webnovel

S E L E B A R A N

Langit tengah bersedih, matahari enggan untuk menampakkan dirinya pagi ini. Angin berhembus dengan kencang, menampar-nampar jendela kamar dengan begitu kasar. Suara yang di timbulkan membuat kelopak mata itu terbuka dengan lebar.

Petir kembali menyambar, suaranya begitu keras hingga Meyes menghela kesal. Gadis itu mengubah posisi tidurnya menjadi duduk, menyentuh wajahnya dengan tangan kiri, dan kemudian menoleh ke arah jam dinding. Masih pukul lima pagi, dan seharusnya masih ada waktu untuk tidur, tapi sayangnya petir merusak jam tidur Meyes.

Gadis itu menguap untuk kedua kalinya, mengusap kedua matanya dengan pelan sebelum akhirnya beranjak. Menutup jendela yang terbuka dengan lebar untuk secepat kilat, hujan lebat itu membuat sekitar jendelanya basah kuyup. Ini terlihat seperti banjir.

Meyes memperhatikan langit dengan wajah datarnya, "Harusnya gue masih tidur sekarang."

Meyes mendengus kesal, membersihkan kedua tangannya yang basah menggunakan gorden, dan kembali membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Memperhatikan langit-langit kamarnya dengan ekspresi yang masih datar.

"Gue bosen."

Waktu berjalan dengan cepat, rasanya baru saja Meyes merebahkan tubuhnya. Namun, jarum jam telah menunjuk pada angka enam pagi.

Meyes segera beranjak, melenggang menuju toilet. Membersihkan tubuhnya dengan durasi waktu lima belas menit dan selesai dengan seragam sekolahnya. Kaki jenjang itu membawanya pergi menuju meja rias.

Menyisir rambut panjang yang sedikit kusut itu dengan lambat, Meyes memberikan berbagai macam produk untuk menutrisi rambutnya yang kering itu. Setelah selesai berkutat dengan mahkota kepalanya, Meyes beralih memberikan bedak tabur dengan sedikit lipbalm berwarna merah pada bibirnya yang kering.

Gadis itu menatap dirinya yang ada di dalam cermin untuk beberapa detik, beralih menuju meja belajarnya. Menata beberapa buku pelajaran ke dalam ranselnya, dan melenggang pergi.

Ini masih pukul enam tiga puluh, masih banyak waktu yang bisa dia habiskan pagi ini.

Meyes duduk di salah satu kursi makannya. Memperhatikan Aisyah yang sekarang sedang berdiri di dekat pantry. Api di nyalakan dengan sangat kecil, memasukkan berbagai macam bumbu ke dalam masakannya. Sampai-sampai wangi nasi goreng dengan berbagai macam bumbu itu tercium.

"Nasi goreng lagi?" tanya Meyes.

Wanita paruh baya itu menoleh, memberikan senyuman tipis sebelum membawa mangkok besar yang berisi nasi goreng berwarna cokelat itu. Membawanya pada meja makan, dan meletakannya dengan perlahan.

"Makan!" titah Aisyah.

Meyes memperhatikan mangkon yang berisi nasi gorengnya lamat-lamat. Menghela sekilas sebelum akhirnya mengambil piring saji, menuangkan setengah sendok nasi ke dalam piringnya.

"Ma, kebanyakan makan karbo sama yang berminyak itu gak baik loh Ma buat tubuh, apa lagi ini di pake buat sarapan," ucap Meyes di sela mengunyahnya.

Aisyah ikut duduk di samping Meyes, menyuap satu sendok nasi gorengnya ke dalam mulut, dan berkata, "Nasi sisa malem itu selalu ada banyak, terus mau di apain kalau bukan di goreng?"

"Buat kerupuk atau apa gitu? Sarapan tuh bagusnya susu sama sereal, atau gak roti sama buah. Kalau yang kaya gini bisa-bisa bikin kolesterol, diabetes, asam urat, penyakit yang kaya gitu deh pokoknya."

"Hm, iya besok ganti menu. Kamu mau selai apa buat rotinya?"

"Cokelat atau kacang, mungkin stroberi juga bisa jadi pilihan waktu bosen sama dua selai tadi."

"Oke, besok mama beli selainya di supermarket."

Meyes mengangguk sebagai jawabannya, menyuap sendok terakhirnya sebelum menegak habis air mineral yang ada di samping piringnya.

Gadis itu menghembuskan napas lega, perutnya terasa kenyang sekarang. Bahkan terasa lumayan sesak karena dia menggunakan ikat pinggang.

"Kamu udah gak flu lagi?" tanya Aisyah.

"Engga, kenapa?" Meyes menoleh dengan kening bertaut.

"Papa kemarin bilang kalau mau bawa ke dokter, mau atau engga?"

"Engga ah, bosen sama obat-obatannya. Lagian obat dari dokter yang kemarin aja belum habis," sahut Meyes.

"Beneran? Mama khawatir sama benjolan merah yang kaya gumpalan daging di rongga hidung kamu itu."

"Mama, benjolannya itu gak buat aku kesusahan. Aku masih bisa napas kaya orang normal, gak ada darahnya juga. Aku gak ngerti kenapa dia harus ada di sana, tapi yang jelas kadang kalau udara lagi dingin benjolannya jadi gede, kalau normal ya agak kecilan lagi. Gak tentu," jelas Meyes.

Wanita itu menatap putrinya dengan tatapan kasihan, padahal Aisyah tahu jika Meyes tidak suka. Dia masih sehat, dan masih bisa beraktivitas seperti biasanya. Tidak ada yang perlu di khawatirkan, tak ada yang perlu di cemaskan, semuanya akan berjalan dengan baik-baik saja.

"Mama aku baik-baik aja, aku sehat, aku masih hidup, aku masih ketawa sampai sekarang di dekat Mama," ucap Meyes yang mulai kesal.

"Dokter bilang kamu gak boleh kecapean, gak boleh makan yang pedes-pedes juga. Mey, tapi kamu suka beli makanan yang penuh sama cabai, kurangin dikit!"

"Udah Mama, aku kalau beli makanan itu cuman minta cabai dua atau tiga. Paling banyak sih empat, udah gak banyak lagi. Aku tau kalau itu gak bagus, lagian aku juga punya maag kan? Gak bagus juga buat kesehatan lambungku."

"Dokter juga bilang kalau rempah-rempah yang masuk ke makanan gak boleh banyak-banyak. Tapi mama gak bisa, makanan jadi gak enak nanti kalau rempahnya sendikit. Maafin mama ya sayang!" Aisyah membelai rambut panjang putrinya itu dengan pelan.

Meyes hanya mengangguk, memberikan senyum tipis, dan berkata, "Mama jangan khawatir soal aku! Aku baik-baik aja, dan akan selalu baik-baik aja."

Aisyah tidak percaya dengan apa yang dia dengar, dan lihat sekarang. Memang jika di lihat putrinya itu baik-baik saja dengan semua yang terlihat normam. Gadis cantik yang selalu ceria.

Namun, ada penyakit yang dokter bilang tidak terlalu serius. Flu yang terus menyerang Meyes tanpa henti. Meyes terkena flu ketika dia masih berumur tiga tahun, saat itu Dian baru membeli ac untuk pengganti kipas angin, tapi siapa sangka jika alat pendingin itu membuat putri kecilnya mengidap flu yang susah untuk di sembuhkan?

Sudah banyak dokter yang Aisyah, dan Dian datangi untuk mengobati putrinya, tapi semuanya mengatakan jika Meyes baik-baik saja, dan tidak ada yang perlu di khawatirkan. Padahal gadis itu selalu flu tanpa jeda.

"Mey, gimana kalau terapi pakai nassal? Nanti mama beliin alatnya di apotek sama cairannya juga."

"Ih! Engga, pasti sakit kalau masuk ke hidung airnya."

"Anak temen mama udah pernah Mey, malahan dia masih kecil. Masih umur sembilan atau sepuluh tahun, mama lupa, dia cuman pakai sekali doang langsung sembuh. Gak pilek lagi sampai sekarang, kalau pun masih pilek, ingusnya warna putih."

Meyes menghela, sejujurnya dia tidak tahu alat apa yang di maksud Aisyah, tapi jika di pikirkan lagi, alat yang di maksud pasti harus di masukkan ke dalam hidungnya bersamaan dengan cairan yang di maksud.

"Engga, aku sehat Mama. Beneran aku masih sehat, Mama tenang aja! Udah jam tujuh juga, aku harus berangkat sekolah." Meyes beranjak, mencium punggung tangan Aisyah sebelum berlari meninggalkan dapur.

Next chapter