webnovel

11. Berdamai dengan luka

Nadhira duduk di kursi taman yang ada di rumah sakit. Dia termenung lama di sana. Sejuknya udara karena rindangnya pepohonan serta sepoi-sepoi angin yang terus berhembus tak mampu ia rasakan. Wajahnya tampak sangat muram.

Heru yang berdiri tak jauh dari kursi itu hanya bisa menghela nafas dalam. Dia kemudian melihat ke arah sebotol air putih yang dipegang tangan kanannya. Setelah itu dia menghampiri Nadhira dan ikut duduk di sampingnya.

Nadhira bergeming tidak menghiraukan Heru yang duduk di sampingnya. Nadhira sibuk dengan dunianya sendiri, termenung dengan segala macam pikirannya.

Heru melihat pada Nadhira. Dia bingung dan tidak tahu harus berkata apa.

"Kau pasti sangat terkejut. minumlah untuk menenangkan dirimu," ujar Heru dengan penuh kehati-hatian seraya menyodorkan botol air minum yang sudah terlebih dulu dibukanya .

Nadhira tersenyum getir. Kemuraman masih tampak pekat di wajahnya. Dia mengabaikan air minum yang disodorkan Heru tepat di depannya.

"Apa kehidupan sedang mempermainkan ku?" tanya Nadhira dengan pandangan ke depan dan ekspresi tampak lesu.

Heru menarik lagi air minum yang disodorkannya, menutupnya kembali dan menaruhnya di kursi tepat di sampingnya.

"Aku dulu sangat sedih dengan keadaanku. Aku bahkan kesulitan karena aku hidup di panti dan tidak tahu asal-usul ku. Aku banyak diejek karena itu. Anak haram, anak yang tidak diinginkan, bahkan anak pembawa sial. Saat itu menjadi hari-hariku yang sangat berat dan melelahkan," terang Nadhira dengan wajah tampak sendu.

Sekejap bayangan saat dia dibully oleh teman-temannya sewaktu SMP tampak jelas di pelupuk matanya.

Nadhira mengusap air matanya yang jatuh dengan punggung tangannya saat ia sadar dari ingatannya.

Heru yang memandang lekat Nadhira dari samping hanya bisa diam dengan ekspresi iba.

"Tapi kenapa? Saat kini aku sudah benar-benar ikhlas menerimanya, dan tidak lagi terpengaruh dengan statusku itu, hal ini justru terjadi dan membuat hatiku tak menentu," lanjutnya di tengah isak tangisnya.

Heru yang melihat tangannya spontan bergerak untuk menepuk bahu Nadhira dan mencoba menenangkannya ia tarik kembali. Dia takut Nadhira tidak menyukainya.

Heru menghela nafas lalu memalingkan pandangannya dari Nadhira menjadi ke depan.

"Aku pernah mendengar ini dari mu saat di panti asuhan, di sana, kau bilang Allah maha baik. Segala ketentuannya pasti yang terbaik untuk kita. Hanya saja mungkin kita tidak bisa melihatnya, atau bahkan tidak menyadarinya."

Mendengar itu spontan Nadhira menoleh pada Heru yang masih melihat ke depan.

Heru kemudian tersenyum saat menoleh dan melihat Nadhira tengah melihatnya.

"Kau tidak boleh lupa dengan kata-katamu sendiri. Seperti itulah Nadhira yang ku kenal, bukan seperti ini," lanjut Heru tersenyum.

Nadhira bergeming seraya terus melihat pada Heru. Dalam keadaan hati yang tak menentu dia merasa tertohok dengan kalimat yang Heru ucapkan.

Heru tersenyum seraya menganggukkan kepalnya pelan, seolah mengerti apa yang ada di pikiran Nadhira.

***

Di malam hari Ilham mengunjungi Nadhira di kontrakannya.

Nadhira lalu menceritakan semuanya pada Ilham dan membuatnya sangat terkejut.

Di kursi ruang tamu yang sederhana itu mereka duduk saling berhadapan dengan kepala yang sama-sama tertunduk. Suasana hening untuk beberapa saat.

Dalam keadaan hati yang tak menentu, Nadhira tidak tahu harus berkata apa. Begitu pula sebaliknya, Ilham juga tidak tahu kata apa yang tepat yang bisa dia ucapkan dalam keadaan seperti itu.

Setelah hening beberapa lama, tiba-tiba saja Ilham mendesah lalu tersenyum miring.

"Ternyata percakapan omong kosong kita pada waktu itu benar-benar menjadi kenyataan," ucap Ilham tiba-tiba masih sedikit merasa tak percaya.

Nadhira masih diam, menunduk tak menjawab.

"Sekarang, Pak Joko benar-benar beruntung," lanjut Ilham seraya melihat pada Nadhira yang masih menunduk.

"Seperti katamu waktu itu, ini seperti sebuah keajaiban." Heru terus bicara satu arah.

Nadhira yang menunduk terisak seraya mengusap air mata yang terus jatuh tanpa henti dengan kedua telapak tangannya bergantian.

Ilham yang melihat Nadhira seperti itu juga ikut merasakan sesak. Dia kemudian menghela nafas dalam.

"Sekarang menangislah sepuas mu. Lepaskan semua beban yang ada di hatimu, dan setelahnya berjalanlah di atas keajaiban itu."

Mendengarnya tangis Nadhira pecah. Dia menangis dengan keras.

Ilham segera beranjak dari duduknya, beralih duduk di samping Nadhira. Menepuk-nepuk pundaknya berusaha menenangkan.

Setelah beberapa saat tangis Nadhira yang keras tak lagi terdengar, hanya isak nya yang masih tampak dan terdengar patah-patah.

"Aku tahu, Nadhira ku wanita yang kuat," ucap Ilham sambil tersenyum masih menepuk-nepuk bahu Nadhira.

***

Heru melempar handuknya yang baru saja ia gunakan untuk mengeringkan rambutnya ke sembarang tempat. Dia kemudian menjatuhkan tubuhnya ke kasurnya, memandang langit-langit kamarnya lalu menghela nafas dalam.

"Bagaimana keadaan dia? Apa dia baik-baik saja sekarang?" ucapnya sendiri dengan perasaan khawatir.

Heru kemudian mendesah.

"Ini pasti membuatnya sangat terkejut."

Heru kemudian memiringkan tubuhnya.

"Dia sudah melalui hidup yang berat. Ku harap dia baik-baik saja."

Heru memejamkan matanya.

"Aku ingin segera bertemu dengannya. Bertemu dengannya lagi. Dan ingin terus berada di sampingnya. Setiap saat," gumamnya dengan mata terpejam.

Heru menghela nafas dalam lagi.

"Aku tidak bisa melupakannya," gumamnya lagi masih dengan mata terpejam.