webnovel

Lapar Membawa Masalah

"Kak, aku lapal mau makan!" Rengek Arya sambil menarik-narik baju yang dikenakan oleh Anes. Dia umur tiga tahun dan masih cadel. Terkadang antara huruf dan pelafalannya saja tidak sesuai.

Air mata Arya terus mengalir membasahi kedua pipi. Ingusnya juga keluar dan dia mengusapnya menggunakan punggung tangan, sehingga meleber sampai di bagian bibir dan pipi. Kedua kakinya terus bergantian menginjak bumi secara kasar.

Sejak tadi pagi, Arya memang belum makan, minum, dan jajan. Anak seusia dia tidak paham mengenai kondisi ekonomi karena memang persediaan beras di rumah sudah habis, apalagi lauk. Tangan Arya semakin kuat menarik-narik baju Anes dan wajahnya semakin memerah.

"Aduh, jangan nangis dong, Ar, Kakak juga lagi gendong adik kamu nih," kata Anes yang juga masih memenangkan adiknya yang berusia 1 tahun, dia bernama Cika.

Saat ini, Anes sedang direngeki oleh dua anak kecil. Bedanya bahwa Arya bisa mengucapkan apa yang dia inginkan, sedangkan Cika belum bisa apa-apa. Jalan kaki saja belum bisa, apalagi bisa berbicara. Jadi, Cika hanya bisa menangis histeris dengan kedua kakinya yang terus memancal.

Menghadapi dua anak kecil seperti ini, sebenarnya bukan masalah mudah. Satu anak kecil saja terkadang ribet, apalagi dua anak. Ditambah bahwa usia Anes masih anak-anak dan badan dia pun terlihat kecil. Keringatnya bercucuran dengan kedua tangannya menabok pelan punggung Cika sebagai bentuk rasa sayang agar Cika berhenti menangis.

"Sudah dong jangan pada nangis, Kakak jadi bingung nih mau ngapain," keluh Anes menahan tangis. Dia sendiri juga tak tahan menahan lapar dan tenaganya sudah hampir habis karena momong dua anak kecil.

Arya semakin menangis. "Hiks, aku mau makan, Kak!"

"Iya sebentar, kita nunggu kakak kamu ya," sahut Anes.

Andai saja ada orang yang bisa mengerti posisi Anes, maka dia ingin sekali mengeluh bahwa dirinya sangat lelah. Namun, di sisi lain dia juga sadar bahwa mengeluh bukanlah jalan keluar, tapi hanya menghilangkan lelah yang sifatnya hanya sementara. Setelah itu, beban akan kembali lagi karena Anes juga sadar bahwa yang menjalani hidup adalah Anes sendiri, bukan orang lain, meskipun pada kenyataannya dia tinggal bersama keluarga dan tidak sendirian.

Suara tangisan Arya dan Cika benar-benar memenuhi gendang telinga Anes. Rasanya cenat-cenut seperti ada benda yang menempel di telinga. Jadi, Anes hanya bisa memejamkan mata ketika rasa tersebut tiba-tiba menyerang.

"Loh kok pada nangis semua?" Tanya Surya ketika berada di ambang pintu. Dia terlihat panik, sehingga langsung menghampiri adiknya lalu memeluk Arya.

Akhirnya Anes pun bisa bernapas lega, tapi justru malah tangisan Arya semakin keras. Tangan mungilnya memukuli dada Surya terus menerus untuk melampiaskan kekesalannya. Arya menangis dalam pelukan Surya.

"Aku mau makan!" Teriak Arya secara berulang-ulang di sela-sela suara tangisnya.

Surya hanya tersenyum kecut mengingat bahwa di rumah tidak ada apa-apa. Namun, tiba-tiba emosinya cukup memuncak ketika melihat Sholeh yang masih saja betah tidur, meskipun mendengar suara rengekan anak-anaknya. Kalau bukan orang tua, mungkin dia sudah nekat untuk mengguyur tubuh Sholeh menggunakan air.

"Dasar orang tua beban, kurang ajar banget!" Umpat Surya di sela-sela mengelus punggung Arya. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa tatapan Surya benar-benar memancarkan aura kebencian.

Setelah itu, Surya menatap Arya ketika tangisnya mulai reda. Tangannya masih setia mengelus punggung Arya. "Kita makan ya, Kakak mau masak dulu."

Sebenarnya Surya juga tidak tahu bahan apa yang akan dimasak. Kakaknya belum pulang dan di rumah hanya ada dirinya dan adik-adiknya. Soal Sholeh, dia anggap bahwa Sholeh tidak pernah di rumah, meskipun tubuhnya sudah terpampang jelas bahwa dia sudah ada di depan mata.

Sedangkan Anes, dia masih sibuk menenangkan Cika yang terus saja merengek, tapi suara tangisnya semakin mengecil dengan kedua mata mulai terlihat menyipit. Dari ciri-cirinya, kemungkinan Cika kelelahan hingga sampai kedua matanya benar-benar menutup sekaligus suara tangisnya. Anes tersenyum bahagia karena adiknya sudah tidur.

"Kak, kita mau masak apa ya?" Tanya Anes.

"Kakak juga nggak tahu, di rumah kan sudah nggak ada apa-apa. Kalau mau cari kangkung di belakang rumah ada sih, tapi kamu tahu sendirilah bahwa kangkung tersebut milik tetangga. Kalau kita metik, maka kita harus bayar," jawab Surya.

Kangkung memang terlihat sepele dan bahkan dianggap seperti rumput yang terkadang tumbuh sendiri. Namun, di Desa Ngasem, kangkung juga termasuk peluang usaha, meskipun kangkung tersebut tidak penting dirawat, hanya modal tumbuh di lahan siapa saja. Jadi, bagi yang memiliki lahan tersebut, maka kangkung tersebut milik orang tersebut. Padahal kangkung di jaman sekarang seperti sayur yang tidak ternilai.

"Jadi kita nggak bisa makan, Kak?" Tanya Arya menahan tangis lalu mengucek kedua matanya. Bibirnya terlihat jelas melengkung ke bawah menahan tangis.

"Kata siapa? Nanti kita akan tetap makan kok," sahut Surya lalu mengacak rambut Arya pelan. Senyum tulusnya memberikan aura hangat dan keyakinan bagi diri Arya.

"Terus kapan makannya?"

"Kita ke dapur sekarang!" Ajak Surya dan langsung menuju ke dapur sambil menggandeng tangan adiknya.

Anes yang mengerti pun langsung merebahkan tubuh Cika di kamarnya lalu menyusul Surya. Sesampainya di dapur, dia melihat Surya yang masih kebingungan. Kedua mata Anes menyapu lingkungan sekitar untuk mencari jalan keluar.

Tepat pada pojok pintu belakang rumah ada nampan yang terbuat dari bilahan bambu. "Kita masak Aking saja, Kak!"

Surya menatap ke arah sumber suara. "Aking?"

"Iya, daripada nggak ada yang dimakan sama sekali," jawab Anes.

Surya menatap beberapa aking yang dipenuhi dengan jamur berwarna kuning. Aking itu nasi yang dijemur. Biasanya akan digunakan sebagai makanan ayam maupun bebek.

"Kamu yakin, Nes? Ini tuh dari nasi yang sudah basi loh."

"Ya mau bagaimana lagi, Kak. Memangnya Kakak nggak kasihan sama Arya? Nanti akingnya di cuci dulu sampai bersih," jawab Anes sangat mantap.

"Huft, ya sudah kalau seperti itu, akingnya dinanak dengan lauk sambal garam ya. Kamu bikin sambalnya sana! Cuma ada lombok sama garam. Nanti Arya bisa pakai garam saja nggak apa-apa. Akingnya biar Kakak yang ngurus."

"Siap! Arya, kamu ikut Kak Anes saja ya," pinta Anes dijawab dengan anggukan kepala Arya.

Hidup dengan segala kekurangan membuat mereka cukup menderita. Bukan hanya capek di fisik saja, melainkan juga capek di pikiran. Kebahagiaan yang seharusnya mereka dapatkan di usianya, justru malah dirampas oleh keadaan yang terus menuntut kehidupan. Jadi, tekanan batin adalah makanan sehari-hari mereka.

Gubrak!

Suara benda terjatuh terdengar dari arah depan rumah. Hal itu cukup membuat Surya terkejut. Dia menatap Anes dan hanya dibalas dengan mengendikkan bahu dilanjut dengan gelengan kepala.

"Kurang ajar!" Umpat seseorang lalu terdengar lagi suara yang lebih keras.

Gubrak!