webnovel

10. Kejutan terbesar

Awan hitam terus bergulung menghiasi langit hingga tampak gelap keabuan.

Meski cuaca tampak mendung, Nadhira tetap mengendarai motornya dengan kecepatan sedang seperti biasanya. Baginya keselamatan lebih penting daripada terkena hujan, itu tidak masalah bagi Nadhira.

Saat ia terus mengendarai motornya tiba-tiba saja dia merasa seperti ada yang salah pada motornya. Beberapa kali laju motornya tersendat, lalu tidak berapa lama dari itu motornya benar-benar tidak bisa bergerak sama sekali.

"Ah tidak, aku mohon jangan mogok sekarang," ucap Nadhira sendiri panik berharap motornya tidak benar-benar mogok.

Nadhira berusaha untuk tetap tenang dan kemudian mencoba kembali menyalakan motornya.

"Bismillah, ku mohon menyala lah!" Pinta Nadhira.

Namun meski sudah berkali-kali mencoba menyalakannya, motornya tetap tidak mau menyala.

Nadhira menghela nafas dalam, lalu memilin bibirnya, dia mulai resah.

Dengan wajah khawatir dia mendongak ke atas langit yang sudah tampak semakin gelap. Tak lama setelah itu dia meraih ponsel dari tasnya. Menyalakan ponselnya lalu memandang layarnya untuk beberapa saat. Nadhira berpikir.

Dia tahu sekarang Ilham tengah bersama kliennya sedang melakukan pemotretan. Jika dia menghubunginya pasti Ilham akan meninggalkan pekerjaannya.

Nadhira menghela nafas lalu menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Tidak tidak, aku tidak boleh menghubunginya," racau Nadhira bimbang.

"Tapi.." Nadhira kembali melihat layar ponselnya. Lalu melihat ke atas langit lagi dan menghela nafas pelan, kemudian dia menggelengkan kepalanya lagi.

"Tidak Nadhira tidak, kau tidak boleh menghubunginya," racau Nadira lagi berkonflik dengan batinnya.

Nadhira kemudian mendesah dan mau tidak mau akhirnya menuntun motornya.

Rintik hujan mulai turun. Nadhira menghentikan langkahnya lalu mendongak.

"Ya ampun, bagaimana ini?" Nadhira menoleh ke setiap sudut jalan. Dia kemudian menghela nafas.

"Sepi lagi. Kenapa tidak ada kendaraan yang lewat?" gerutu Nadhira mulai panik.

Rintik hujan seketika berubah menderas. Tubuhnya sudah mulai basah kuyup.

Baru beberapa langkah menuntun motornya, Nadhira menghentikan langkahnya lagi, membiarkan motornya berdiri tersiram derasnya hujan.

Pandangan Nadhira kembali menjelajah ke segala sudut jalan, namun nihil. Jalan tetap tampak sepi.

Nadhira yang frustasi menutup matanya rapat-rapat seraya menghela nafas dalam. Dia kemudian berjongkok, menenggelamkan kepalanya ke atas dua tangan yang dia lipat. Beberapa saat tetap seperti itu. Membiarkan Derasnya hujan menguyur tubuh dan motor yang ada di sampingnya dengan bebas.

Nadhira bergeming, tidak tahu harus melakukan apa sebelum akhirnya dia merasakan air hujan tak lagi mengguyur tubuhnya meski hujan masih terdengar deras.

Dengan kepala yang masih dalam keadaan menelungkup Nadhira mulai bingung.

Dengan perlahan dia kemudian mulai mengangkat kepalanya dari atas tangannya. Mulai mendongakkan kepalanya ke atas.

Cinta, sulit sekali rasanya mengenyahkan perasaan itu jika sudah masuk ke dalam ruang hati.

Meski logika berkata abaikan, namun hati menolak dan mengalahkannya.

Aku tak ingin menjadi manusia jahat yang mungkin dapat mengganggu hubungan yang telah terjalin dan ingin dipertahankan.

Namun, karena logika terkalahkan oleh rasa aku sungguh tidak bisa. Maafkan.

Nadhira secara perlahan melihat payung yang menaungi tubuhnya. Dan setelah benar-benar mendongak dia juga bisa melihat siapa yang memegang payung itu dengan kokoh.

Pandangannya kini saling bertemu. Heru tersenyum ke arahnya dengan sangat manis dan binar mata penuh cinta. Tatapan itu bertahan untuk beberapa saat.

"K..kenapa kau, ada di sini?" ucap Nadhira tergagap karena terkejut dan sedikit gugup. Dia kemudian dengan cepat mengalihkan pandangannya ke bawah.

Heru melebarkan senyumnya saat menyadari Nadhira mulai gugup hingga tampak salah tingkah.

"Aku kebetulan lewat," sahut Heru kemudian dengan lembut.

Nadhira yang masih merasa tidak nyaman diam tidak berkata apa-apa.

"Bangunlah! Kita harus segera ke mobilku!" lanjut Heru.

"Tidak usah. Terima kasih," jawab Nadhira tegas meski dalam hati dia masih bingung harus bagaimana.

"Ayolah Nadhira, ini bukan waktunya untuk menolak," terang Ilham berusaha membujuk.

Nadhira yang masih berjongkok mengarahkan pandangannya ke depan. Hujan masih tampak sangat lebat. Tidak ada tanda-tanda hujan akan segera berhenti. Dengan wajah lesu Nadhira menghela nafas dalam.

***

Meski terpaksa Nadhira akhirnya memutuskan menerima bantuan Heru untuk menumpang mobilnya. Namun Nadhira memilih untuk duduk di belakang.

Di belakang, dia terus diam dengan wajah tampak merasa bersalah.

Tiap kali dia terjebak dengan Heru, Nadhira merasa dia tengah berkhianat dari Ilham.

Tanpa menghiraukan Nadhira yang terus diam, di kursi depan Heru melepas jasnya.

"Ini, pakailah!" ujar Heru kemudian seraya memberikan jasnya pada Nadhira.

"Hm," ujar Nadhira terkejut karena baru saja tersadar dari lamunannya.

"Pakai ini, bajumu basah kuyup," ulang Heru seraya terus menyodorkan tangan yang memegang jasnya ke arah Nadhira.

"Tidak usah. Terima kasih," jawab Nadhira canggung.

Heru tersenyum sudah mengira jawaban Nadhira.

"Aku menawarkan ini bukan seperti yang kau pikirkan. Menjadi lelaki seperti di film-film yang mau berkorban demi wanita yang dicintainya." Heru menjeda kalimatnya. Lalu sedikit melirik ke arah Nadhira.

"Kau menggangguku."

Nadhira mengerutkan keningnya bingung.

"Kemeja mu yang basah membuatnya menjadi transparan. Tubuhmu jadi..."

Nadhira sedikit membelalakkan mata seraya menahan nafasnya. Tidak lama dari itu dia kemudian segera merampas jas yang ada di tangan Heru lalu dengan cepat memakaikannya di tubuhnya.

Heru tersenyum lalu menghadapkan tubuhnya lurus ke depan.

Nadhira yang merasa malu menundukkan kepala sambil memejamkan matanya rapat-rapat. Heru yang menyaksikan itu dari kaca depan semakin mengembangkan penuh senyumnya.

Untuk memberikan perhatiannya pada wanita yang dicintainya, Heru harus melakukan nya dengan cara berbeda. Sambil tersenyum Heru mulai menyalakan mobilnya.

Wanita yang dicintainya benar-benar lucu dan lugu. Heru sangat menyukai wanita seperti itu.

Mobil melaju dengan kecepatan sedang di jalanan beraspal, menerobos derasnya hujan yang masih mengguyur.

Di dalam mobil suasana hening tak ada percakapan. Bahkan Nadhira yang memiliki sifat pendiam dan pemalu terhadap orang asing merasa sangat canggung.

Ya, bagi Nadhira Heru masih seperti orang asing meski dia sudah bertemu dengannya beberapa kali.

***

Tiba-tiba saja di area jalan menuju toko tempat Nadhira bekerja terjadi kemacetan. Klakson dari mobil-mobil yang ada di depan terdengar nyaring memekakkan telinga.

"Ada apa ini? Tidak biasanya di jalur ini macet," Nadhira membuka suaranya setelah lama terdiam.

"Sepertinya terjadi kecelakaan di depan," jawab Heru dengan pandangan terus menjelajah ke depan.

Nadhira mendesah.

"Lalu kita bagaimana?"

"Tunggu sebentar di sini. Aku akan melihatnya."

"Tapi..."

Belum sempat Nadhira menyelesaikan ucapannya, Heru terlebih dulu turun dari mobilnya. Berlari ke depan untuk melihat apa yang sebenarnya tengah terjadi meski hujan masih deras mengguyur.

Sesampainya di sana dia melihat kepulan asap yang berasal dari beberapa mobil. Suara sirine ambulan membuat suasana menjadi semakin mencekam.

Heru sangat terkejut saat melihat tim medis tengah membawa pasien yang ada ditandu masuk ke dalam mobil, dan kemudian segera melajukan mobilnya dengan sirine yang berbunyi nyaring.

"Pak Joko," ucap Heru pelan masih mematung di tempat.

***

Di lobi, Heru segera berlari menuju meja petugas rumah sakit. Dengan panik dia menanyakan Pak Joko pada petugas di sana, lalu dengan cepat menuju ruangan Pak Joko dirawat setelah petugas memberitahunya. Di belakangnya Nadhira terus mengikuti Heru yang berlari.

Saat sampai di ruangan di mana Pak Joko dirawat, dia berpapasan dengan Dokter yang baru saja selesai menangani Pak Joko.

"Dok, bagaimana keadaan pasien itu?" tanya Heru dengan raut wajah Khawatir.

"Tidak perlu khawatir. Hanya terdapat luka ringan di kepalanya. Semuanya baik-baik saja."

Dokter itu pergi dan Heru menghela nafas lega. Begitu pula dengan Nadhira yang berada di belakangnya. Meski tidak mengenalnya, dia tetap lega mendengar orang itu baik-baik saja.

Heru kemudian segera menghampiri Pak Joko yang masih terbaring di ranjang.

"Syukurlah Bapak baik-baik saja. Aku sudah khawatir tadi," ujar Heru seraya berdiri di sisi kiri ranjang yang Pak Joko tempati. Sedangkan Nadhira berdiri di sisi kanannya, diam dan hanya memperhatikan Heru dengan jas yang kini sudah dia lepas dan dia pegang di tangannya.

"Bagaimana kamu bisa ada di sini Her?" tanya Pak Joko masih dengan nada lemah.

"Kebetulan aku sedang melintas di jalan itu dan tidak sengaja melihat petugas medis membawa Bapak ke dalam mobil ambulan," terang Heru.

Pak Joko mengangguk pelan. Dia kemudian mengalihkan pandangannya ke sisi kanan dan melihat Nadhira di sana.

"Dia..."

Nadhira tersenyum ke arah Pak Joko.

Heru yang mengerti maksud Pak Joko segera menjawabnya.

"Dia teman saya, Nadhira."

Mendengar itu Nadhira melirik ke arah Heru.

"Oh," sahut Pak Joko singkat.

"Maaf, kalau begitu saya pamit pergi," ucap Nadhira melihat pada Pak Joko lalu kemudian pada Heru yang dijawab anggukan oleh Heru.

Sebelum Nadhira pergi Pak Joko terus melihat ke arahnya. Matanya kemudian terbelalak saat ia melihat ke arah lengan kanan atas Nadhira.

Kemeja putihnya yang basah, membuat kain khusus di lengannya menjadi tampak transparan hingga membuat Pak Joko dapat melihat sesuatu yang ada di sana.

Nadhira lalu beranjak pergi dari sana. Namun baru saja Nadhira membalikkan tubuhnya ucapan Pak Joko menghentikan kakinya yang hendak melangkah pergi.

"Tunggu,"

Heru menoleh ke arah Pak Joko.

"Bapak kenapa?"

Pak Joko tidak menjawab. Arah pandangannya terfokus pada Nadhira.

"Maaf, tunggu sebentar. Bisakah kau mendekat?" Pinta Pak Joko lalu berusaha membangunkan tubuhnya. Heru yang melihat itu segera membantu Pak Joko bangun.

Dengan tubuh yang masih membelakangi, Nadhira terdiam, merasa heran.

"Aku ingin memastikan sesuatu padamu," lanjut Pak Joko yang kini sudah dalam posisi duduk.

Meski merasa heran, Nadhira membalikkan tubuhnya.

"Saya?" tanya Nadhira memastikan.

Pak Joko mengangguk.

Dengan langkah ragu Nadhira mendekat.

"Maaf, bisakah Bapak melihat sesuatu di lenganmu itu?" Pinta Pak Joko dengan wajah tampak memelas.

Mendengar itu Nadhira spontan menyentuh bagian atas lengan kanannya.

Heru yang menyaksikan itu mengerutkan keningnya heran. Dia tidak mengerti apa yang sedang terjadi.

"Bapak ingin melihat ini?" tanya Nadhira lagi dengan nada ragu seraya menoleh pada lengan kanan yang dia pegang.

Sekali lagi Pak Joko hanya bisa mengangguk.

"Aku tidak tahu ini apa? Tapi menurut Ibu panti ini sudah ada sejak aku pertama kali datang ke sana. Sepertinya ini tanda lahir."

Mendengar itu membuat Pak Joko menangis. Heru semakin heran dibuatnya, begitu pula dengan Nadhira.

"Bapak mohon, biarkan Bapak melihatnya!" Pinta Pak Joko lagi dengan suara hampir tak terdengar karena tangisnya.

Nadhira yang iba mengabulkan keinginan Pak Joko.

Nadhira meremas kancing bagian atas kemejanya. Dia kemudian melirik ke arah Heru. Heru yang juga tengah melihatnya, membuat pandangan mereka saling bertemu.

Hanya beberapa detik saja. Setelah itu Nadhira memalingkan pandangannya. Meski malu dan tak enak pada Heru, Nadhira mulai membuka kancing bagian atas kemejanya.

Dia selangkah mendekat ke Pak Joko. Lalu menarik bajunya hingga lengan kanan bagian atasnya terbuka dan membiarkan Pak Joko untuk melihatnya.

Heru segera memalingkan pandangannya dari Nadhira saat Heru yang melihat ekspresi Nadhira mengerti bahwa Nadhira tidak ingin bagian tubuhnya dilihat olehnya.

Saat melihatnya dengan jelas, Pak Joko hanya bisa diam dengan sedikit mulut ternganga. Genangan air di matanya meluncur begitu deras di pipinya. Bibirnya pun ikut bergetar. Nadhira hanya kebingungan melihatnya.

Di lengan kanan bagian atas itu terdapat sebuah gambar kupu-kupu cantik dengan warna kecoklatan.

Seraya tersenyum haru Pak Joko segera merengkuh bahu Nadhira lalu memeluknya dengan erat, membuat Nadhira terkejut dibuatnya.

"Cucuku, cucuku. Ternyata kau masih hidup, Nak, kau masih hidup. Kakek senang akhirnya bisa bertemu denganmu, Nak," ucapnya di sela isak nya, masih dalam pelukan Nadhira.

Nadhira yang mendengar itu hanya bisa terdiam. Terkejut sekaligus bingung.

Heru yang mendengarnya pun saman seperti Nadhira, tertegun dibuatnya.