webnovel

Senapan Bambu

"Sur, bagaimana cara mainnya nih?" Tanya Toni dengan tangan pucatnya yang memegang bambu kecil berlubang dan satu tangkai bambu kecil yang teksturnya sudah dihaluskan. Benda tersebut bernama senapan bambu.

"Gampang, nih pelurunya nanti pakai ini," jawab Surya menunjukkan kertas basah di tangannya.

"Kertas?" Surya mengerutkan keningnya membentuk gelombang-gelombang kecil. "Sejak kapan kertas jadi peluru? Dulu aku pernah kena tembak pakai peluru besi ketika jaman perang."

Deg!

Jantung Surya berdebar sangat cepat. Dia menatap Toni dengan tatapan dingin dan sedikit kebingungan. Sudah beberapa kali dia mengatakan kalimat yang seharusnya tidak diucapkan. Bahkan saat ini, bulu roman Surya ikut berdiri. Hembusan angin siang menerpa wajahnya memberikan kesan mistis.

"Kenapa menatapku seperti itu?" Tanya Toni. Wajahnya itu selalu terlihat datar, bahkan melihat ataupun kejadian lucu pun hanya dia respon dengan senyuman saja. Terkadang kalau ada hal baru yang benar-benar membuat orang penasaran pun Toni hanya tetap diam, seperti tidak ada sedikitpun rasa penasaran di dalam benaknya.

"Nggak ada, aku cuma heran saja," jawab Surya lalu kembali membuat adonan kertas basah yang dibentuk bulat-bulat kecil untuk dijadikan sebagai peluru.

"Heran kenapa? Padahal aku dari tadi masih biasa saja."

"Ya gimana ya, kamu kalau ngomong seperti orang ngelantur sendiri. Kalau kamu kena peluru di jaman perang, berarti kamu sudah mati dong. Buktinya sekarang kamu masih hidup dan berada di sampingku. Lagian jaman perang itu sudah lewat beberapa tahun yang lalu dan sekarang negara kita sudah merdeka," jelas Surya.

Respon Toni hanya terkekeh saja seakan tidak ada yang aneh. Baginya hanya biasa saja dan tidak heran kalau Surya terkejut. Dia pun meneliti setiap bentuk senapan bambu yang dipegangnya.

"Kamu tahu nggak kalau benda ini nggak ada apa-apanya. Aku dulu kalau ikut jaman perang pakainya alat-alat yang mengerikan, bahkan bom itu seperti andalan untuk makanan sehari-hari," kata Toni.

Lagi-lagi Surya dibuat tercengang olehnya. Dia sendiri tidak paham dan tidak terlalu tahu maksud dan arah cerita Toni. Dia tahu bahwa dulu memang ada perang, tapi sekarang dia sadar bahwa negaranya sudah merdeka. Satu lagi bahwa Toni itu seumuran dengan dirinya. Harusnya ucapan Toni tidak ngelantur dan membuat orang lain bingung.

Kedua sorot mata Surya mengamati wajah temannya. Dia terlihat begitu datar dan pucat, terutama pada bagian bibir. Anehnya, di bagian kelopak matanya terlihat sedikit memerah.

"Apakah kamu sedang sakit? Aku lihat sepertinya kamu sedang tidak baik-baik saja deh."

Toni tersenyum. "Aku nggak apa-apa, cuma sakit saja dibagian dada ketika dulu kena tembak dan rasa sakitnya terasa sampai sekarang."

"Aduh, Ton, lama-lama aku bakal jadi gila deh. Aku nggak tahu apa maksud kamu. Perang, mati, dan sakit, sumpah nggak kepikiran saja sampai sana," kata Surya sambil mengacak rambutnya frustasi.

"Nah, kalau seperti itu, nggak usah dipikirkan. Lagian nggak penting juga kok."

"Nggak penting itu kata kamu, tapi kamu sudah membuat diriku penasaran."

"Ya habis mau bagaimana lagi, aku saja nggak tahu kenapa hal ini bisa terjadi pada diriku."

Surya diam sejenak, dia kembali melanjutkan aktivitasnya, yaitu membuat peluru. Kertas yang sudah dibentuk menjadi bulatan kecil diletakkan pada wadah yang terbuat dari daun. Besar ukuran peluru disesuaikan dengan lobang bambu agar tidak macet ketika senapan bambu dimainkan.

Biasanya Surya dan teman-temannya bermain senapan bambu di kebun-kebun karena cara mainnya persis seperti orang perang. Terkadang kalau terkena senapan pun terasa sedikit sakit bercampur dengan dingin, mungkin karena efek air yang digunakan untuk membasahi kertas. Kalau rasa panas yang ditimbulkan karena adanya hentakan dan gesekan dalam waktu singkat sehingga benda yang meluncur pun dengan kecepatan tinggi.

Tubuh Surya sedikit menggeliat ketika tanpa sengaja tangannya bersentuhan dengan punggung tangan Toni. Hal ini sudah kedua kalinya kulitnya bersentuhan dan rasanya pun juga sama, yaitu sama-sama dingin seperti setelah memegang es batu. Lagi-lagi Surya pun menatap inci wajah Toni dengan teliti.

"Kenapa?" Tanya Toni tanpa melihat wajah Surya. Dia juga sedang sibuk membuat peluru senapan bambu. Namun, memang ada rasa bahwa dirinya sedang diamati oleh Surya. Posisi duduknya saja bersebelahan, tentu auranya pun dapat.

"Nggak apa-apa, cuma bingung lagi saja," jawab Surya lalu menghela napas berusaha untuk menghilangkan rasa penasaran dan kebingungannya. Dia paling malas kalau berpikir hal-hal yang seharusnya tidak perlu dipikirkan.

"Dari tadi bingung terus, ngapain dibuat bingung sih? Selagi masih bisa hidup tinggal nikmati saja apa yang ada, jangan terlalu dibikin rumit karena hidup di dunia itu nggak akan lama."

"Ya mau bagaimana bisa menikmati kalau tiap hari yang ada bawaannya tuntutan, kekurangan, keributan, dan bahkan saat ini saja aku kebingungan," ujar Surya.

"Loh, memangnya apa yang membuat kamu bingung seperti itu?"

"Kamu."

Dahi Toni membentuk gelombang-gelombang kecil. "Aku?"

"Iya, aku heran banget karena tangan kamu itu dingin banget, suhu tubuh kamu tidak seperti orang normal."

"Ya memang aku nggak normal. Akan sampai kapanpun nggak akan bisa yang namanya normal. Aku kan sudah bilang aku sudah pernah mati karena kena tembak lalu terjatuh di sungai."

Deg!

Jantung Surya semakin berdebar. Tangan kanannya mengelus dada berkali-kali untuk mengecek jiwa dan raganya. Pikirannya campur aduk dan dia sendiri tidak tahu mengenai keberadaan yang ada. Sebab, Toni sendiri berada tepat di depannya.

Pertama, Surya menatap kedua kaki Toni yang menapak di tanah. Kemudian dia mengamati tiap pergerakan yang dirinya lakukan, tepatnya ketika membentuk kertas menjadi bulatan kecil. Terakhir, dia menatap wajah serius milik Toni.

Dari ketiga hal tersebut tidak ada sedikitpun yang ganjal. Bahkan Surya sendiri sampai tidak bisa menyimpulkan dari hasil pengamatannya. Dia sadar bahwa dirinya tidak bisa membedakan mana manusia asli dan mana yang hantu, kecuali memang benar-benar jelas bahwa hantu tersebut menampakkan bentuk maupun ngambang di atas tanah.

"Memangnya kamu benar-benar sudah pernah mati ya?" Tanya Surya agak merinding, tapi lebih merinding lagi kalau tidak ditanyakan dan bahkan ditambah dengan bingung.

"Sudah."

Tepat pada saat itu juga keringat dingin menyelimuti tubuh Surya, tapi kakinya terasa lemas seperti tidak ada sedikitpun tenaga. Mau digerakkan untuk pindah posisi saja sangat susah, apalagi kalau sampai lari. Namun, pada kenyataannya bahwa jiwanya memberontak ingin pergi meninggalkan Toni. Akhirnya, Surya memutuskan memberanikan diri untuk terus bertahan dan menganggap tidak ada sesuatu yang janggal, meskipun pada kenyataannya dia ingin sekali kepastian mengenai keadaan.

"Hm, tapi kok kamu bisa di sini sama aku? Aku sangat yakin bahwa saat ini kamu sedang ngehalu bahwa diri kamu sudah mati."

"Ck, lagian ngapain aku harus ngehalu jika pada kenyataannya takdir telah berlalu dan aku telah mati karena peluru yang menembus tubuhku. Aku bisa di sini karena kamu bisa melihat diriku," jelas Toni.

Surya malah terkekeh mendengar jawaban Toni. Dia anggap jawaban Toni malah sebagai lelucon. Dia juga yakin bahwa saat ini, Toni sedang membual.

"Nggak usah ketawa terus!" Ketus Toni sedikit kesal karena sedikitpun Surya tidak memberikan rasa kemanusiaan terhadap dirinya.

"Ya bagaimana aku nggak ketawa kalau kamu nya saja yang mancing aku ketawa. Apa yang kamu katakan tadi kenapa nggak kamu tulis sekalian saja biar jadi sebuah buku."

"Kamu nggak percaya ya? Apa kamu harus mati dulu biar bisa percaya?" Tanya Toni dengan wajah semakin datar.

Next chapter