Mitha menoleh ke arah belakang terlebih dahulu memandang seorang laki-laki yang sedang tersenyum sembari menganggukkan kepalanya. Dirasa sudah pasti, ia pun langsung memasuki ruangan tersebut di mana dirinya kini bisa melihat anak gadisnya yang sedang tertidur.
"Rain," panggilnya dengan kedua mata yang berkaca-kaca serta kaki yang berjalan melangkah mendekati gadis tersebut. "Kamu baik-baik aja, kan, Sayang?"
Kini ia sudah bisa melihatnya dari dekat setelah berjam-jam dirinya merasa khawatir karena Rain yang belum memberinya kabar sejak sepulang sekolah.
Satu tangannya mengusap lembut rambut indah milik putri tercintanya itu dengan senyum yang tidak pernah hilang. Mitha benar-benar sangat takut kehilangan anak gadisnya yang satu ini sehingga ia hampir saja berpikir buruk tentang Rai yang mungkin saja bisa berbohong kepada dirinya.
"Cantiknya mama nggak boleh kenapa-napa, kamu harus baik-baik aja, jangan sampai ada yang terluka."
Ketika sedang asyik memerhatikan wajah polos Rain yang sedang memejamkan mata, secara perlahan kedua mata itu pun mulai terbuka membuat Mitha yang mengetahui hal tersebut langsung tersenyum senang.
"Mama," panggil Rain dengan suara seraknya itu. "Kenapa nangis?"
Mengetahui hal tersebut membuat Mitha langsung tersadar bahwa ternyata ia menangis, hanya saja dirinya tidak tahu, entah sejak kapan ini terjadi.
"Mama nggak apa-apa, kok, Sayang. Sebelah mana yang sakit, hm? Sini, kasih tau Mama, ya."
Rai langsung menyunggingkan kedua sudut bibirnya, kemudian menggeleng bersamaan dengan memejamkan mata sebelum akhirnya kembali berkata, "Nggak ada, kok, Ma. Aku baik-baik aja, cuma ..."
Wanita tersebut langsung mengerutkan keningnya memandang putrinya sendiri yang baru saja menghentikan pembicaraannya itu.
"Cuma apa, Sayang?" tanya Mitha dengan satu tangannya yang saat ini mengusap puncak kepala anak gadisnya itu. "Sini bilang sama Mama, ada apa?"
Ditengah kebingungan yang terjadi, munculah seseorang dari balik pintu yang membuat Rain dan Mitha langsung mengalihkan perhatiannya ke arah Rai yang baru saja memasuki ruangan.
"Tante, dokternya datang mau periksa dulu," ujar laki-laki itu yang langsung diangguki oleh Mitha. Kemudian Rai menoleh ke arah samping di mana seorang pria yang memakai jas putih tersebut berada, lalu berkata, "Silakan, Dok."
Akhirnya Mitha dan Rai pun hanya diam memerhatikan seorang gadis yang sedang diperiksa terlebih dahulu, sedangkan Rain yang sempat kesulitan itu langsung merasa lega karena sahabatnya yang datang menolong.
"Bagaimana keadaannya, Dok?" tanya Mitha.
"Pasien tidak apa-apa, dia hanya sedikit terkejut dan kecapek-an saja," ujar dokter. "Rain, banyak-banyak istirahat, ya."
Mendengar itu membuat Rain langsung tersenyum dan menganggukkan kepala sebagai jawaban. "Baik dok, terima kasih."
Dokter itu pun tersenyum, "Sama-sama, kalau begitu saya permisi dulu," ujarnya yang langsung pergi keluar dari ruangan.
Kini tinggalah Mitha dan Rai yang berada di ruangan ini untuk melihat Rain yang masih berbaring di brankar. Gadis itu tersenyum memandang sahabatnya yang saat ini sedang mengedipkan sebelah matanya.
Mengerti dengan arti dari kedipan itu, membuat Rain tersenyum. Gadis itu memandang Mitha yang saat ini sedang memerhatikannya dengan sendu.
"Mama kenapa?" tanya Rain dengan kedua alis yang terangkat. "Jangan kaya gitu liatin aku-nya, aku beneran baik-baik aja, kok."
"Nggak ada yang kamu sembunyiin dari Mama, kan, Sayang?"
Rain yang mendengarnya langsung memandang seorang laki-laki yang berada di hadapannya saat ini sebelum akhirnya kembali menatap Mitha yang berada di dekatnya itu.
"Nggak, kok. Nggak ada yang aku sembunyiin dari Mama," ujar gadis itu dengan senyum tipisnya. "Memangnya kenapa? Mama masih nggak percaya sama aku?"
"Bukan begitu, Mama cuma ngerasa kalau kamu itu habis ngalamin sesuatu yang berat gitu."
Merasa bahwa suasana sudah mulai tidak baik, akhirnya Rai pun berjalan mendekati mereka berdua dan berdiri di sisi kanan gadis tersebut.
"Rain nggak apa-apa, kok, Tante. Dia cuma kepeleset waktu di toilet, iya, kan?"
Rain melihat tatapan sahabatnya yang sangat berbeda, tidak lama kemudian pun mengangguk dengan senyum manisnya itu.
"Iya, Ma. Apa yang dibilang Rai bener, kok," ujar gadis itu.
Mengetahui hal tersebut membuat Mitha langsung menghela nafas sebelum akhirnya mengangguk mengerti.
"Rai, tolong panggilin yang lain dong, kasian mereka pada nunggu di luar," ujarnya kepada seseorang yang berada di hadapannya itu.
"Oh, iya, baik Tante." Setelah itu Rai pun melangkahkan kakinya keluar ruangan untuk menyuruh kedua orang tuanya dan ayah Rain untuk masuk.
Ketika sampai di luar, ia langsung memanggil mereka semua untuk memasuki ruangan sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Mitha, hingga di mana keningnya langsung berkerut ketika dirinya tidak mendapati kedua sahabatnya beserta orang-orang yang terlibat yang sudah membantunya.
"Loh, iya juga, mereka ke mana, ya?" gumamnya dengan satu tangan yang menggaruk pelipisnya. "Gue juga belum sempet bilang makasih lagi sama bokapnya si Denis."
Pada akhirnya Rai pun memutuskan untuk menghubungi Denis yang entah ke mana perginya laki-laki itu. Begitu pula dengan Samuel yang mungkin saja ikut bersamanya pergi.
"Halo Nis, lo di mana?" tanyanya dengan kedua alis yang terangkat. "Kok, kalian udah hilang aja, sih."
"Sorry, sebenarnya kita tadi masih mau nemenin lo di sana, tapi apa yang diomongin sama bokap ada benernya juga."
"Hah?" ujar Rai dengan kening yang berkerut. "Memangnya bokap lo bilang apa?"
"Bokap gue bilang kalau kita di sana, bisa aja nanti makin banyak pertanyaan dari orang tuan Rain, dan lagi 'kan lo udah sepakat nggak akan bilang yang sebenarnya ke Tante Mitha dan Om Amar."
Mendengarnya membuat Rai langsung menghela nafas sebelum akhirnya menunduk dan kembali mendongakan kepala.
"Ya udah, kalau gitu nanti gue datang ke Rumah lo, ya?"
"Eh, buat apa?" tanya Denis dengan satu alis yang terangkat. "Nggak usah, nanti aja, gue tau, kok, keadaan lo lagi kaya gimana sekarang."
"Nggak, nggak bisa gitu, gimanapun gue harus berterima kasih sama bokap dan orang-orang yang udah terlibat dalam masalah ini."
Denis yang mendengarnya pun langsung menghela nafas sebelum akhirnya mengangguk. "Ya udah, itu terserah lo, tapi inget, jangan karena lo merasa udah nyusahin gue jadi lo kaya gini sama gue."
"Iya, ya udah kalau gitu gue tutup teleponnya, ya, Nis."
"Oke."
Panggilan pun berakhir dengan Rai yang kini tersenyum menatap layar ponselnya, kemudian menghela nafas sembari menyimpannya ke dalam saku celana sebelum akhirnya laki-laki itu kembali memasuki ruangan untuk menemui semua orang.
Tetapi saat Rai hendak memasuki ruangan, tiba-tiba saja pintu sudah terbuka dari dalam, ternyata pelakunya adalah Fadly. Pria itu menatap dalam ke arahnya yang membuat laki-laki tersebut langsung menghela nafas dan memundurkan langkahnya sembari memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Papa ingin bicara sama kamu."
Yakin nggak mau lanjut baca? Kalau aku kasih spoiler gimana? Oke, deh, aku kasih spoiler untuk chapter selanjutnya ;)
“Pa, Rai rasa ini terlalu cepat buat aku yang ...”
“Tapi kenapa?”
“KARENA AKU DAN RAIN BUTUH WAKTU!”
Betapa terkejutnya Fadly melihat putra kesayangannya itu yang baru saja berteriak kencang kepadanya membuat pria tersebut langsung berusaha untuk menggapai Rai, akan tetapi laki-laki itu langsung menjauhkan dirinya dengan nafas yang terengah-engah serta tatapannya yang sulit diartikan.
“Maafin Rai, Pa."