webnovel

12. Dua hal yang tidak berubah

Seraya menyeret kopernya, Nadhira masuk ke rumah Pak Joko. Dengan langkah pelan dan ekspresi segan dan sungkan pandangan Nadhira sedikit menjelajah ke berbagai sudut ruang depan rumah Pak Joko. Ruangan itu sangat besar dan tampak sangat mewah meski di desain dengan model minimalis.

"Ini rumah Kakek. Dan sekarang ini rumahmu juga," ucap Pak Joko menghentikan langkahnya yang berada di depan Nadhira.

"Jika kau membutuhkan sesuatu, Kakek harap kau tidak sungkan untuk langsung memberi tahu Kakek," tambah Kakeknya setelah menoleh.

Kakeknya kemudian menghampirinya, lalu menggenggam tangannya.

"Kakek sangat senang dan bersyukur bisa bertemu denganmu. Kakek harap kau pun begitu."

Nadhira tersenyum menanggapinya.

Duniaku sudah pasti akan berubah seratus delapan puluh derajat.

Kamar yang dulu sempit dan tampak biasa berubah menjadi besar dengan desain dan interior yang tampak mengesankan.

Lemari yang dulu hanya ada satu dan kecil dengan baju sederhana di dalamnya, kini berubah dengan lemari yang tersedia khusus di satu ruangan dengan baju berbagai merek yang indah dan mahal.

Semuanya tersedia, tak perlu melakukan apa pun. Tinggal satu panggilan pelayan, semuanya tersedia.

Nadhira terdiam beberapa lama saat duduk di meja makan yang sudah dipenuhi dengan banyak makanan lezat.

Nadhira juga bergeming beberapa lama saat menatap kamar dan juga lemari yang sebelumnya tidak pernah ia bayangkan sedikit pun.

Ilham benar, sekarang aku tengah berjalan di atas keajaiban. Batin Nadhira saat berdiri di dalam kamarnya.

***

"Bagaimana, apa rumah barumu menyenangkan?"

"Jangan meledekku!" Jawab Nadhira.

"Ih, apaan sih, siapa juga yang meledek. Lah wong aku serius," sergah Ilham.

"Entahlah, semuanya masih terasa aneh bagiku," jawab Nadhira kali ini serius.

"Tapi Pak Joko baik padamu, kan?"

"Hm, tentu saja."

"Syukurlah aku lega mendengarnya," ujar Ilham seraya tersenyum.

Seorang pelayan kafe datang membawakan pesanan Ilham dan menaruhnya di atas meja satu persatu. Menghentikan sementara bincang antara Ilham dan Nadhira.

"Makanlah! Aku sudah memesannya tadi saat kau belum datang. Seperti biasa, kue kesukaanmu dan juga minuman kesukaanmu."

Nadhira tersenyum. Bahagia.

"Terima kasih. Kau memang yang terbaik."

"Akan selalu," sahut Ilham tersenyum seraya menatap Nadhira dengan penuh cinta.

"Sepertinya hidupku sangat beruntung sekarang."

Seraya saling tatap, mereka kemudian sama-sama tersenyum.

"Tapi sekarang kau sudah memiliki segalanya, apa perasaanmu padaku masih tetap sama?" tanya Ilham di sela-sela makannya.

Sekejap Nadhira menghentikan kunyahan nya dan spontan menaruh garpu yang sedang dipegangnya di atas piring. Matanya kemudian memicing dengan bibir yang kemudian ia manyun kan.

"Iss, kau pikir aku ini apa?" ucapnya kemudian merasa kesal.

"Iya maaf maaf aku salah."

Nadhira yang kesal merajuk.

"Maaf, aku salah. Aku janji tidak akan pernah meragukan perasaanmu lagi," ulang Ilham.

Nadhira masih diam.

"Ah, Ilham kau dasar bodoh. Bodoh bodoh bodoh," rutuknya pada dirinya sendiri seraya menampar kedua sisi pipinya dengan tangannya secara bergantian.

Nadhira yang melihat kelakuan Ilham itu dibuatnya tersenyum lalu kemudian tertawa.

Setelah melihat Nadhira tertawa, Ilham mengehentikan kekonyolannya itu. Namun Nadhira masih terus tertawa.

Saat Nadhira tersenyum mau pun tertawa, Nadhira akan terlihat lebih cantik. Ilham menikmati momen itu, melihat Nadhira tertawa. Selain Nadhira menjadi lebih cantik, hatinya juga akan sangat bahagia kala melihat itu.

Ilham terus tersenyum saat melihat Nadhira tertawa.

"Kau sudah tidak marah lagi, kan?" tanya Ilham setelah Nadhira berhenti dari tawanya.

Nadhira tersenyum.

"Siapa yang marah?"

"Kamu."

"Aku tidak marah," jawab Nadhira.

"Terus tadi itu apa?" cecar Ilham.

"Oh, tadi aku hanya bercanda." Nadhira tersenyum lebar seraya mengangkat tangannya dan membentuk huruf v.

Ilham mendesah pelan. Padahal tadi dia sudah bersikap bodoh.

Ilham menyilang kan kedua tangannya di depan perutnya.

Ilham kesal. Sedangkan Nadhira tersenyum melihatnya. Bagi Nadhira itu tampak lucu.

Meski duniaku berubah seratus delapan puluh derajat, tapi ada dua hal yang tak akan pernah berubah, yaitu mimpiku, dan juga perasaanku terhadap lelaki yang ku cintai. Batin Nadhira Seraya terus menatap Ilham dengan senyumnya yang masih mengembang.

***

"Pak Joko pasti sangat senang bisa bertemu lagi dengan cucunya yang dikiranya sudah meninggal sejak lama," celoteh mama Heru di sela-sela makan malam.

"Mama tidak bisa membayangkan bagaimana bahagianya Pak Joko sekarang," lanjut mama Heru seraya mengunyah makanannya.

Heru dan papanya diam, makan dengan tenang tanpa berkomentar. Tidak menghiraukan celotehan mama Heru.

"Tapi Her, bagaimana kamu bisa mengenalnya? Mama belum melihatnya. Apa dia cantik?" Mamanya terus bicara bersemangat.

"Mah, Mah, kita sedang makan Mah," tegur papa Heru mencoba menghentikan istrinya.

"Is Papah, gak apa-apa kan kalau sekali-kali," kekeh istrinya.

"Is, Mamah mah, bukan sekali-kali, tapi kebiasaan," sahut papa Heru menyela.

Di sela-sela makannya Heru hanya tersenyum melihat perdebatan antara mama dan papanya itu.

"Ya udah sih Papah diem aja kalo gak suka. Mama kan nanyanya sama Heru." Kali ini mama Heru tak ingin mengalah.

"Ayo Her, jawab Mama!" Pinta mamanya memaksa hingga menghentikan makannya.

"Yang mana, Mah?"

"Iss," sahut mamanya kesal.

"Iya yang mana? Mama kan nanyanya bukan hanya satu," bela Heru.

"Tuh kan, Heru aja jadi bingung," ledek ayah Heru yang sudah menyelesaikan makannya.

"Udah Papah diem aja," sergah mama Heru.

"Ya udah, dia cantik, gak?" ulang mamanya bertanya.

"Cantik mah. Dia sangat cantik," ujar Heru seraya tersenyum dengan raut wajah yang tampak sumringah.

Ekspresi yang tampak sangat jelas. Mamanya bisa melihat cinta dari ekspresi itu.

"Kamu, juga menyukainya, kan?" lanjut mamanya perlahan.

Kalimat yang sontak membuat Heru tersedak. Heru segera minum air putih yang ada di samping piringnya.

Mamanya tersenyum.

"Ayo Pah, kita atur pertemuan dengan Pak Joko. Bukankah Pak Joko pernah bilang akan menjodohkan cucunya dengan Heru." Mamanya bersemangat bicara pada papahnya.

"Mamah," sergah Heru cepat.

"Mama seharusnya tanya dulu sama Heru."

"Tidak usah. Tersedak mu itu adalah jawabannya.

"Yah, Pah. Kita hubungi saja Pak Joko secepatnya."

Mamanya yang sangat antusias tak menghiraukan pendapat Heru sama sekali.

Heru meremas rambutnya dengan kedua tangannya frustasi.

Papanya melirik pada Heru lalu mengarahkan pandangannya kembali pada istrinya.

"Nanti Mah, ini masih terlalu dini. Dan kita harus melihat waktu yang tepat," jawab papa Heru tenang dan rasional. Namun membuat mama Heru sedikit kecewa.

Mendengar itu setidaknya Heru bisa menghela nafas sejenak untuk memikirkan bagaimana dia bisa lolos dari keinginan mamanya itu.

Dia sebenarnya tidak keberatan, namun Nadhira pasti sangat keberatan, karena Nadhira tidak menyukainya.

Nadhira tidak menyukainya. Memikirkannya, membuat hatinya terasa perih dan sakit.