"Kak, suara apa itu?" Tanya Anes di sela-sela mengulek lombok, sedangkan Arya semakin menggenggam erat baju Anes sebagai bentuk reflek rasa takut.
Terdengar suara runtuhan dari arah depan rumah. Bukan hanya dua kali, tapi terus berkali-kali. Semakin bertambahnya waktu, suara tersebut semakin keras.
"Dasar nggak guna!" Teriak seseorang di balik suara tersebut.
Surya dan Anes saling menatap lalu menghela napas. Mereka berdua kembali melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda. Tanpa mencari tahu asal sumber dan penyebab suara tersebut pun mereka sudah tahu.
"Kak, itu suala Ayah lagi ngamuk ya?" Tanya Arya.
"Iya," jawab Anes.
Mereka bertiga cuek saja, tapi tidak dengan hatinya. Mereka juga berjaga-jaga agar tidak ada yang kena sasaran dari Sholeh. Kejadian di luar dugaan bisa saja terjadi kapan saja, seperti halnya benda-benda melayang karena lemparan Sholeh.
"Ayah tuh kalau lagi kumat macam orang gila, nggak ngotak banget tuh orangnya," kata Surya sedikit kesal.
"Iya ya, Kak. Masa iya sih dia selalu bongkar pasang rumah seenaknya. Rumah kita tuh seperti dianggap seperti mainan puzzle. Padahal akibatnya kemungkinan ada beberapa genteng yang pecah," sahut Anes.
Mereka berdua hanya bisa pasrah dan tidak ada yang berani menegur ayahnya. Ketakutan mereka mengenai siksaan Sholeh kepada Siti terus terbayang di kepala. Bukan hanya sekali maupun dua kali saja, tapi sudah berulang kali hingga membekas di dalam memori.
Jadi, tiap kali Sholeh sedang ngamuk, maka mereka hanya diam saja tanpa sepatah katapun. Kalau sudah tidak kuat mungkin akan menangis maupun ditinggal pergi. Padahal sikap Sholeh yang tempramental bisa membuat kerugian bagi keluarga, terutama terhadap benda-benda yang dirusak.
"Kak, aku takut," ucap Arya semakin mendekat ke Anes.
Dia sedikit mengeluarkan air mata karena terkena aroma lombok ketika Anes sedang mengulek sambal. Kedua mata Arya terbelalak ketika melihat ada Sholeh yang sudah berdiri di depan mereka. Arya semakin merapatkan tubuhnya ke belakang tangan Anes.
"Kak!" Rengek Arya yang semakin menarik-narik baju Anes.
"Ibu kalian di mana?" Tanya Sholeh dengan napas naik-turun secara cepat, terlihat jelas pada bagian dada.
Kedua tangan Sholeh sudah mengepal dengan otot-otot kecilnya yang tercetak jelas. Tubuh dia terlihat kurus, tapi tidak dengan tenaganya. Coba bayangkan, rumah saja dirobohkan hanya dengan menggunakan tangan kosong.
Di lain sisi, Surya ingin sekali melawan Sholeh yang semakin menjadi-jadi. Namun, dia sadar bahwa dirinya adalah seorang anak kecil yang tenaganya tidak sebanding dengan milik Sholeh. Apalagi tenaga anak kecil dan orang dewasa tentu sudah jelas berbeda.
Darah Surya juga sudah naik dan dia ingin sekali melampiaskan kekesalannya. Surya emosi karena Sholeh hanya bisa menuntut saja tanpa melihat kesusahan anak-anaknya. Untung saja masih ada nasi aking yang bisa dimasak kembali, sedangkan Sholeh malah hanya bisa teriak-teriak dan ngamuk tidak jelas.
"Jawab! Di mana Ibu kalian?!" Sentak Sholeh.
Pertanyaan konyol, padahal tanpa dijawab pun seharusnya Sholeh tahu bahwa istrinya sudah berangkat kerja. Melihat kelakuan Sholeh semakin membuat mual di perut Surya. Semakin hari malah semakin suka seenaknya sendiri.
Prang!
Suara sendok di banting dan jatuh tepat di depan Arya. Mereka bertiga pun terkejut. Untung saja tidak mengenai Arya.
"Ibu kerja!" Ketus Surya, meskipun sebenarnya tubuhnya agak gemetar ketika menjawab.
"Kenapa nggak menyiapkan sarapan?"
"Nggak ada yang dimasak, Yah. Ini saja kita mau menanak nasi aking," jawab Anes agak gemetar.
Gubrak!
Cukup sekali tendangan langsung merobohkan pagar yang berada di sebelah barat lalu disusul genteng berjatuhan. Ada beberapa genteng yang pecah dan ada pula yang hanya jatuh. Hal ini lah salah satu penyebab rumah mereka banyak yang bocor ketika hujan mengguyur bumi. Secara jumlah gentengnya saja akan semakin berkurang ketika Sholeh ngamuk.
"Apa-apaan ini?!" Teriak Tiya ketika melihat rumahnya sudah berantakan.
Tidak ada tetangga yang mau ikut campur urusan mereka karena takut kalau akan terkena imbasnya. Tetangga mereka hanya cuma menonton saja ketika ada keributan di rumah mereka yang disebabkan oleh Sholeh. Bahkan terkadang pura-pura tidak tahu dan menganggap tidak ada apa-apa. Untung saja rumah mereka di dalam gang, tidak kebayang saja kalau berada di pinggir jalan utama di desa.
Pada saat Tiya datang, di saat itulah Sholeh pergi begitu saja tanpa sepatah kata pun. Bukan karena Sholeh mau mengalah ataupun takut kepada anaknya, tapi karena dia sudah melihat beberapa kepiting di wadah bekas cat yang dibawa oleh Tiya. Tanpa banyak tanya pun dia sudah tahu bahwa kepiting tersebut akan dimasak.
Setelah Sholeh pergi, Tiya mendekati adik-adiknya. "Kalian nggak apa-apa?"
"Nggak, Kak," jawab mereka bertiga.
"Syukur kalau kalian nggak kenapa-napa."
"Dimasak kamu ya, Nes!" Suruh Tiya meletakkan wadah tersebut di sebelah Anes.
"Loh, tangan Kakak kok pada berdarah gitu?" Tanya Anes cukup terkejut.
"Kamu kan tahu sendiri cara menangkap kepiting kecil ini, tangan kakak harus dimasukkan ke dalam lubang tanah agar ada kepiting yang mencapit, kalau tidak ya nggak akan dapat kepiting," jelas Tiya.
Begitulah perjuangan Tiya untuk adik-adiknya. Dia rela mengorbankan dirinya demi keluarga. Rasa sakit di jari-jarinya tergantikan oleh rasa syukur dan bahagia ketika melihat adiknya bahagia, terutama Arya. Tidak semua anak kecil bisa memahami keadaan, dari hal itulah yang menuntut Tiya untuk bisa berpikir dua kali dari biasanya. Bahkan sudah sering ketika adiknya lapar akan terus merengek.
"Nanti dikasih obat merah biar cepat sembuh, Kak," kata Surya.
"Ah, nggak apa-apa kok, nanti juga akan sembuh sendiri." Senyum tulus Tiya selalu terpancar di bibirnya. Namun, Surya tahu bahwa senyuman Tiya itu penuh dengan penderitaan. Menjadi anak pertama memang banyak tuntutan karena anak pertama adalah tulang punggung keluarga.
"Ya sudah kalau seperti itu."
"Kakak mau mandi dulu ya, bau dan basah banget nih."
"Iya, Kak."
"Kak, aku sama Arya mau ke depan dulu ya, mau cek keadaan rumah. Kakak urus sendiri ini sendirian dulu nggak apa-apa kan?"
"Iya nggak apa-apa," jawab Surya.
Setelah menanak nasi sudah beres, Surya pun mengambil wadah yang diberikan Tiya tadi. Di dalamnya banyak kepiting berukuran sedang dan kecil. Beberapa ada yang masih hidup dan ada juga yang sudah mati. Namun, semuanya masih terlihat segar. Mungkin karena baru saja ditangkap.
Surya sudah tidak sabar ingin menyantap kepiting. Dia membayangkan daging yang berada di capitnya dengan dimasak pedas asam manis adalah kesukaan keluarga. Setidaknya lauk hari ini bisa menutup rasa nasi aking. Tanpa dijelaskan pun tentu sudah bisa dibayangkan bagaimana rasa nasi sisa yang dinanak kembali.
"Ssst!"
Suara tersebut sedikit mengganggu di telinga Surya. Dia menatap di sekelilingnya, tapi tidak ada apa pun. Akhirnya dia pun kembali fokus membersihkan kepiting.
"Ssst!"
Suara tersebut terdengar kembali. Namun, Surya tetap cuek saja tanpa memperdulikan suara tersebut. Bahkan sedikitpun dia tidak mengalihkan pandangan. Dia paling malas kalau ada yang jahil.
"Surya!"
Akhirnya Surya pun memilih mengalah, dia mencari ke arah sumber suara. Tepat di seberang kali ada teman barunya, yaitu Toni. Dia melambaikan tangan dengan senyumnya menunjukkan deretan gigi putih. Lagi-lagi Toni melambaikan tangan kepada dirinya.
"Sini!" Suruh Toni melambaikan tangan balik. "Lewat di jembatan kayu di depan mu!"
"Ke sini saja, aku takut kalau lewat kali. Nanti aku mati lagi," kata Toni dengan wajah datar.
"Mati lagi? Memangnya kamu sudah pernah merasakan kematian?" Tanya Surya.