webnovel

HUTAN TERKUTUK

"Jangan coba-coba merambah hutan yang kami lindungi!" demikian selalu ucapan warga jika ada pihak perusahaan perkebunan berniat ingin memperluas lahannya ke area hutan itu. Hutan itu memang selalu dijaga warga, bukan hanya puluhan tahun, bahkan ratusan tahun tak ada yang boleh berani menginjakkan kaki di sana. Warga selalu menutup dan menjaganya, bahkan jika ada pihak luar yang berani melanggar mereka tak segan-segan untuk bertindak bahkan mengancam nyawa nya. Ada apa yang disembunyikan warga selama ratusan tahun tak ada yang tahu persis. Dan itu pulalah yang membuat perusahaan yang dipimpin oleh Om Doni menjadi penasaran. Karena ngototnya warga ingin mempertahankan keberadaan hutan itu, ia pihak perusahaan akhirnya nekad mengirimkan dua orang staffnya untuk meneliti kebenaran mitos yang dihembuskan warga, bahwa hutan itu mengandung kutukan yang sangat mematikan. "Aku tugaskan kalian untuk membuktikan ketidakbenaran akan mitos yang dihembuskan warga itu!" kata Om Doni kepada staffnya, Hendra dan Lusia. Dengan setengah terpaksa akhirnya keduanya memasuki area hutan itu, dengan harapan bisa membuktikan ketidakbenaran kutukannya. Tapi sesuatu yang mengerikan justru menunggu mereka di sana. Sesuatu yang selama ratusan tahun menunggu untuk dibangkitkan...! Dan sesuatu itu terus mengejar siapapun di sekitarnya dengan teror dan kutukan yang mengerikan...!

naramentaya20 · Horreur
Pas assez d’évaluations
115 Chs

10

Hendra terpana mendapati tubuh Markurius. Tidak hanya isi perutnya yang terburai. Bahkan kini tubuh pemuda malang itu tinggal separuh karena bagian kaki ke pinggangnya sudah tidak ada.

Motoris motor boat perusahaan itu kini tubuhnya tertelentang di bawah pohon. Ada jejak-jejak kaki di sekitar tempat itu, seperti berasal dari tepi sungai.

Lusia menyingkir beberapa meter dari situ karena tidak tahan. Hanya Hendra yang menatap beberapa lama, kemudian mengambil setumpuk dedaunan kering untuk ditimbunkan di jasad Martinus yang  tampak berantakan. "Astaga... tampaknya hewan buas yang memakan jasad Martinus..." desisnya. Ia lalu bergegas menghampiri tepi sungai, di mana motor boat tertambat.

"Kau bisa mengemudikan motor boat, Hen?" Tanya Lusia.

"Bisa, tapi jaraknya cuma lima meter. Sesudah itu tidak tahu mau nabrak apa," jawab Hendra sekenanya. Ia sendiri kebingungan karena tidak pernah sekalipun mengoperasikan transportasi air itu.

"Astaga!" Lusia melotot. "Jadi kita tak bisa pulang, dong!"

"Sebentar, lagi kuusahakan. Siapa tahu aku mendadak bisa..." Hendra terlihat senyam-senyum. Ia bergegas melangkah ke dalam motor boat, sembari membimbing Lusia. Pemuda itu tampak tidak begitu terpengaruh dengan situasi sulit yang mereka alami. Pengalaman selama bekerja dengan Om Doni dengan segala macam tekanannya membuat ia terbiasa menghadapi hal-hal yang membingungkan.

Dan Lusia lah yang paling khawatir. Ia tampak melotot. "Kalau memang nabrak trus bagaimana? Motor.boat kita terbalik. Trus nyebur ke sungai, trus kita dimakan buaya..."

"Kamu aja kali yang pingin gitu, aku ogah," Hendra tertawa. Dengan santainya ia menghidupkan starter motor boat.

"Hen...!" Lusia memperingatkan khawatir. Dilihatnya Hendra melepaskan tali penambat lalu duduk lagi di jok pengemudi.

Motor boat itu meluncur pelan meninggalkan kawasan terlarang. Hendra agak grogi namun ia tidak mau menambah ketakutan gadis itu akibat situasi yang mereka hadapi, sehingga ia berpura-pura bisa.

"Pilih tercebur ke sungai apa pilih tinggal di hutan angker, Lus?" goda Hendra ketika dilihatnya gadis itu hanya berdiam diri saat motor boat meluncur.

"Pilihannya kok gak ada yang enak," sahut Lusia sambil memandang sekelilingnya. Ia lagi-lagi merasa sangsi apakah Hendra tahu jalan pulang apa tidak.

Hutan di tepi sungai yang mereka susuri justru terlihat semakin lebat dengan pohon yang semakin besar. Hendra mengerutkan alis. Perasaan ia mengikuti jalan yang benar sesuai dengan jalan yang ditempuh oleh motoris sebelumnya.

Sungai kecil kecil itu berliku-liku. Di sisi kiri kanan sungai terdiri dari pepohonan lebat diselingi bangunan sandung, semacam bangunan kecil tempat menyimpan tulang belulang kerabat yang meninggal bagi suku Dayak.

Lusia merasakan hatinya tak menentu. Perjalanan bersama Hendra yang dipikirnya menyenangkan ternyata berubah menjadi sesuatu yang mencemaskan.

"Kau yakin ini jalan kita pulang ke base cam, Hen?" kebimbangan Lusia semakin menjadi-jadi. Dilihatnya kondisi hutan yang mereka lintasi semakin liar. "Hen... ini tidak ben...."

"Sudahlah, Lus! Aku sedang berusaha mencari jalan keluarnya! Kalau ini jalan yang salah, aku berbalik...." potong Hendra. Ia juga tampak tegang karena kawasan sungai itu bukanlah kawasan yang mereka lewati.

Hendra menurunkan kecepatan motor boat. Ia memandang sekelilingnya dengan tatapan waspada.

Bukan hanya hutan belukar, tapi juga pemandangan aneh lainnya seperti banyaknya  sosok-sosok bayangan hitam yang berdiri di sela-sela pepohonan. Sosok-sosok itu tidak jelas wajahnya. Tapi semuanya menghadap ke arah mereka.

"Iiiihhh.... apa itu?!" Lusia membelalak.

Hendra segera memutar haluan. Pelan-pelan motor boat itu berbalik arah.

Lusia terus memandang bayangan-bayangan hitam di sela pepohonan. Jumlahnya bertambah banyak. Bahkan beberapa di antaranya mulai berjalan lamban ke tepi sungai, bahkan ada yang menceburkan diri dan berenang ke arah mereka.

"Oh, Hen! Cepatlah menjauh!" Lusia menjerit panik.