9 9

"Kau yakin kita akan baik-baik saja?"  Gadis itu terlihat setengah putus asa.

"Sampai sekarang kita memang baik-baik saja kan?" Sahut Hendra sambil tertawa. Ia sendiri merasa geli kenapa ia mengucapkan itu.

Lusia mengerjap-ngerjabkan matanya. Ada genangan air di sudut mata yang indah itu. Hendra juga melihat bibir gadis itu tampak bergetar.

"Hen... aku menyesal ikut kemari... aku menyesal...." desahnya.

"Ya, ya. Aku tahu. Tapi kita masih bisa berusaha untuk keluar dari sini, kan?" Hendra menggamit lengan gadis itu untuk menuntunnya berjalan. "Aku sendiri tidak mengerti kenapa kau bagitu ngotot ingin ikut kemari."

Lusia menghentikan langkahnya. Lama ia menatap pemuda itu.

"Kau ingin tahu alasanku, mengapa...?"

"Oh ya. Aku tahu. Tak perlu dijelaskan. Kau ingin foto-foto yang bagus untuk instagram mu, kan?"

Lusia membuka mulutnya, ingin mengatakan sesuatu, tapi ia urungkan. Ia meringis sendiri.

"Ada alasan yang lebih kuat dari sekedar itu, Hen..." gumamnya  kemudian.

Hendra menghentikan langkahnya. Ia mengerutkan alis sambil menatap gadis itu yang entah kenapa tak berani balas menatapnya.

Hendra akhirnya tersenyum. "Tak usah dikatakan kalau memang tak bisa. Tapi apapun alasanmu,  aku berterima kasih kamu telah ikut. Aku tak bisa bayangkan seandainya sendirian di hutan ini. Mungkin sudah mati lemas di dalam lubang sana..."

"Mati lemas di dalam lubang...?" Lusia mengerling lucu. Ia menutup mulutnya dengan telapak tangan.

Hendra mengerutkan alis. "Kenapa...? Oh, astaga! Kata-kataku tadi menimbulkan konotasi negatif ya?" Pemuda itu tersenyum kecut.

Keduanya sejenak sama-sama tersenyum. Melupakan untuk sesaat ketegangan yang melanda mereka.

"Secepatnya kita kembali, dan ceritakan semua temuan ini kepada Pak Doni, oh, astaga...! Martinus? Apa yau bilang tadi? Dia sudah..." Hendra baru saja menyadari sesuatu.

"Perutnya berhamburan, dia tersandar di sebatang pohon, aku tidak tahu siapa pelakunya. Aku ketakutan, Hen! Hutan ini benar-benar tidak aman!" Lusia kembali meringis.

Hendra terpaku sesaat. Ia memandang ke sekelilingnya.

"Sebelum aku bertemu dengan sekelompok warga yang sedang marah, aku menemukan dirinya. Kupikir ia sudah tewas."

"Kau bertemu warga? Apa yang mereka lakukan?"

"Aku nyaris dibunuh, bahkan dengan kurang ajarnya ada yang mencoba..." Lusia tak jadi meneruskan kata-katanya. "Untung saja rusa jinak itu menyelamatkanku..." bisiknya dengan wajah kesal.

Hendra cepat-cepat memungut ranselnya yang tergeletak di tanah. "Kita lihat saja. Kalau memungkinkan aku akan bawa jasadnya kembali, tapi kita harus waspada karena siapa tahu masih ada warga yang berkeliaran mencari kita," desis Hendra. Ia memandang sekelilingnya. "Benar-benar kawasan yang aneh..." ia bergumam.

Dengan sikap hati-hati keduanya keluar dari hutan. Hendra sebelumnya mengeluarkan sesuatu dari dalam ranselnya, dan menyelipkannya di balik saku celananya. Ternyata sebuah pistol berwarna metalik.

"Bekal dari Pak Doni, buat jaga-jaga kalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan," kata Hendra saat dilihatnya Lusia menatap bingung.

"Aku merasa lebih tenang melihat benda itu di tanganmu, Hen. Semula aku alergi melihatnya. Identik dengan aksi kejahatan kupikir," Lusia nyengir.

Tanpa mereka sadari penutup lubang bangunan batu di belakang mereka sedikit demi sedikit bergeser. Dari celah yang terbuka terlihat cahaya kemerahan berpendar-pendar.

                          ***

avataravatar
Next chapter