webnovel

TITIK AWAL

Gadis itu menceritakan semua yang dia alami kepada Shapa. Raut muka serius terus dia pamerkan, sesekali keningnya bertaut dalam. Shapa mendengarkan semua cerita yang menurutnya aneh, dan tak nyata dengan serius.

Meyes mengambil napas panjang, jantungnya yang tadi berdetak lebih cepat, sekarang sudah terasa normal. Dia segera beranjak dari ranjang, melepas dasi panjang dengan ikat pinggangnya, dan di simpan di dalam lemari kayu miliknya dengan aman.

"Seriusan? Kok bisa sih? Demi apa sekolah kita berubah jadi angker?" ucap Shapa dengan mata yang membulat saking terkejutnya.

Meyes menoleh ke arah Shapa, mengangkat kedua bahunya acuh, dan berkata, "Gak ngerti, gue ganti baju bentar ya!"

"Oke!"

Meyes beralih masuk ke dalam toiletnya, meninggalkan Shapa yang masih duduk di tepi ranjang.

Gadis itu mencoba untuk berpikir, dia tidak yakin dengan apa yang Meyes alami. Akan tetapi sejak kapan sahabatnya itu menjadi orang yang suka berbohong? Meyes selalu berkata jujur, dan tidak pernah membohonginya dalam hal apa pun.

Shapa menghela, mengubah posisi duduknya menjadi tidur. Memperhatikan langit-langit kamar itu dengan tatapan datar, dia semakin tidak mengerti.

"Menurut lo gimana Fa?" tanya Meyes yang sekarang ikut tidur di samping Shapa.

"Gimana apanya?"

"Menurut lo gue indigo atau engga?"

"Gak ngerti, tapi... kayanya ini gara-gara yang waktu itu gak sih Mey? Waktu lo minta pergi ke dukun, baca mantera aneh yang orang itu kasih, terus dalam beberapa hari lo langsung jadi indigo!" sahut Shapa dengan begitu semangat.

Dia sangat yakin dengan apa yang dia katakan barusan. Shapa juga baru sadar jika dukun yang waktu itu yang membuat Meyes seperti ini, dan membuat Meyes di ganggu oleh penghuni sekolah.

Gadis itu memiringkan tubuhnya, menatap Meyes dengan tatapan seriusnya, dan berkata, "Lo jadi indigo Mey, ini yang lo mau!"

"Iya gue tau, tapi... gak tau kenapa gue ngerasa bukan ini yang gue mau."

"Maksud lo apaan anjir?" kening Shapa bertaut, "Lo kan yang pengen, Tuhan udah ngabulin permintaan aneh lo itu. Seharusnya lo seneng dong gara-gara udah bisa, dan bentar lagi lo bakalan liat mba kunti kan?"

Meyes kembali menghela, membenarkan posisi tidurnya dengan rambut yang dia letakkan di atas kepala, "Gue gak ngerti Fa, sumpah gue gak ngerti. Gue gak mau jadi kaya gini, gue pengen normal lagi, ngerasa kaya gini tuh gak enak."

"Gak enak?"

"Gue ngerasa gak nyaman. Gue takut mereka dateng waktu gue lagi sendirian, gak ada orang yang bantuin gue, terus mereka ngajak gue ke dunianya mereka. Gimana jadinya kalau gue bener-bener pergi?!"

"Ya elah gak mungkin!"

Kening Meyes bertaut, dia bangun dari tidurnya, dan kembali menatap Shapa, "Kenapa gak mungkin? Itu bisa aja terjadinya Fa!"

"Lo bego banget sih, yang namanya hantu gak punya kekuatan kaya gitu. Mereka gak akan bisa ngebuat lo mati atau apa pun itu. Lo bakalan bisa hidup, tenang aja!"

"Terus?"

"Terus mendingan lo terima kenyataan!" titah Shapa.

Meyes menggeleng kuat, menarik lengan kanan Shapa agar gadis itu duduk berhadapan dengan Meyes.

"Bantuin gue!" pinta Meyes dengan wajah memelasnya.

"Bantu gimana sih anjir?"

"Lo punya  kenalan yang waktu itu loh, yang katanya dia juga indigo."

"Aduh! Lu mah banyak mau, nyebelin banget!"

"Ayo, dong Fa, bantuin gue! Ayo, bantuin gue!" Meyes menggoyangkan lengan kanan Shapa dengan wajah yang memelas.

Gadis itu menghela dengan bola mata yang memutar dengan malas. Mengeluarkan benda pipih dari dalam saku roknya, dan segera mencari nomor telepon sebelum menempelkannya pada telinga.

"Hallo! Om, ada hal penting, bisa kita ketemu?" ucap Shapa tanpa basa-basi.

"Hari ini?" sahut pria paruh baya di seberang sana.

"Iya, hari ini, kalau bisa siang ini, gimana?"

"Bisa, langsung ke kantor aja ya! Saya lagi ada di kantor, kamu bisa ke sini sekitar jam sebelas atau jam dua belas, saya tunggu!"

"Oke, makasih ya Om!" ucap Shapa sebelum memutuskan sambungan teleponnya, "Jam sebelas atau jam dua belas, kita ke sana sekarang atau gimana?"

Meyes menoleh ke arah jam dinding, masih pukul sepuluh empat lima. Dia kembali menatap Shapa, dan berkata, "Makan dulu yuk! Gue laper."

***

"Kok di sini sih? Lo bilang tadi kantor." Meyes memperhatikan rumah yang berukuran kecil dengan pagar bunga mawar itu.

"Rumah ini kantornya om gue, udah ayo turun!" Shapa membuka pintu taxi, dan meninggalkan Meyes yang masih saja duduk.

Meyes menghela sejenak, mengeluarkan beberapa lembar uang lima puluh ribu, dan memberikannya pada sopir taxi sebelum berlari menghampiri Shapa yang sudah berdiri di depan pintu rumah itu.

Perhatiannya terfokus pada pekarangan rumah yang asri, angin yang datang terasa begitu sejuk dengan wangi bunga. Ini tempat yang menyenangkan bagi Meyes.

"Hallo! Ayo, masuk!"

Suara itu membuat Meyes menoleh ke arah pintu. Pria paruh baya yang lumayan berisi dengan kacamata bulat, dan setelah jas hitam itu memberikan senyum lebar untuknya. Terlihat sangat ramah, dan tapi Meyes merasa harus waspada.

Shapa menggandeng lengan Meyes, mengajaknya masuk, dan duduk di salah satu kursi kayu yang di sediakan sebagai tempat untuk tamu.

"Kenapa Fa? Tumben kamu ngerasa ada perlu sama saya, biasanya juga ke sini sama mama," ucap pria itu sebelum ikut duduk berseberangan dengan kedua tamunya.

"Ini loh Om, temenku yang pengen ngobrol," sahut Shapa.

Pria itu memberikan tatapan pada Meyes, mereka saling pandang beberapa saat sebelum Meyes melepas kontak mata dengannya.

"Kenapa Mey? Kok kaya ngerasa gak enak gitu?" tanyanya penasaran.

Meyes terkejut dengan sebutan yang dia berikan. Seharusnya pria itu tidak tahu namanya karena Shapa belum memberitahu ataupun memanggilnya sejak tadi.

"Ayo, ceritain aja gak papa!"

"Hm, gimana ya... jadi kan beberapa hari yang lalu pergi buat bisa buka mata batin," sahut Meyes yang masih bingung untuk menata setiap kata yang muncul di kepalanya.

"Iya, terus?"

"Nah, terus... ngerasa biasa aja pas udah baca ayat yang orang itu kasih. Padahal udah di baca beberapa kali, tapi masih gak jadi indigo. Baru aja pagi ini ngerasa aneh sama sekolah, suara orang jalan tapi gak ada orangnya. Di rumah juga ada suara orang nangis sama liat anak perempuan lagi duduk di depan rumah," jelas Meyes tanpa menatap mata pria itu.

"Ah! Gitu, sebenernya kamu gak boleh asal percaya sama orang. Apa lagi tulisan arab, emang tulisannya arab, tapi bukan berarti itu masuk ke dalam hadist, atau ada di dalam Al-Qur'an, lain kali jangan langsung percaya!"

Meyes mengangguk kecil.

"Sebenernya kamu gak usah pergi ke sana, soalnya kamu udah ada keturunan."

Gadis itu mendongak dengan kening bertaut dalam.

"Kamu indigo di umur enam belas tahun, gak usah khawatir! Wadahnya belum kebuka sempurna, mereka gak akan ganggu selagi kamu gak ngerasa takut."

Next chapter