Kening gadis itu bertaut dalam, tempat parkirnya masih sepi. Padahal ini sudah pukul tujuh lewat, seharuanya sudah ada banyak motor, dan mobil yang terparkir.
Meyes segera melepas helm itu, meninggalkan motor hitam miliknya di area parkir sendiri. Langkahnya pelan dengan kening yang masih bertaut dalam.
Dia sangat yakin jika hari ini sekolah masih beroperasi, dan akan ada pelajaran dengan tugas yang di berikan guru.
Helaan napas keluar ketika pintu pagar sekolahnya tertutup rapat. Meyes tidak berpikir yang aneh-aneh, dia segera membuka pagar berwarna hitam itu, dan berjalan dengan santai menuju gedung prodi pariwisata. Kelas sepuluh pariwisata ada di ujung setelah dia menaiki anak tangga.
Matahari menampakkan cahayanya dengan begitu terang, sampai-sampai cahayanya masuk ke dalam kelas melalui jendela yang tidak di tutup gorden. Gadis itu segera masuk, mendaratkan bokongnya di bangku kesayangannya itu dengan perlahan.
Ini masih sepi, dan keheningan membuatnya bosan. Meyes mengeluarkan benda pipih yang dia simpan di dalam ransel, membuka aplikasi instagram untuk membaca berbagai berita terkini yang tak sempat dia baca semalam.
Suara derap kaki membuatnya menoleh ke arah jam dinding, masih pukul delapan kurang lima belas, dan suara derap kaki itu membuatnya tersenyum tipis. Meyes menghela lega karena akan ada orang yang menemaninya di dalam kelas sebentar lagi.
Lima menit telah berlalu, Meyes mulai curiga dengan suara itu. Sejak tadi seseorang tengah melangkah mendekati kelasnya, suaranya begitu jelas hingga dia tidak bisa konsentrasi lagi dengan berita yang belum selesai di baca.
Meyes menoleh ke arah jendela kelas, tidak ada siapa pun yang terlihat. Jika benar itu manusia, seharusnya ada rambut atau kepala yang bisa dia lihat sekarang. Perasaan takut, dan cemas muncul bersamaan, membuat tenggorokannya kering. Meyes mencoba untuk menelan salivahnya dengan perlahan, menyimpan ponselnya ke dalam ransel, dan membuang muka dari jendela kelasnya.
Sekarang kedua tangannya meremas rok dengan begitu kuat. Perasaan aneh dengan emosi yang tak bisa dia kendalikan membuat Meyes bingung sekaligus kesal. Dia merasa pergerakannya sedang di kendalikan oleh seseorang yang Meyes sendiri pun tidak tahu siapa.
Rasa penasaran itu semakin besar, gadis itu mulai beranjak. Menggenggan erat ranselnya, dan berjalan mendekati pintu keluar. Langkahnya yang pelan tidak menimbulkan suara nyaring. Pintu utama itu semakin dekat dengannya, tapi ada yang aneh sekarang. Suara langkah kaki misterius itu terdengar semakin nyaring.
Meyes yakin jika ada orang lain di luar, dan orang itu sedang menggunakan sepatu yang memiliki hak tinggi.
Gadis itu menghentikan langkahnya di dekat pintu, mencoba untuk mengintip keluar. Kedua netranya membulat sempurna, suara derap kaki menghilang dengan cepat ketika dia melihat ke arah luar, dan di sana pun tidak ada orang.
Ini aneh.
Meyes benar-benar mendengar suara itu, dan merasa jika ada orang lain selain dirinya di sekolah ini. Namun, siapa sangka jika di luar sama masih sepi? Tidak ada siapa pun.
Gadis itu mengambil langkah mundur, menggigit bibir bawahnya pelan dengan rasa penasaran, dan sejuta pertanyaan yang ada di dalam kepalanya.
Meyes tidak mengerti dengan suara yang muncul itu, dan kenapa juga hanya dia yang masuk pagi ini?
Gadis itu cepat-cepat merogoh ranselnya, menempelkan benda pipih berwarna hitam pada telinga, dan berkata, "Hallo! Lo di mana? Bolos sekolah atau masih di jalan?"
"Gue di rumah," sahut seseorang sambil menguap di balik telepon.
Kening Meyes bertaut dalam, sesekali dia memeriksa area luar kelas dengan mengintip, "Kok di rumah? Lo gak sekolah? Lo baru bangun ya?"
"Sekolah apanya sih Mey?"
"Shapa, gue lagi di sekolah hari ini, dan gue gak ngerti juga kenapa gak ada orang sama sekali. Cuman gue satu-satunya yang ada di sini," jelas Meyes kesal.
"Ha? Lo pikun apa gimana sih Mey? Kemarin kan pak ridwan sendiri yang bilang kalau hari ini itu libur. Ada rapat itu guru-guru ke kantor pusat, lo rajin banget sih pergi ke sekolah. Kangen sama siapa lu?" sahut Shapa.
Meyes bergeming, dia mencoba mengingat kembali pengumuman kemarin sore, tapi sayangnya tidak ada yang dia ingat sekarang. Jantungnya pun berdegub lebih cepat dengan suasana yang menurutnya tidak nyaman.
"Hallo! Meyes, lo masih ada di sana kan? Lo di sekolah beneran apa gimana? Jangan bercanda deh! Sekolah kita lagi di tutup, ya kali si bapak gak gembok pager sekolah," ucap Shapa lagi.
"Ha?"
"Ha-ho, malahan, lo di mana gue serius nanya ini?"
"Gue di sekolah, beneran gue di sekolah," sahut Meyes dengan terburu-buru.
"Eh anjir sialan haha! Ayo, udah pulang, nanti gue ke rumah lo."
"Hm, oke!" ucap Meyes, memutuskan sambungan teleponnya dengan cepat, dan menyimpan ponselnya kembali ke dalam ransel.
Meyes menghembuskan napas beberapa kali, mengumpulkan semua keberaniannya sebelum dia dia melangkah keluar.
Langkahnya di percepat ketika menuruni anak tangga, dan berubah menjadi berlari. Menaiki kendaraan beroda dua itu sambil memasukan kunci, dan menyalakan motornya dengan cepat.
Namun, lagi-lagi keningnya bertaut dalam. Suara seseorang sedang berjalan dengan benda yang sedang di seret terdengat begitu nyaring. Meyes bingung sekarang, dia merasa takut, tapi dia juga penasaran dengan suara yang dia dengar saat ini.
Gadis itu mematikan mesin motornya, memasang telinganya dengan benar, dan kembali mendengarkan dengan serius. Suara aneh itu terdengat sangat jelas sekarang, Meyes menebak jika suara misterius ini berasal dari lorong yang terkenal angker. Satu-satunya koridor paling sepi, dan tidak pernah di kunjungi angkatan sepuluh sampai angkatannya sekarang ini.
Suaranya semakin jelas, dan lebih nyaring. Langkah yang mantap dengan suara isakan membuat Meyes semakin penasaran. Dia hendak pergi untuk mendekat, tapi anehnya Meyes tak bisa mengendalikan tubuhnya. Tubuhnya terasa terkunci, tenggorokannya kembali serak, dan tidak bisa mengeluarkan suara teriakan.
Gadis itu mencoba untuk mengambil alih tubuhnya, tapi ini sangat sulit.
Degub jantungnya semakin cepat, keringat dingin membasahi pelipisnya dengan bulu kuduk yang meremang. Meyes tahu ini bukan saat yang tepat untuk memenuhi rasa penasarannya. Meyes segera menyalakan motornya kembali, dan melesat pergi ketika tubuhnya tak lagi kaku.
***
Gadis itu membuka pintu dengan tatapan datar, dan wajah pucatnya. Perhatiannya beralih pada gadis cantik yang sedang duduk di salah satu sofa dengan gelak tawa yang membuatnya kesal.
Meyes mendengus, melangkahkan kakinya, dan duduk berseberangan dengan Shapa sekarang.
"Gue pikir lo boong, taunya beneran. Aneh banget, bisa-bisanya lo jadi lupa soal liburan, biasanya paling inget sama paling semangat!" ucap Shapa yang masih tertawa.
"Gue lupa anjir, mana tadi pagi kan ujan tuh, gue bangun jam lima pagi. Suara guntur ngebuat gue gak bisa tidur, akhirnya mandi, terus siap-siap ke sekolah," jelas Meyes kesal.
"Astaga! Rajin banget temen gue. Terus sekolah kita gak di kunci beneran? Lo masuk ke kelas dong ya?"
Meyes mengangguk sebagai jawabannya.
Shapa membenarkan posisi duduknya menjadi lebih nyaman, keningnya bertaut sedikit, dan berkata, "Lo kenapa, kok bisa pucet kaya gini? Muka lo emang putih pucat sih, tapi... ini kaya ada sesuatu yang abis lo alamin deh."
Meyes membisu, dia masih berpikir untuk bercerita atau tidak kepada Shapa. Dia takut jika sahabatnya ini tidak akan percaya, atau mungkin bisa saja percaya, tapi berakhir dengan omelan seperti biasanya.
Ini kejadian yang paling aneh menurut Meyes, dan selama dia hidup, ini kali pertamanya mendengar, dan melihat sosok tak kasat mata itu.
"Meyes?" panggil Shapa yang entah sejak kapan sudah duduk di samping Meyes.
"Ke kamar gue yuk!"