti apa?" Ia tak menoleh, tetapi sibuk melihat berbagai makanan yang tersaji di depan. "Bu, aku pesan sosis tiga dan telur gulung tiga," pintanya ramah.
Ibu penjual itu membalas tak kalah ramah, "Jika memesan sepuluh, ada diskon, Mbak."
"Wah, aku suka sepuluh. Kalau begitu tolong ambilkan sepuluh, ya, Bu." Ia tertawa kecil, begitu juga dengan ibu tersebut. Ia menoleh, ternyata Ravi juga sedang menatapnya. Ia memberikan isyarat, apakah pria itu mau, dan ternyata dia hanya menggeleng kecil.
Ravi membayar makanan Ana, membuat Ana sedikit keget.
"Terima kasih, aku akan membalasnya nanti," ungkap Ana. Ia berjalan menuju bangku di sana, yang menghadap ke arah jalan. Sebelum duduk, ia menyapu sisa-sisa air di sana dengan lengan jaket. Ia juga mengelap ruang duduk di sebelahnya karena melihat wajah Ravi yang meragu. "Duduk saja, sudah kering."
Ravi menuruti. Jika dengan Risa, gadis itu tidak akan betah dengan hal-hal seperti ini dan sesederhana ini. Lihatlah, apa yang akan dilakukan?