"Percuma tajir melintir, tapi cueknya nggak bermutu banget kayak begini," kata Kirana kepada dirinya sendiri ketika berjalan menuju tempat parkir kantor.
Kirana masih tidak mengerti dengan sikap Rendra. Ini sudah malam dan besok pagi mereka akan bertunangan. Jadi, bagaimana bisa Rendra masih belum ada kabar sampai sekarang?
"Maaf, ya, kalau saya cueknya nggak bermutu banget."
Kirana mendengar suara yang sangat familiar di telinganya dan langsung membalikkan badan. Dia kaget karena Rendra tiba-tiba sudah ada di belakangnya.
Kirana memandangi tubuh pria di depannya itu dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dia merasa perlu memastikan dirinya tidak sedang berhalusinasi.
Setelah yakin bahwa pria yang dia lihat benar-benar Rendra, Kirana diam-diam merasa senang. Dia sempat tersenyum, tapi buru-buru memasang wajah datar tanpa ekspresi kembali.
"Kenapa baru pulang? Ini sudah hampir jam 8 malam. Bukannya jam kerjamu cuma sampai pukul 7 malam?" tanya Rendra.
"Mas tahu dari mana kalau saya masih di kantor?" selidik Kirana.
Tentu saja Rendra mengetahuinya dari orang yang dia bayar untuk mengawasi Kirana 24 jam. Namun, dia jelas tidak mungkin mengatakan hal yang sebenarnya, kan?
"Untung-untungan aja. Saya langsung ke sini begitu turun dari pesawat. Pas sampai sini..."
Rendra menggantungkan kalimatnya, lalu tersenyum begitu mendapatkan petunjuk untuk melanjutkan omongannya. "Ternyata saya lihat masih ada motor kamu di parkiran."
Kirana menyadari jika Rendra bersikap agak mencurigakan. Fakta bahwa pria itu tiba-tiba muncul di depannya setelah lebih dari 24 jam tidak ada kabar saja sudah cukup aneh. Belum lagi dengan alasan yang kesannya hanya dibuat-buat barusan.
Namun, entah kenapa dia malas mencari tahu lebih lanjut. Dia malah lebih tertarik melihat sekeliling area parkiran untuk mencari mobil yang biasanya dibawa Rendra.
"Saya nggak bawa mobil," ujar Rendra yang kemudian merasa bangga karena berhasil membaca pikiran Kirana.
"Begitu sampai sini, saya juga baru sadar kalau saya bahkan nggak bawa handphone," lanjut Rendra.
Kirana dibuat terheran-heran dengan pengakuan Rendra. "Hah? Kok, bisa? Terus barang-barangnya Mas Rendra lainnya juga masih di bandara?"
Bukannya memperlihatkan ekspresi panik seperti Kirana, Rendra malah dengan santainya berkata, "Ada Bobby, kan? Dia pasti mengurus semuanya dengan baik seperti biasanya."
***
Seperti apa yang selalu diharapkan, Bobby memang bisa sangat diandalkan. Dia memilih untuk tidak ambil pusing saat bosnya berkata harus segera pergi menemui Kirana begitu mereka turun dari pesawat.
Bobby hanya minta sedikit waktu untuk memastikan keberadaan Kirana. Setelah itu, dia cuma bisa menertawakan nasib sialnya karena ditinggal sendirian di bandara.
Sadar tak ada gunanya mengeluh, Bobby lalu fokus mengurus semua barang yang ditinggalkan begitu saja oleh Rendra di bandara. Dia memastikan tidak ada satu pun yang tertinggal dan membawa mereka semua ke kediaman orangtua bosnya.
Dalam perjalanan, Bobby juga mengecek keberadaan Rendra. Dia lalu menerima beberapa foto yang menunjukkan bosnya sedang berdiri sendirian di depan kantor Kirana, berikut keterangan bahwa perempuan yang ditunggu sang bos kemungkinan besar masih ada di dalam ruangannya.
Ketika dia baru saja sampai di depan rumah orangtua bosnya, Bobby kembali menerima laporan yang juga disertai bukti foto. Kali ini, Rendra terlihat sedang tersenyum saat berbicara dengan Kirana.
"Bos semakin aneh. Tadi subuh dia kelihatan kayak orang patah hati, sekarang dia malah seperti orang gila karena jatuh cinta...."
Tugas Bobby berikutnya adalah menjelaskan kenapa dia datang sendiri tanpa sang bos. Tentu saja wajar jika dia mendapatkan pertanyaan seperti itu dari orangtua bosnya, kan?
"Begitu sampai Jogja, Pak Rendra bilang ingin segera menemui Mbak Kirana," kata Bobby kepada Yunita, ibunda Rendra.
"Memangnya, ada apa sampai harus buru-buru ketemu Kirana? Ini sudah malam, apalagi besok pagi mereka juga bakal ketemu."
Bobby tersenyum mendengar respons Yunita. "Pak Rendra pasti sangat merindukan Mbak Kirana sampai tidak sanggup menunggu hingga besok pagi."
***
"Setidaknya Mas Rendra masih bawa dompet, ya. Walaupun kalau cuma bayarin taksi, saya juga masih lebih dari mampu, sih."
Meski baru beberapa hari, Rendra sudah mulai terbiasa dengan cibiran khas Kirana. Alih-alih merasa kesal, kali ini Rendra tertawa ringan mendengarnya.
Sebenarnya Rendra sekalian menertawakan kebodohannya sendiri. Jika dipikir-pikir lagi, kelakuannya malam ini sungguh tidak masuk akal dan terlalu drama.
Rendra jelas bukan tokoh dalam sinetron romansa, jadi buat apa dia berlarian keluar bandara untuk mencari taksi? Dia bahkan menyuruh sang sopir mengebut hanya karena ingin segera melihat perempuan yang kemudian malah menyambutnya dengan tatapan kesal.
"Jadi, kenapa Mas Rendra nggak angkat telepon saya kemarin malam?"
Pertanyaan Kirana membuat senyum di bibir Rendra memudar seketika. Dia lagi-lagi teringat dengan kebodohannya kemarin, di mana dia hampir bertindak kebablasan terhadap mantan istrinya.
Rendra mencoba mencari jawaban yang menurutnya paling masuk akal selain berkata jujur. Mereka akan bertunangan besok. Bagaimana bisa Rendra menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya kemarin malam? Bukankah itu mungkin akan membuat Kirana marah?
"Saya masih ada urusan, lalu berakhir tidur di kantor...."
Rendra tidak bohong. Malam itu, dia memang tidak mengangkat telepon Kirana karena masih ada 'urusan' dengan Maria. Dia juga berakhir tidur di kantor walau akhirnya entah bagaimana sudah ada di hotel lagi begitu terbangun tadi pagi.
"Seharian ini nggak ada kabar sama sekali juga mau pakai alasan masih ada urusan yang nggak bisa ditinggal?"
Rendra merasa Kirana seperti baru saja memergokinya berbohong, padahal gadis itu hanya sedang melakukan konfrontasi seperti biasa.
"Saya minta maaf...."
Ya, tujuan utama Rendra buru-buru menemui Kirana adalah meminta maaf kepada perempuan yang sekarang duduk di taksi bersamanya ini.
"Sebutkan dulu kesalahan apa yang sudah Mas Rendra perbuat," ucap Kirana.
"Maaf karena tidak mengangkat telepon kamu kemarin malam, tidak ada kabar seharian ini, dan semuanya."
"Semuanya?" Kirana mempertanyakan kata terakhir yang diucapkan Rendra.
Rendra merasa tidak nyaman karena Kirana menatap langsung ke bola matanya, jadi dia memilih untuk memalingkan wajah dan menatap lampu-lampu kota jalanan.
"Ya, semuanya. Mungkin ada kesalahan lain yang tidak saya sadari, kan? Saya minta maaf," kata Rendra kemudian.
Kirana sebenarnya masih merasa tidak puas dengan penjelasan Rendra, tapi malas bertanya lagi. "Oke, saya maafkan. Apa pun itu, saya maafkan."
Baik Rendra maupun Kirana tidak berkata apa pun lagi sehingga suasana mendadak terasa sangat hening. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.
Barulah saat taksi yang membawa keduanya sampai di depan rumah Kirana, Rendra kembali membuka obrolan.
"Besok setelah acara lamaran, kamu ada agenda lain?" tanya pria itu.
Kirana tampak berpikir sejenak, kemudian menggelangkan kepala. "Kenapa? Mas mau ngajakin pergi?"
"Iya. Sebenarnya ada yang ingin saya bicarakan sama kamu sekarang, tapi ini sudah terlalu malam," jawab Rendra.
Kirana tampak menganggukkan kepala beberapa kali. "Wah, pas banget, Mas. Sebenarnya saya juga merasa ada yang perlu kita bicarakan."
Rendra langsung penasaran. "Soal apa?"
"Perjanjian pranikah."
Lama-lama jadi rada kasihan juga sama Bobby yang sering jadi makin repot gara-gara kelakuan bosnya :))