Shit!
Bisa dikatakan, ia pulang terlambat.
Bukan terlambat lagi, tapi sangat-sangat terlambat.
Jam dua belas malam, Tarana baru menjejakkan kakinya di sini. Pintu depan yang tak pernah terkunci juga sudah dikunci Bian. Rapat, tak bercelah.
Sadar kalau dirinya ini keterlaluan. Juga, tak mengharapkan ada pesan bertubi-tubi seperti biasa yang dilakukan Bian. Walau nyatanya, setelah pergi yang kedua kalinya, tidak ada pesan peringatan berisik itu lagi. Sedikit ... sepi.
Bian melepaskannya untuk siang tadi. Tidak tahu kalau besok.
Perlahan, di atas ubin dingin yang tersalur hingga ke telapak kakinya, mengendap begitu pelan agar tak bersuara. Meminimalisir kebisingan yang tercipta supaya anak berusia empat tahun itu tidak terbangun.
Mustahil juga terbangun dalam jarak sejauh ini. Yang ditakutkannya bukanlah Nataya, melainkan kodam berusia empat puluh dua itu.
Satu per satu anak tangga ditelusurinya sampai ke kamar utama keduanya. Bian tidak ada di sana, begitu pula Nataya. Beralih ke kamar mini Nataya, mudah untuk menemukan Bian di kasur single itu bersama Nataya.
Ah, apa ada perbedaan dari ayah anak itu? "Bian? Tidur, ya?"
Kini Tarana persis ada di sisi luar kasur Nataya yang diisi dua orang. Bian yang biasanya terusik dengan gerakan kecil juga tampaknya tak menyadari kalau Tarana sudah pulang.
Atau memang, Bian tak menunggunya. Entahlah.
Tangannya memang terentang ke depan, hendak menggapai pipi Bian. Terlalu menggoda untuk dianggurkan begitu saja.
Namun, kenyataan lain memukulnya mundur.
Kenyataan bahwa orang ini adalah orang yang menghancurkan hidupnya. Bukan hanya sekali, tapi dua kali. Menghamili kakaknya, membunuh kakaknya. Apa yang lebih buruk dari dua hal itu?
"Kenapa tidak dilanjutkan?"
Rentangan ke depannya langsung saja ditarik kembali olehnya tanpa perlu penjelasan lebih lanjut. Hatinya jadi memburam. Berwarna kelabu tak jelas. Padahal sewaktu pulang, ia baik-baik saja.
Kehadiran Nataya di antara mereka cukup membuat Tarana melupakan berbagai hal penting dalam hidupnya. Dasar peri kecil unik. "Tangan saya gatal."
"Alasan," cetus Bian lagi.
"Memang," sahut Tarana tanpa minat.
Kemudian diam mendera mereka lagi. Tanpa permisi membentuk tembok kokoh melebihi hari-hari sebelumnya.
Faktor tambahannya juga berupa pertengkaran mereka tadi pagi menjelang siang. Tarana yang enggan mengakui kesalahannya, juga Bian yang menunggu permintaan maaf.
Sepertinya, sampai kapan pun tak akan terucap kalau Bian tidak menagih. "Sepertinya ada hal yang harus kamu katakan pada saya, Tar?"
"Tidak ada." Kabur. Tarana kabur lagi dari Bian. Kali ini, dari tatapan yang menghunus walaupun ia masih berbaring lurus di kasur. "Saya beres-beres dulu. Saya mau istirahat."
Ratapan kilat, singkat, tapi sangat membekas dan mengena di hati Tarana. Ia tidak bisa membaca apa yang dikatakan hati Bian sekarang.
Bisa dikatakan ..., cukup takut. Sampai di ambang pintu, berbalik lagi ke arah Bian yang mulai bangkit, pria itu sama sekali tidak menahannya.
Hanya ada satu kata tanya.
Mengapa?
***
"Sini."
Bulu kuduk Tarana tidak tahan untuk tidak berjengkit kaget. Menekan sedikit jantungnya yang berpacu dua kali lipat. Seharusnya, ia bisa menerka ini. Tapi pikirannya kosong sama sekali. Melamun. "Kaget!"
Bian masih tak bereaksi seperti biasanya. Diam. Menjerumuskan Tarana untuk mengikuti instruksi singkatnya dalam satu langkah. "Duduk."
"Rambut saya masih belum kering," elak Tarana menjauhi kasur. Melihat bayangan Bian yang terus membelah punggungnya. Serta-merta bergidik. "Nanti."
"Saya minta kamu duduk, Tar." Perintah tak terbantahkan keluar lagi seenaknya.
Yang sialnya, kali ini Tarana tak bisa lagi mengabaikan aura seram dari Bian. Sudah berapa lama Bian menahan kemarahan itu?
Ah, sial. Kenapa ia jadi terjebak di situasi macam ini, sih? Sifat pembangkangnya itu menguap lebih besar daripada saat Tarana bersama ayahnya.
Ini mengerikan. Kakaknya pasti salah menilai Bian kalau begini! "Nanti."
"Sekarang," cetus Bian menipiskan ekor matanya yang tajam. "Kamu mau tunda sampai kapan? Saya udah tunggu kamu balik dari lama, dan kamu baru balik ... jam berapa tadi?"
"Sebentar, kok," sahut Tarana berusaha tak acuh. Mengusak lagi kepalanya ke dalam handuk keringnya. "Saya kira kamu gak tungguin saya makanya pintu depan kamu kunci. Sekarang kenapa malah marah-marah?"
"Saya kunci?" Berganti Bian yang bertanya kebingungan. "Kalau begitu kenapa kamu bisa masuk?"
"Saya udah duplikat kali. Saya mana mungkin pergi gak bawa kunci sama sekali?" cerocos Tarana selagi duduk di kasur lebar itu. Sengaja, menunggu mood Bian agak baikan, baru Tarana mengikuti titah tuan rumah itu. "Apa? Saya udah duduk, nih."
Bian mendengus miring. Merotasi elangnya seraya berucap masih datar, "Siniin handuknya."
"Ih, ngapain?"
"Siniin aja," desak Bian memaksa.
Uluran handuk Tarana diterima Bian, masih sama lembutnya dengan perlakuannya yang biasa.
Syukurlah. Setidaknya, Tarana tak harus menghadapi kekerasan selain intimidasi berlebih kala Bian menyusuri rambut menyatu Tarana dengan jari-jari besarnya. Bian cukup baik, Tarana bisa mengakui hal itu.
Baik dalam mengelola emosinya. Bukan hal lain.
Lembaran handuk hijau Tarana dilebarkannya guna merangkap keseluruhan dari air yang terus menetes. "Biasanya pakai hair dryer?"
"Kamu tahu alatnya?"
"Saya sudah menikah dulu. Jangan terkejut." Bian melanjutkannya cuek. Bertingkah seperti seorang Tarana dalam memberikan jawaban. "Pakai gak?"
Enggak kalau begitu! Untuk apa Tarana meniru mantan istri Bian? "Gak."
"Kalau begitu saya yang pakaikan ke kamu. Ini sudah pagi, dan kamu harus tidur." Beberapa detik Bian melarikan diri, kembali dengan mesin hitam yang mengeluarkan desing cukup kencangnya. "Saya tahu cara memperlakukan seorang wanita. Tapi sepertinya kamu tidak tahu cara memperlakukan seorang 'suami', Tar."
Penekanan pada kata suami itu membuat Tarana berdecih. "Suami apa yang larang istrinya buat pergi?"
"Istri apa yang masa bodo sama izin dari saya, Tar?" Bian bertanya lagi. "Saya begini untuk Nataya, Tar. Dalam beberapa hari, kamu sudah lebih dekat dengan Nataya daripada saya yang berstatus sebagai ayahnya. Untuk meluangkan waktu bertiga saja, kamu melengkapi kekosongan dalam diri Nataya, kamu gak mau, Tar? Katanya kamu akan memberikan yang terbaik untuk Nataya. Mana kata-kata kamu itu?"
"Saya ada urusan, Bian!" Tarana berseru kesal. Kenapa Bian sama sekali tidak mengerti kalau semua ini sulit untuknya? "Urusan yang gak bisa saya tinggal."
"Urusan apa, sih, Tar?" Tombol mati ditekan Bian untuk mendengar penjelasan Tarana. Menyiapkan kedua kupingnya dalam keadaan primanya. "Sampai lebih penting daripada Nataya?"
"Urusan saya, Bian!"
"Katanya kamu ketemu temen?" Bian memutar tubuh Tarana kehadapannya. Meminta agar Tarana menjelaskan jangan setengah-setengah. "Yang bener yang mana?"
Dua-duanya bener! "Udahlah. Bahas besok aja gak bisa, ya? Saya pulang jam dua belas, kamu juga ajak saya ribut malam-malam begini. Simpen tenaga buat besok!"
"Jadi kamu suruh saya nunggu tanpa penjelasan lagi, Tar?" tanya Bian setengah berang. "Kamu kira gampang kali, ya, suruh saya redain emosi begini? Saya juga gak bakal emosi kalau kamu gak mulai, Tar!"