webnovel

Broken White

Kirana Agniya menghadapi masalah klasik bagi perempuan yang berusia hampir 30 tahun. Dia diharapkan segera menikah, tapi trauma di masa lalu membuatnya enggan berkomitmen. Kirana dijodohkan dengan Birendra Wijaya, lelaki yang dua tahun sebelumnya menolak perjodohan mereka. Kini, pria itu mendadak ingin menikah dengan Kirana. "Kenapa Mas tiba-tiba berubah pikiran?" tanya Kirana. "Memangnya, kenapa tidak bisa?" pria itu justru balik bertanya. Kirana tak berniat menolak perjodohan ulang. Namun, dia harus tahu mengapa calon suaminya bisa berubah pikiran. Mungkinkah dia hanya pelarian? *** "Kenapa Bos memilih dia?" "Karena dia sepertinya juga tidak mungkin jatuh cinta kepada saya," tutur Rendra. "Jadi, tidak akan ada pihak yang terluka saat ikatan itu berakhir."

Sekarani · Urbain
Pas assez d’évaluations
282 Chs

Ciuman Berbahaya

Rendra baru saja melepaskan jas dan dasinya saat seseorang memencet bel pintu hotel. Jika itu Bobby, kenapa tidak langsung masuk saja? Bukankah sang sekretaris selalu menerima kunci cadangan khusus dari pihak hotel?

Saat Rendra berjalan menuju pintu, bel kembali berbunyi. Jika bukan Bobby, mungkinkah staf hotel? Hanya saja, Rendra tidak merasa butuh sesuatu. Ini juga sudah pukul sembilan malam, jelas bukan jadwalnya staf hotel merapikan kamar atau mengantarkan makanan seperti biasanya.

"Rendra…."

Begitu pintu terbuka, Rendra seketika membeku. Dia tidak menyangka akan mendengar suara itu memanggil namanya lagi. Perasaan benci yang selama ini dia yakini telah menguasai hatinya, tiba-tiba berubah menjadi kerinduan yang teramat kuat.

Rendra merindukan Maria, perempuan yang kini ada di hadapannya. Ya, wanita yang sejak empat tahun lalu menjadi mantan istrinya itu mendadak muncul di depan matanya.

"Boleh aku masuk?"

Rendra terlihat agak kaget saat Maria kembali berbicara. "Ya? Oh, ma…masuklah…," kata Rendra yang tampak sangat gugup.

Setelah dipersilakan, Maria tersenyum dan segera melangkah masuk ke kamar Rendra, meninggalkan mantan suaminya yang masih berusaha mencerna situasi macam apa yang sedang terjadi.

"Papa benar-benar memperlakukan kamu dengan sangat baik. Kamu selalu dapat kamar senyaman ini setiap kali ke Jakarta, kan?"

Satu-satunya orang yang terlihat canggung di ruangan itu adalah Rendra. Dari caranya berbicara, Maria tampak begitu tenang. Dia bahkan bisa dengan santai melihat-lihat kamar Rendra, sebelum akhirnya memutuskan untuk duduk di tepi ranjang.

Maria kembali tersenyum saat melihat jas dan dasi yang tergeletak sembarangan di kasur. Ternyata ada kebiasaan yang belum berubah dari Rendra. Lelaki itu pasti hanya melemparkannya tanpa pikir panjang karena sudah terlalu lelah dengan kesibukan sepanjang hari.

"Kenapa nggak beli apartemen aja? Walau nggak dipakai setiap hari karena kamu memilih tinggal di Jogja juga, bukannya itu bakal terasa lebih nyaman daripada tidur di hotel? Menurutku…."

Merasa tidak ada respons apa pun dari Rendra, Maria tidak melanjutkan ucapannya. Dia lalu menatap Rendra yang bertahan hanya berdiri di dekat sofa. Pria itu jelas sedang menjaga jarak darinya.

Rendra sebenarnya ingin bertanya mengapa Maria tiba-tiba datang dan bersikap seolah tidak pernah terjadi masalah apa pun di antara mereka. Namun, dia hanya bisa terdiam sambil terus memandang perempuan itu dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Kamu mau tahu kenapa aku datang jam segini?" tanya Maria, seakan memahami apa yang ada di benak Rendra.

Tak lama kemudian, Maria menjawab sendiri pertanyaannya. "Karena aku kangen sama kamu."

Rendra masih enggan mengatakan apapun. Dia hanya memandangi Maria yang tampak cantik seperti biasanya.

Perhatian Rendra tertuju pada gaya rambut Maria. Sejak dulu, Maria memang cukup sering mengganti warna rambut, dan siapa sangka jika merah keunguan pun cocok untuk perempuan berambut panjang itu.

Rendra juga memerhatikan riasan Maria malam ini. Tanpa sadar, perhatiannya perlahan jatuh pada bibir tipis mantan istrinya. Maria belum berubah. Dia suka memulaskan warna-warna kalem untuk mempermanis bibirnya, tidak seperti Kirana yang tampaknya lebih menyukai warna yang terkesan lebih tegas dan berani.

Rendra tersentak sendiri hingga mundur selangkah saat menyadari ada sesuatu yang aneh dengan dirinya. Kenapa dia mendadak ingat Kirana saat memerhatikan Maria?

Gerakan mencolok itu membuat Maria penasaran dengan sikap Rendra yang sejak tadi hanya menatapnya tanpa ekspresi. Dia beranjak dari duduknya, kemudian berjalan mendekati Rendra.

"Ada apa?"

Pertanyaan Maria lagi-lagi tidak mendapatkan jawaban apa pun dari Rendra. Bahkan saat jarak mereka sudah benar-benar terpangkas, Rendra tetap bergeming.

"Apa kamu sangat terkejut karena aku tiba-tiba muncul seperti ini? Maaf, aku benar-benar sudah terlalu merindukanmu…."

Maria memeluk Rendra, menyalurkan seluruh perasaan rindunya kepada pria itu. Merasa senang tak mendapatkan penolakan, Maria lalu mempererat pelukannya.

"Aku minta maaf. Ada banyak hal yang ingin aku katakan, tapi lebih dari semua itu, aku benar-benar ingin minta maaf. Aku tahu aku jahat banget. Aku minta maaf.…"

Rendra tidak tahu harus melakukan apa. Dia membiarkan Maria memeluknya, tapi tidak berniat membalas pelukan itu. Meski begitu, Maria pasti berhasil mendengar detak jantungnya yang sudah tak karuan.

Setelah beberapa saat, Maria mengendurkan pelukannya, menatap Rendra yang lebih tinggi darinya. Rendra pun refleks membalas tatapan wanita yang sangat dia rindukan itu.

Iya, sialnya Rendra harus mengakui bahwa dia sangat merindukan Maria, perempuan yang beberapa tahun lalu meninggalkan dia begitu saja tanpa penjelasan apa pun.

"Aku benci kamu…," kata Rendra pada akhirnya tanpa sedikit pun mengalihkan tatapannya dari Maria.

Maria tersenyum meski matanya sudah tampak berkaca-kaca. Memang sudah semestinya Rendra mengatakan kalimat seperti itu, walau nyatanya Maria justru melihat hal berbeda dari tatapan pria tampan tersebut.

Perlahan Maria mendekatkan wajahnya ke arah Rendra, lalu dengan lancang mencium bibir Rendra. Cukup lama Maria hanya menempelkan bibirnya, sedangkan Rendra terus membeku. Dia tidak membalas kecupan itu, tapi juga tak bisa dibilang menolaknya.

Tak ingin menyiakan kesempatan, dengan pelan Maria mulai memagut bibir Rendra. Gerakan nakal itu membuat pertahanan Rendra langsung kacau balau. Dia tergoda untuk membalas Maria dengan ciuman yang lebih agresif.

Rendra tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Dia sangat merindukan apa pun tentang Maria dan ciuman wanita itu sukses membuatnya kehilangan kendali.

Adegan berikutnya mungkin sudah bisa ditebak. Larut dalam suasana yang terasa semakin panas, Rendra perlahan mendorong Maria mendekati ranjang. Dia jelas menginginkan lebih.

Ciuman Rendra telah beralih ke perpotongan leher Maria yang sudah terbaring di ranjang saat tiba-tiba ponselnya berdering dengan begitu nyaring, membuat Rendra menghentikan aksinya.

Detik berikutnya, Rendra sadar bahwa dia baru saja melakukan sebuah kesalahan. Dengan napas yang masih memburu, dia segera beranjak dari atas tubuh Maria dan secepat mungkin menjauhi ranjang.

"Maaf.… Nggak seharusnya aku melakukan itu," ujar Rendra yang kini berusaha keras mengendalikan hasratnya.

Ponsel Rendra masih berdering. Pria itu segera mengambil gawai tersebut dari saku celananya dan terkejut ketika membaca nama orang yang tiba-tiba menelepon saat dia hampir saja bercinta dengan mantan istrinya.

***

"Apa dia udah tidur? Kenapa nggak diangkat?"

Kirana melihat jam di layar ponselnya yang menunjukkan pukul sembilan lebih 15 menit. Dia lalu bertanya-tanya, apakah ini sudah terlalu malam untuk menelepon seseorang? Apakah Rendra bukan tipe orang yang suka tidur larut malam seperti dirinya?

Jangankan dibalas, pesan yang Kirana kirim dua jam lalu juga belum dibaca oleh Rendra. Mungkinkah karena pria itu justru masih sibuk bekerja? Harus lembur, misalnya?

Begitulah. Orang yang baru saja menelepon Rendra tidak lain adalah Kirana, calon istrinya.