webnovel

BOUND BY PROMISE

Sepasang sahabat yang tidak pernah bermimpi akan menjadi pasangan kekasih. Mereka hanya percaya pada apa yang mereka jalani selama ini, termasuk hubungan dekat sebagai seorang teman. Rainold Faya adalah anak tunggal dari Fadly dan Raya. Laki-laki itu sering sekali menyangkal pertanyaan dari Papanya sendiri yang mengatakan tentang bagaimana perasaannya terhadap seorang gadis yang selalu bersamanya sedari kecil. Raina Martha adalah anak tunggal dari Amar dan Mitha. Gadis itu sudah memiliki kekasih yang begitu sangat posesif terhadapnya sehingga membuat mereka sering bertengkar dan sahabatnya selalu menjadi penengah diantara keduanya. Orang tua mereka adalah sepasang sahabat sedari kecil, sama halnya seperti Rai dan Rain. Entah bagaimana takdir mempermainkan keduanya, berawal dari sebuah perjanjian yang dibuat ketika masih berumur 5 tahun. Persahabatan mereka terikat oleh sebuah janji yang menjadi takdirnya suatu hari nanti. Keduanya tidak bisa menentang hal itu sehingga Rai dan Rain terbelenggu dalam sebuah perjodohan. Entah itu akan berakhir bahagia atau tidak, tanpa disadari bahwa perjodohan menyatukan mereka dan menjadi penentuan dari kisahnya. Lantas, bagaimana kehidupan mereka selanjutnya setelah menikah ? Art by Pinterest

giantystory · Urban
Not enough ratings
280 Chs

MALAM YANG PENUH HARU

Menunggu sesuatu yang tidak bisa diselesaikan membuat seseorang seperti Vano merasa frustasi lantaran laki-laki itu tidak bisa bertemu dengan kekasihnya sendiri. Kini ia sedang mencoba memikirkan cara agar bisa melihat keadaan Rain yang sebenarnya, hingga di mana dirinya mendengar suara ponselnya yang berdering membuatnya dengan sangat terpaksa harus menerima panggilan masuk itu terlebih dahulu.

"Halo Ma," ujarnya kepada seseorang di seberang sana.

"Kamu di mana? Ini udah tengah malam, loh, kamu udah ketemu sama Papa belum?"

Mendengarnya membuat kening laki-laki itu seketika langsung berkerut. "Papa? Memangnya kalian udah pulang?"

"Iya, Papa sama Mama udah pulang dari tadi, tapi waktu kami pulang, kita nggak liat kamu ada di Rumah."

"Terus sekarang Papa ke mana?" tanya Vano. "Jangan bilang kalau Papa lagi nggak ada di rumah karena cari aku?"

Seseorang yang berada di seberang sana pun langsung menghela nafas sebelum akhirnya menganggukkan kepala, dan berkata, "Iya, kamu bener, Papa lagi cari kamu dari tadi."

Mengetahui hal tersebut membuat Vano berdecak sebelum akhirnya laki-laki itu menghela nafas dengan kedua mata yang terpejam.

"Vano," panggil seseorang di seberang sana. "Kamu kenapa? Kamu nggak apa-apa, 'kan?"

Seorang wanita di seberang sana saat ini sedang mengerutkan keningnya karena mendengar sebuah suara yang begitu membuatnya khawatir takut terjadi sesuatu kepada putranya itu.

"Aku nggak apa-apa, kok, Ma. Ya udah, kalau gitu aku coba telepon Papa dulu, ya."

"Jangan lupa kabarin Mama kalau udah," ujar wanita tersebut. "Harus, jangan sampai nggak, oke?"

"Iya Ma, iya. Aku pasti kasih tau Mama, kok. Bye."

"Ya udah kalau gitu, bye, hati-hati Sayang."

Panggilan pun berakhir dengan Vano yang saat ini sedang menatap lurus ke depan memikirkan Rain yang saat ini berada di rumah sakit. Sejujurnya ia ingin pergi ke sana sekali lagi dan berusaha dengan segala cara agar dirinya bisa masuk menemuinya.

Tetapi mendengar bahwa kedua orang tuanya sudah kembali membuatnya dengan sangat terpaksa harus segera kembali karena Vano yang tidak ingin membuat mereka khawatir. Dan kini laki-laki itu langsung menjalankan kembali mobilnya hendak mencari Papanya yang entah berada di mana sekarang.

Di sisi lain saat ini Rai masih bersama dengan kedua sahabatnya menunggu diruang lobi. Mereka berniat untuk menjemput para orang tua yang saat ini sedang dalam perjalanan menuju ke rumah sakit, hingga akhirnya salah satu di antara mereka pun melihat seseorang yang begitu dikenali.

"Rai, itu bokap nyokap lo, 'kan?" tanya Denis dengan kedua alis yang terangkat.

Mendengarnya membuat Rai yang semula sedang menunduk memainkan ponselnya pun seketika mendongakan kepala mengikuti arah pandang Denis.

Ternyata benar, tepat di depan sana ia melihat kedua orang tuanya dan Rain, tetapi salah seorang menarik perhatiannya sehingga membuat dirinya kini menghela nafas seketika.

"Rai, di mana Rain?" tanya Mitha dengan khawatir. "Tante mau liat keadaan dia!"

Saat ini semua orang memerhatikan Mitha dan Rai yang saat ini sedang saling memandang satu sama lain sebelum akhirnya laki-laki itu berkata.

"Tante, tenang dulu, ya," jedanya dengan senyum tipisnya itu mencoba untuk menenangkan seorang wanita yang berada di hadapannya tersebut. "Rain baik-baik aja, kok, sekarang dia lagi ditangani sama Dokter."

Mitha langsung menitikkan air matanya karena rasa khawatir yang begitu besar sejak siang, dan kini wanita tersebut harus mendengar kabar ini yang menjadikannya menjadi semakin takut terjadi sesuatu kepada putrinya sendiri.

Sementara itu Fadly yang sedari tadi memerhatikan putranya pun langsung menghela nafas, hingga tidak lama kemudia pria tersebut melihat Rai yang memandang ke arahnya dan kini ia pun menganggukkan kepala sebagai jawaban, dirinya sangat tahu bagaimana perasaan putranya saat ini.

Amar yang melihat istrinya yang terus saja mendesak Rai pun menjadi merasa tidak nyaman, akhirnya pria tersebut menarik wanitanya itu agar sedikit diam dan tenang.

"Mitha, udah, kamu harus tenangin diri kamu, oke? Aku yakin Rain pasti baik-baik aja."

"Tapi Pa---" Pria itu menggelengkan kepalanya dan berkata, "Mitha, kamu dengar aku 'kan?"

Setelahnya wanta itu pun terdiam dan menuruti perkataan dari suaminya tersebut sehingga kini mereka semua yang melihatnya turut prihatin dengan yang terjadi kepada Rain.

"Tante," panggil Rai kembali. Sedangkan Mitha yang mendengarnya pun langsung menghela nafas dan berkata, "Iya?"

"Ayo ikut aku, kita ketemu Rain sekarang," ujarnya dengan senyumannya yang begitu tulus. "Mungkin sekarang udah bisa dijenguk."

Mitha yang mendengarnya pun langsung menganggukkan kepala meskipun air matanya terus saja mengalir membasahi kedua pipinya.

Tetapi Rai yang melihat hal tersebut langsung mengusap kedua pipinya sehingga semua orang yang berada di dekatnya pun menyaksikan bagaimana seorang laki-laki sepertinya yang begitu peduli terhadap seorang wanita yang merupakan ibu kandung dari sahabat kecilnya sendiri.

"Tante, jangan nangis, Rai jadi ngerasa bersalah karena udah bikin putri satu-satunya Tante masuk rumah sakit kaya gini. Maafin aku, ya, Tan."

Ketulusan dari Rai meruntuhkan segala ego yang sempat bersarang dari dalam hatinya sehingga kini wanita tersebut langsung membawa laki-laki itu ke dalam pelukannya.

"Ini nggak sepenuhnya salah kamu, kok, Sayang. Maafin Tante juga, ya," ujar Mitha dengan posisi yang memeluk serta satu tangannya yang menepuk pundak dari laki-laki tersebut. "Rain pasti bangga punya sahabat kaya kamu, Rai. Tante juga senang karena putri kesayangan Tante ada yang jagain."

Semua orang yang berada di sana sangat merasa bahagia karena melihat kedekatan Rai dengan Mitha yang sudah seperti ibu dan anak. Terutama dengan Fadly dan Raya yang sangat beruntung dan bangga memiliki seorang putra seperti Rainold.

"Anak kita, Pa," ujar Raya yang kini memandang seorang pria yang berada di sampingnya dengan penuh kekaguman.

"Iya, Rai adalah anak yang luar biasa, dia mampu menjaganya dan bertanggung jawab," ungkap Fadly yang kini sedang merangkul sang istri tercinta.

Kini ada Samuel yang sedang mencoba untuk menahan tangis, sayangnya Denis yang menyadari hal tersebut diam-diam mengabadikan momen di mana sahabatnya itu sedang menangis karena terharu.

"Cie, ada yang terharu, nih, kayanya," sindir Denis dengan ponsel yang sedang merekam. "Seorang Samuel ternyata bisa nangis juga, ya."

"Anjing!" umpat Samuel dengan kedua mata yang membelalak. "Denis, lo apa-apaan, sih?!"

Denis yang mendengarnya pun langsung berdeham sebelum akhirnya berkata, "El, nggak boleh gitu ngomongnya, nggak baik," ujarnya dengan senyum jahilnya itu.

"Hapus nggak?" ujar Samuel dengan wajah datarnya itu. "Cepet hapus."

"Nggak, lagian kenapa, sih, gini doang masa ngambek."

"Nis, tolong ..." ujar Samuel dengan kesabarannya yang masih tersisa. "Sebelum gue banting handphone lo, nih, soalnya batas kesabaran gue udah abis, paham?"

Pada akhirnya Denis pun berhenti merekamnya dan langsung mematikan ponsel lalu kembali dimasukannya ke dalam saku celana, akan tetapi urung ketika melihat sebuah tangan yang terulur seolah meminta untuk memberikan ponsel miliknya tersebut.

"Nih, puas lo?!" ketusnya dengan kesal.

"Nggak usah marah-marah, anak baik masa marah," ujar Samuel dengan senyum manisnya itu.

Denis kena karma nggak ya wkwk

giantystorycreators' thoughts